Minggu, Agustus 31, 2008

Cintaku Kandas di Mal

Pernah tayang di Wikimu pada Kanal Sastra, Senin 02-06-2008 15:42:28


Suara orang tertawa membahana dan memantul ke segala penjuru mall. Orang-orang menoleh serentak ke arah datangnya suara tertawa terbahak-bahak itu. Di antara pengunjung perempuan ada yang berbisik-bisik kepada teman di sampingnya sambil tersenyum kepada Ricky dan teman-temannya.

"Kamu, tuh yang ketawanya paling keras," ejek Boy kepada Ricky. "Kalau tertawa lihat-lihat dulu sekeliling, dong. Jangan asal ngakak, saja." Mereka saling mendorong sambil tertawa-tawa dan terus berjalan ke arah food court yang ada di depan mereka.

Ricky, Boy, Suli dan Alvin adalah empat serangkai yang merupakan teman karib. Mereka satu sekolah di SMU Citra, sebuah Sekolah Menengah Umum swasta yang tidak termasuk favorit di kota mereka. Berempat mereka biasa menghabiskan waktu setelah pulang sekolah di mall ini. Minum-minum atau sekedar berdiri ngobrol di teras mal. Mal ini memang terletak tidak jauh dari sekolah mereka, jadi apabila waktu belajar di sekolah sudah habis mereka bermain di sini dulu sebelum pulang ke rumah. Barang sejam dua jam untuk sekedar mencuci mata dan sedikit melepas lelah sambil membina keakraban di antara mereka. Seperti sekarang ini, mereka sedang duduk-duduk di salah satu meja di foodcourt dengan gelas berisi minuman pesanan masing-masing di tangan.

"Rick, aku lihat tadi kamu terus memandangi cewek yang berdiri di depan toko 99 itu," tanya Alvin penuh selidik. "Kamu naksir, ya ?"

Ricky tersenyum sambil menghirup es tehnya. "Iya, tuh cantik betul. Nanti pasti gua samperi, lihat saja." Ricky kembali menghirup es tehnya sampai tandas. "Dan ingat, ngga ada yang boleh mengganggu gua, apalagi mencoba menaksir juga."

"Iya, deh," sahut teman-temannya serempak. "Kita hanya melihat dari jauh saja," kata Boy sambil menghabiskan teh botolnya. "Ayo, cabut." Serempak mereka berdiri dan bersama-sama menuruni eskalator menuju lantai berikutnya.

Di depan toko 99 mereka semua tertegun. Gadis cantik yang tadi terlihat berdiri di depan toko tersebut, ternyata sudah tidak ada lagi. Padahal tadi dia seperti sedang menunggu seseorang, tapi sekarang sudah tidak tampak lagi dan sepertinya sudah bertemu dengan orang yang ditunggunya.

"Mba," sapa Ricky kepada seorang cewek, pelayan toko 99 yang sedang berdiri di dekat pintu masuk toko. "Gadis yang sejak tadi berdiri di dekat pagar ini, sekarang kemana, Mba ?"

Pelayan itu memandang kepada Ricky dan teman-temannya silih berganti dan bertanya. "Maksud kamu yang berseragam sekolah ?"

"Iya, ya," sahut Ricky cepat. "Dia pergi ke arah mana ?"

"Dia tadi turun ke lantai bawah bersama Bapaknya," jawab si pelayan. "Maaf, saya ada pembeli. Saya ke dalam dulu."

Setelah ditinggalkan si pelayan, Ricky dan kawan-kawannya bergegas menuruni tangga berjalan menuju lantai berikutnya. Ricky celingak-celinguk ke seluruh penjuru mal. Dilihatnya satu persatu cewek-cewek yang berseragam sekolah, tapi tidak ada seorang pun yang profil wajahnya mirip dengan cewek itu. Boy menenangkan Ricky dan mengajak teman-temannya pulang.

--oo00oo--

"Itu dia," kata Ricky kepada teman-temannya, keesokan harinya di mal yang sama. "Gua akan menemui dia, dan kalian tunggu saja di sini. Jadi anak manis dan awas kalau jahil," gertak Ricky lagi kepada teman-temannya.

"Huh," sembur teman-temannya serempak. "Maju sana, buktikan kalau kamu bisa."

Ricky berjalan perlahan ke depan toko 99 dan kemudian berdiri tepat di samping cewek yang sudah diincarnya itu sejak kemarin. Si cewek tersenyum kepada Ricky sambil menggoyangkan kepalanya sedikit ke kanan untuk mengibaskan sedikit rambut yang menutupi sebagian wajahnya.

"Ya, Tuhan. bidadarikah dia ?" tanya Ricky dalam hati. Untuk beberapa detik Ricky tidak sanggup untuk berkata-kata. Ditelannya dulu air liur kental di tenggorokannya yang tiba-tiba menjadi kering mendadak. Dan akhirnya kata yang keluar dari mulutnya adalah, "Hai !"

"Hai juga," sahut si cewek. Aduh, suaranya itu. Kaki dan tangan Ricky bergetar dan suaranya yang keluar kemudian pun turut bergetar. "Ee, gua Ricky," kata Ricky singkat. Bodoh, katanya sendiri di dalam hati. Ini bukan cara berkenalan yang baik. Pasti cewek ini akan bingung melihat tingkahku.

"Maaf, ada apa ?" Tanya si cewek bingung mendengar Ricky menyebutkan nama.

Ricky menjadi salah tingkah. Diusapnya keringat yang membasahi dahinya dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya membetulkan rambut yang menutup sebagian mata kanannya. "Ah, eh, gua ingin berkenalan. Boleh, khan ?" Ricky kemudian mengulurkan tangan kanannya ke depan menunggu reaksi si cewek.

"Boleh," sahut cewek itu sambil membalas jabatan tangan Ricky. "Gua Sherli."

"Nama yang cantik," puji Ricky. Ditunggunya tanggapan atas pujian itu. Sherli diam saja. Busyet, pikir Ricky. Pasti dia sudah biasa dipuji demikian.

"Hm, sedang menunggu siapa ?" tanya Ricky sambil pura-pura melirik ke kanan dan ke kiri seperti sedang mencari seseorang. "Aku sering melihat kamu berdiri di depan toko 99 ini."

Sherli tertawa. Giginya yang putih tampak berkilauan diterpa cahaya lampu mal yang terang benderang. Dihelanya rambutnya yang menutupi sebagian lehernya yang putih jenjang - Gila, umpat Ricky dalam hati setelah melihat pemandangan ini - sambil sedikit mengangkat sedikit dagunya dia berkata, "Menunggu papah."

"Papah kamu kemana ?" tanya Ricky heran. "Dia bekerja di mal ini ?"

"Ah, bukan." jawab Sherli singkat. "Dia bekerja di kantor di sebelah mall ini. Sebentar lagi dia akan pulang untuk istirahat dan sekalian jemput aku di sini."

"Oh," sahut Ricky seperti mengerti tetapi sebenarnya belum. Buktinya Ricky bertanya lagi dengan penuh keheranan. "Tapi kenapa menjemput kamu di sini. Bukannya menjemput di sekolah ? Eh, sekolah kamu di mana ?"

Sherli menyorongkan bahu kanannya ke depan dan memperlihatkan nama sekolah yang dijahit di lengan kanan baju seragamnya. "Sekolah kita, kan tidak berjauhan," kata cewek itu sambil melirik emblem yang dijahit di lengan kanan baju Ricky.

"Iya, ya," kata Ricky sambil mengingat-ingat letak sekolah Sherli dan juga berpikir di mana kira-kira pernah melihat Sherli sebelum pertemuan ini. Ah, anak-anak SMU Pribakti memang jarang terlihat bergerombol di depan gerbang sekolahnya pada saat jam pulang. Sekolah tersebut, kan sekolah anak-anak orang kaya, jadi mereka biasanya sudah dijemput atau pulang menaiki mobil yang diparkir di dalam gedung sekolah.

"Oh, ya," suara Sherli menyadarkan lamunan Ricky. "Itu, papah sudah menjemput. Aku duluan, ya. Dah."

Ricky menangguk kepada laki-laki separuh baya yang datang mendekati Sherli. Lelaki itu tersenyum kepada Ricky dan terus menjemput tangan Sherli. Sherli memeluk pinggang papahnya dan mereka menuruni eskalator menuju lantai dasar, perlahan-lahan hilang dari pandangan Ricky.

"Baa !" teriak Boy, Suli dan Alvin serempak di telinga Ricky. Ricky tersentak dan lamunannya buyar.

"Wah, betul-betul jatuh cinta rupanya sobat kita ini," ledek Suli sambil bergaya seperti berpuisi. "Aku bisa merasakan getaran-getaran perasaan menjalar di udara." Suli mengangkat kedua tangannya ke atas, kemudian menggoyang-goyangkannya.

"Sudah, sudah," potong Boy. "Ayo kita pulang. PR kita lagi banyak dan semua harus selesai besok."

--oo00oo--

Ricky berdiri di depan toko 99 bersama ketiga sobatnya. Tiga hari sudah sejak pertama bertegur sapa dengan Sherli disini, dia selalu mengobrol akrab dengan cewek itu. Di tempat yang sama dengan pembicaraan yang selalu berbeda. Pembicaraan mereka semakin bebas dan selalu dipenui canda dan cerita-cerita lucu. Ada cerita mengenai guru-guru sekolah mereka masing-masing. Ada guru yang killer, ada guru yang centil, dan lain sebagainya. Juga cerita tentang teman-teman mereka yang bermacam-macam sifatnya, kejahilan mereka, kelucuan mereka. Tapi belum sedetik pun Ricky berani untuk memulai pembicaraan yang menjurus ke arah cinta. Tidak juga Ricky bertanya di mana rumah cewek itu. Apalagi menyampaikan keinginan untuk apel malam minggu. Hal pertama yang mencegahnya untuk membicarakan hal tersebut adalah kemungkinan bahwa Sherli adalah anak orang kaya dan Ricky menjadi minder karenanya.

"Wah, Rick," ucap Boy memecah kesunyian. "Tampaknya Sherli tidak datang ke sini hari ini. Mungkin dia sakit, mungkin juga papahnya yang tidak masuk kerja, sehingga dia pulang sendiri ke rumah."

"Ya," sahut Ricky lemah. "Mendingan kita pulang saja. Perutku sudah keroncongan. Kalau minum air mineral terus nanti perutku bisa kembung."

Mereka berjalan beriringan keluar pintu mal. Terminal bis memang tidak terlalu jauh letaknya dari mal ini, kira-kira sepuluh menit apabila ditempuh dengan berjalan kaki. Ada banyak perkantoran dan hotel yang berada di antara mal dan terminal. Namun karena sudah terbiasa, Ricky dan kawan-kawannya tidak pernah merasa jauh menempuh jarak tersebut. Sebetulnya ada halte di sekitar mal, tapi untuk jurusan ke rumah Ricky dan kawan-kawannya tidak ada yang lewat di depan mal ini disebabkan arah lalu lintas yang searah.

Sambil bercanda Boy, Suli dan Alvin berusaha menghibur hati temannya yang sedang bersedih. Perjalanan yang biasanya ditempuh dengan cepat karena hati riang, sekali ini terasa jauh dan melelahkan. Sesekali tampak Ricky tersenyum melihat kelakuan ketiga temannya yang sering bercanda dengan orang lewat sepanjang perjalanan mereka menuju terminal. Tapi kemudian wajah muram itu tergambar kembali. Boy melirik Ricky dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Hei, Rick !" teriak Suli perlahan sambil memelototkan matanya sambil melihat ke arah hotel yang berada tepat di depan mereka. "Itu, di sana itu Sherli dengan papahnya."

Ricky sedikit kaget karena menjumpai Sherli dengan papahnya di hotel itu. Hotel itu hotel mahal, berbintang lima kata orang. Yang menginap di sini pasti orang kaya-kaya semua. Ricky terus menatap Sherli yang hari itu tidak mengenakan seragam sekolah. Perlahan-lahan punggung berbalut baju kaos warna biru itu menghilang di antara dua pintu kaca yang tertutup secara otomatis.

Benak Ricky masih dipenuhi rasa heran melihat pemandangan yang telah berlalu di depan matanya. Ada seribu pertanyaan membayang di kepalanya. Pertanyaan yang sulit untuk diwujudkan karena rasa takut yang luar biasa. Takut akan kekecewaan yang tiba-tiba datang di relung-relung hatinya. Perasaan takut akan sebuah takdir yang tidak dikehendakinya.

"Sudahlah, Rick," suara Boy memecah kesunyian. "Mendingan kita pulang saja. Tadi aku sudah menanyakan kepada room boy yang berdiri di depan pintu hotel itu. Waktu kutanyakan siapa yang orang yang bersama cewek berbaju biru itu, room boy itu bilang kalau lelaki yang bersama cewek itu adalah langganan tetap hotel ini. Dan, dan ... katanya ... cewek itu adalah salah satu cewek penghibur yang sering dibawanya menginap di hotel ini ...."

Boy tidak sanggup lagi meneruskan kata-katanya. Padahal masih banyak lagi keterangan yang diberikan si room boy yang suka bergosip itu. Tapi kata-katanya seperti tercekat di tenggorokan setelah melihat Ricky sohibnya, terduduk di trotoar di depan pos satpam hotel tersebut sambil menelungkupkan kepalanya di antara kedua kakinya.

--oo00oo--

In Memory from Thousand River City

Tidak ada komentar: