Minggu, Agustus 31, 2008

Sebutir Cengkeh Membalaskan Dendam Tuannya (Cerpen)

Pernah tayang di Wikimu pada Kanal Sastra, Senin 09-06-2008 17:23:45


Gali Pardun marah besar hari ini. Pertengkaran hebat dengan isteri pertamanya, Sularsih, sangat luar biasa. Teriakan-teriakan bersahut-sahutan terdengar nyaring hingga ke tiga-empat buah rumah tetangga. Kondisi rumahnya sudah seperti bekas kerusuhan massa. Barang pecah belah berserakan di lantai rumah dengan kondisi sudah tidak berbentuk lagi. Meja kursi jumpalitan serta piring mangkok di atasnya, yang berisi makanan untuk sarapan pagi, ikut berserakan dan bertumpahan di lantai.

Belum selesai sarapan paginya tadi karena terhenti oleh pertengkaran yang dahsyat antara dirinya dengan isteri pertamanya. Gali Pardun marah besar dan murka sehingga kulit wajahnya yang berwarna coklat tua berubah menjadi merah gelap. Sumpah serapah dan makian keluar dari mulutnya yang masih terdapat sisa-sisa makan pagi, dan isteri pertamanya yang tidak mau kalah ikut membalas semua cacian dan makian dari suaminya.

"Istri tidak tahu diuntung !" Darah Gali Pardun serasa menggelegak dan naik ke ubun-ubunnya. "Bukannya menjawab baik-baik, malah mengomel tidak karuan dan merembet ke mana-mana. Si Marni tidak ada hubungannya dengan cara memasakmu yang selalu tidak benar. Butiran cengkeh itu tidak akan ada di makananku lalu menyangkut di tenggorokanku sehingga membuat aku tersedak, batuk, dan tersembur makan pagi dari mulutku, kalau bukan karena keteledoran kamu dalam memasak. Apa kamu mau membunuh saya, hah !"

"Iya, salahkan aku terus. Puji si Marni terus. Memang perempuan itu setan perebut suami orang. Dan Abang memang tidak adil. Apa-apa dari Marni selalu dipuji sedangkan apa pun yang dilakukan olehku selalu salah di mata Abang. Abang memang sudah tidak mencintaku lagi !" teriak Marni sambil terisak-isak menangis bercampur dengan cacian terhadap madunya, Si Marni.

"Kamu yang bandel. Tidak pernah menurut apa kataku. Sudah aku bilang dari dulu kalau memasak itu harus pintar. Apa ibumu tidak mengajari kamu cara memasak yang benar. Atau mungkin perceraian ibumu dengan bapakmu juga gara-gara ibumu tidak bisa memasak ?!"

"Jangan bawa-bawa nama orangtuaku !" teriak Sularsih tambah marah. "Aku minta cerai sekarang. Aku minta Abang menceraikan saya sekarang !" Diambilnya cermin kecil yang menggantung di dinding lalu dilemparkan ke arah suaminya berdiri. Gali Pardun yang gesit langsung mengelakkan badannya ke samping, berkelit dari cermin yang melayang ke arah kepalanya. Untung tidak kena, kalau kena bisa berdarah-darah kepalanya. Hebat juga lemparan jitu si Sularsih.

Pertengkaran terus berlanjut sampai siang hari. Anak-anak mereka yang berjumlah lima orang sudah melarikan diri ke luar rumah sejak mendengar suara pertengkaran kedua orang tua mereka tadi pagi. Siti anak tertua yang sudah beranjak dewasa dan Asih, 10 tahun, yang nomor dua sudah kabur ke rumah nenek mereka, ibunya Sularsih, dengan membawa Muin, adik laki-laki paling bungsu mereka yang berumur 5 tahun. Sedangkan Juran dan Ahmad, yang nomor tiga dan empat sudah kabur ke luar rumah entah kemana. Tapi biasanya mereka bermain-main dengan teman-temannya di kali atau ke gunung mencari burung.

Semua anak-anak Gali Pardun sudah tahu gelagat kalau kedua orangtuanya akan bertengkar. Karena kemarin Ibu Marni - demikian anak-anak Gali Pardun memanggil isteri muda bapak mereka - datang ke rumah dan bertengkar dengan ibu mereka. Pertengkaran itu sampai melibatkan tetangga-tetangga untuk mendamaikannya. Untung kemarin itu Gali Pardun sedang tidak ada di rumahnya karena sedang sibuk mengurusi bisnis kebun cengkehnya yang terdapat di desa Banyu Biru, sehingga tidak terjadi keributan yang lebih besar lagi. Masalahnya apabila Gali Pardun marah-marah tidak seorang pun di kampung itu yang berani menyabarkannya apalagi mendekatinya untuk melerai, bisa-bisa orang itu sudah dikemplangnya sampai pingsan. Rupanya apa yang dikhawatirkan Siti dan adik-adiknya terjadi juga hari ini. Mereka pergi mengungsi ke rumah nenek mereka untuk menyelamatkan diri dan tidak tahu kapan akan berani pulang ke rumah. Siti menangis di dalam kamar neneknya, dan Muin yang duduk di pangkuannya menatap kakaknya sambil menangis juga.

--oo00oo-

Gali Pardun duduk termenung sambil memandang keluar jendela. Kopi panas bikinan Marni, isteri mudanya baru sekali dihirupnya, sekarang sudah menjadi dingin karena sudah terlalu lama didiamkan. Beberapa potong ubi rebus yang disediakan Marni di atas piring juga tidak sempat disentuhnya. Pikiran Gali Pardun sedang tidak karuan. Keinginan Sularsih untuk minta dicerai sepertinya sudah tidak bisa ditahan-tahan lagi. Sudah dua hari ini Gali Pardun tidur di rumah Marni, isteri mudanya, menenangkan diri sambil berpikir bagaimana cara menanggapi tuntutan cerai dari Sularsih.

Marni yang sudah mendengar berita mengenai pertengkaran hebat antara suaminya dengan isteri tuanya tersebut, tidak mau berkomentar. Dari pada nanti malah dia yang ketiban sial diomeli tanpa sebab, lebih baik ia diam dan pura-pura tidak mengetahui perihal pertengkaran tersebut. Bagaimana pun keadaan seperti inilah yang diinginkannya sejak lama. Semakin cepat Kang Gali menceraikan isteri tuanya, berarti semakin dekat kekayaan suaminya yang melimpah menjadi miliknya. Jadi ia lebih memilih untuk bersabar menunggu kejadian selanjutnya. Siapa tahu Kang Gali segera memutuskan perceraian tersebut hari ini juga.

Marni tersenyum sendiri sambil membayangkan Kang Gali sudah menjadi suaminya seorang, tidak ada lagi pergiliran yang dilakukan Kang Gali, tiga malam di rumah isteri tuanya dan dua malam di rumahnya. Pernah dia menanyakan, kenapa Kang Gali tidak adil karena lebih banyak bermalam di rumah Sularsih dari pada di rumahnya. Kata Kang Gali, karena dengan Sularsih anaknya ada lima sedangkan dengan Marni hanya mempunyai dua anak. Berarti harus lebih banyak waktu di rumah Sularsih untuk menemani kelima anaknya. Bila Kang Gali sudah menjawab demikian, dia tidak mungkin lagi membantah karena Kang Gali pasti akan marah besar kalau omongannya dibantah padahal sudah dijelaskan dengan baik-baik.

Gali Pardun terus memandang ke luar jendela. Dia teringat sebutir cengkeh yang menjadi sebab pertengkaran antara dia dengan Sularsih kemarin. Ah, Pardun menghela nafas panjang. Bayangan masa lalunya muncul kembali. Dua puluh tahun yang lalu dia adalah preman yang paling ditakuti di desanya, desa Pager Wesi, sampai ke seluruh desa di seluruh kecamatan Braja Mukti. Waktu itu ia hanya beristerikan Sularsih yang baru dinikahinya dan sedang mengandung anak pertamanya, si Siti sekarang.

Gali Pardun bukan seorang preman biasa, tapi ia juga terkenal sebagai perampok, pemalak dan berbagai peran jahat lainnya. Dia melakukan semua itu bersama-sama dengan beberapa temannya. Ada empat orang temannya - atau yang lebih tepat disebut anak buah - yang selalu bersamanya setiap melakukan "tugas". Ada Yusran, Ebot, Sutir dan Eman. Keempat anak buahnya itu tidak pernah berani melawannya karena tahu Gali Pardun itu sangat kuat dan sakti alias kebal senjata jenis apapun. Bahkan keempatnya pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri peluru polisi tidak berhasil menembus kulit tubuhnya, pada saat terjadi pengejaran terhadap mereka sebelum mereka berlima berhasil kabur ke dalam hutan.

Sebetulnya sepak terjang Gali Pardun sebagai penjahat sudah berlangsung sejak ia berusia belasan tahun. Maklum bapaknya juga seorang preman yang bertugas sebagai kepala pasar dan pekerjaannya setiap hari adalah memungut pajak pasar dari para pedagang yang berjualan di situ. Bahkan para pedagang dari luar yang biasa menyuplai barang dagangan ke desanya juga ditariki pungutan, pajak masuk katanya. Bapaknya bernama Barkam atau orang biasanya memanggil Barkam Kepala Pasar. Dari bapaknya itulah dia belajar ilmu bela diri dan kekebalan. Kata bapaknya, anak laki-lakinya suatu saat harus menggantikan dirinya bertugas di pasar itu. Suatu pekerjaan yang lebih dekat kepada pemeras dari pada seorang kepala pasar.

Rupanya setelah Gali Pardun dewasa keadaan dirinya lebih jelek dari pada bapaknya. Dia bukan hanya memeras, tetapi juga menjadi merampok bahkan membunuh, terutama korban-korban perampokannya yang melawan dan tidak mau dengan sukarela menyerahkan apa yang dimintanya. Sudah banyak kegiatan perampokan yang dilakukannya, tapi hanya dua kali ia di penjara, karena ia selalu berhasil melarikan diri dan bersembunyi di suatu tempat yang tidak ada seorang pun mengetahuinya. Konon kabarnya Gali Pardun bisa menghilang. Namun kabar itu belum pernah terbukti kebenarannya karena tidak ada seorang pun yang benar-benar melihat Gali Pardun menghilang di depan matanya. Pada waktu tertangkap dulu sebenarnya Gali Pardun sudah berhasil melarikan diri, tapi karena dikhianati oleh anak buahnya sendiri, si Basri, akhirnya persembunyiannya diketahui oleh polisi. Setelah Gali Pardun keluar penjara, pengkhianat itu pun dibunuhnya di depan anak buahnya yang lain, biar kalian tahu apa jadinya bila orang berkhianat, begitu katanya kepada anak buahnya. Bagi Gali Pardun jalan termudah menutup mulut orang yang banyak bicara adalah dengan membunuhnya.

Pernah di suatu hari, tepatnya satu bulan setelah anak pertamanya lahir, Gali Pardun bersama anak buahnya merencanakan perampokan atas seorang pengusaha perkebunan cengkeh di desa Banyu Biru yang letaknya sekitar sepuluh kilo meter dari desanya, desa Pager Wesi. Hari itu dia mendengar kabar dari mata-matanya yang tinggal di desa Banyu Biru bahwa si pengusaha cengkeh yang bernama Haji Samad sedang berada di kota kecamatan. Katanya Haji Samad sedang menjual hasil kebunnya yang lagi panen raya. Jadi kalau cengkeh-cengkeh itu laku dijual mungkin barang sepuluh-dua puluh juta duit ada di tangannya.

Berlima dengan anak buahnya Gali Pardun pergi ke hutan angker yang terletak di antara desanya dengan desa Banyu Biru. Informasi dari mata-matanya, Haji Samad pergi ke kota kecamatan dengan menggunakan mobil pick up-nya dan kira-kira pukul 06.00 sore akan tiba di jalan hutan ini setelah menempuh sekitar 1 jam perjalanan dari kota kecamatan. Jalan hutan ini adalah satu-satunya jalan yang menghubungkan desa Pager Wesi dengan desa Banyu Biru. Apabila senja hari hanya sedikit orang yang berani melewati jalan ini karena takut dengan cerita-cerita yang menyeramkan mengenai hantu-hantu penunggu hutan angker yang katanya bisa menculik dan memakan orang. Padahal cerita-cerita mengenai hantu hutan angker tersebut hanyalah karangan Gali Pardun dan anak buahnya yang sengaja dihembuskan supaya masyarakat takut dan tidak berani melewati jalan hutan ini. Sehingga Gali Pardun dan anak buahnya leluasa menguasai areal hutan ini sebagai wilayahnya kerjanya.

Gali Pardun dan anak buahnya bersembunyi di balik rindangnya daun pepohonan yang berjajar di tepi jalan hutan. Suasana hutan yang gelap membuat orang yang melewati jalan ini tidak akan bisa mengetahui keberadaan mereka. Waktu itu jam sudah menunjukkan pukul 05.00 sore. Sambil melihat arloji di tangannya, Sutir menepuk nyamuk yang hinggap dan menggigit lehernya.

"Sialan !" umpatnya setengah berbisik sambil memilin nyamuk hutan yang cukup besar dan sudah mati tersebut dengan telunjuk dan ibu jarinya. Dia tidak berani bersuara terlalu keras, karena pelototan mata Gali Pardun sudah sedari tadi menatapnya, tak senang karena tingkahnya yang seperti orang kepanasan. Keadaaan memang harus dibikin sesenyap mungkin, supaya pengintaian berjalan lancar.

Setelah satu jam menunggu dengan ditemani gigitan nyamuk-nyamuk hutan, Gali Pardun dan anak buahnya mendengar suara deru mesin mobil dari kejauhan. Itu pasti mobil pick up-nya Haji Samad, batin Gali Pardun. Di keluarkannya suitan melengking dari mulutnya sebagai isyarat kepada anak buahnya untuk bersiap-siap menyambut kedatangan mobil pick up Haji Samad yang akan melintas di depan mereka.

Deru suara mobil pick up itu semakin dekat. Ketika jarak antara tempat persembunyian mereka dengan mobil pick up itu kurang lebih tinggal beberapa meter lagi, berlompatanlah Gali Pardun dan anak buahnya mengepung mobil itu sambil berteriak, "Berhenti ! Matikan mesin mobil dan keluar !"

Haji Samad bukan termasuk orang yang penakut, dengan tenang dimatikannya mesin mobil dan sambil membuka pintunya Haji Samad keluar mendekati Gali Pardun.

"Ada apa, Dun ?" Tanya Haji Samad dengan ramah, namun ketegangan tidak bisa disembunyikan dari wajahnya. Tangan kanannya sedari tadi sudah mengejang, bersiap mencabut golok yang tersembunyi di balik baju jaketnya yang tidak terkancing. Sedangkan tangan kirinya sejak keluar dari mobil masih memegang buntelan yang terikat di pinggangnya.

Bukannya Gali Pardun tidak melihat gerakan tangan Haji Samad, tetapi dia pura-pura tidak melihatnya. Dilangkahkannya kakinya semakin mendekati Haji Samad yang tampak berdiri menunggu. Lalu sambil menatap tajam mata Haji Samad yang juga terlihat marah, Gali Pardun berkata dengan suara berat, "Sebaiknya Pak Haji tidak usah melawan karena saya tidak akan memberikan ampunan. Serahkan semua uang yang ada di buntelan itu. Dan jangan coba-coba melaporkan kejadian ini kepada polisi atau siapa saja. Saya akan dengan mudah mendatangi rumah Pak Haji dan membunuh Pak Haji sekeluarga kapan pun saya mau."

Haji Samad semakin meradang mendengar ancaman tersebut. Ditariknya kepala golok yang terselip di balik jaketnya dan dengan cepat di tebaskannya tepat ke arah leher Gali Pardun. Seandainya Gali Pardun bukan perampok berpengalaman dan bukan ahli bela diri, mungkin kepalanya sudah terpisah dari badannya terkena sabetan golok Haji Samad. Gali Pardun berkelit sedikit ke kiri dan lehernya pun terselamatkan. Bagi Gali Pardun Haji Samad yang berumur lima puluh tahunan itu bukanlah tandingannya. Hanya dengan menepukkan tepi telapak tangan kirinya ke bahu orang tua itu, Haji Samad langsung terjungkal ke tanah dan golok di tangannya terlepas beberapa meter dari tubuhnya.

"Ebot, ambil buntelan di pinggangnya, cepat !" Perintah Gali Pardun kepada Ebot yang berdiri beberapa meter dari tempat jatuhnya Haji Samad. Dengan cepat Ebot mendekati Haji Samad dan berusaha menarik buntelan yang berisi uang itu dari pinggangnya. Haji Samad tidak berdiam diri, dengan cepat dipegangnya pergelangan tangan Ebot dan didorongnya ke samping hingga terjatuh, sedangkan dia sendiri langsung berdiri dengan sigap.

"Bangsat !" umpat Gali Pardun. Diterjangnya Haji Samad yang baru saja berdiri itu dan dengan cepat sebuah sabetan golok mengenai perut Haji Samad. Darah muncrat ke mana-mana. Haji Samad terhuyung-huyung memegangi perutnya yang terburai isi di dalamnya. Dicobanya memasukkan sebagian ususnya yang keluar, tetapi kakinya sudah tidak sanggup lagi menahan berat tubuhnya yang limbung. Seluruh persendiannya tiba-tiba melemas dan Haji Samad langsung jatuh terjengkang ke tanah. Sambil meringis menahan sakit yang luar biasa, Haji Samad menunjuk-nunjuk ke arah Gali Pardun yang berdiri dengan berkacak pinggang di depannya. Gali Pardun tersenyum puas sambil menyelipkan kembali golok yang berlumuran darah ke ikat pinggangnya.

"Demi Allah !" sumpah Haji Samad sambil menunjuk-nunjuk Gali Pardun dengan tangan kananya dan menggenggam erat buntelan kain dengan tangan kirinya. "Allah Maha Melihat dan Mengetahui semua perbuatan jahatmu hari ini, Pardun. Nanti buah cengkehku ini yang akan membalaskan semua perbuatanmu hari ini kepadaku."

Haji Samad menghembuskan nafasnya yang terakhir di depan mata Gali Pardun dan anak buahnya. Sekejap mereka tersadar dan segera menarik buntelan yang dipegang erat oleh tangan kiri Haji Samad. Betapa kagetnya mereka ketika mengetahui bahwa isi buntelan itu hanyalah beberapa genggam butiran cengkeh kering.

Rupanya Haji Samad tidak membawa uang hasil penjualan panen cengkehnya pada hari itu. Uang tersebut dititipkan pada seorang temannya di kota kecamatan untuk dibawakan esok harinya ke desa Banyu Biru dan diserahkan kepada dirinya. Sepertinya Haji Samad berfirasat jelek pada hari itu sehingga memutuskan untuk menitipkan saja uangnya pada temannya. Sedangkan butiran cengkeh yang terdapat di dalam buntelan itu adalah merupakan contoh cengkeh yang dikehendaki pelanggannya di kota kecamatan. Katanya cengkeh Haji Samad kurang kering penjemurannya dan si pelanggan memberikan contoh cengkeh yang sesuai dengan keinginannya.

Gusar sekali Gali Pardun melihat kejadian ini. Dihempasnya buntelan berisi butiran cengkeh itu ke tanah sehingga berhamburan isinya, lalu sambil menyumpah-nyumpah di ajaknya anak buahnya meninggalkan tempat itu dan berlari ke dalam hutan. Mereka pergi meninggalkan tubuh Haji Samad yang tergeletak tak bergerak dengan butiran-butiran cengkeh berserakan di sekitarnya. Cahaya matahari senja hanya tinggal sebersit di ufuk Barat. Dan angin malam yang dingin mulai merayap di sela-sela dedaunan pohon-pohon hutan yang tampak gelap menyeramkan.

Setelah kejadian perampokan dan pembunuhan itu diketahui keesokan harinya, masyarakat luas pun sudah langsung bisa menebak siapa kira-kira yang melakukannya. Tapi tidak pernah ada seorang pun yang berani bercerita tentang hal tersebut. Hingga akhirnya kasus tewasnya Haji Samad pun ditutup sementara oleh pihak kepolisian disebabkan tidak ada seorang pun yang dapat memberikan keterangan ketika ditanya oleh polisi. Semua mulut ditutup rapat dan semua berlagak pura-pura tidak mengetahui perihal kemungkinan siapa pelakunya.

--oo00oo--

Gali Pardun tersentak kaget ketika mendengar suara orang ribut di depan rumah istri mudanya. Seketika buyarlah lamunan tentang masa lalunya setelah ia mendengar suara orang-orang bercakap-cakap agak nyaring yang terdengar dari luar rumahnya.

"Kang, ada beberapa orang polisi di depan rumah kita bersama dengan Kepala Desa, " beritahu isterinya yang dengan setengah berlari masuk ke dalam rumah. "Ada apa, Kang, kok banyak sekali polisinya ?"

Marni cemas melihat kedatangan polisi-polisi itu. Apalagi beberapa orang polisi itu tampak memegang senjata berlaras panjang yang moncongnya diarahkan rumah mereka. Diintipnya semua kejadian itu dari jendela rumahnya dan dengan perasaan was-was disekanya keringat yang membasahi dahinya. Kedua anaknya yang kebetulan bermain di halaman juga langsung masuk ke dalam rumah. Anaknya tertua bertanya kepada bapaknya kenapa polisi-polisi itu menodongkan senjatanya ke arah rumah mereka. Gali Pardun tidak sempat menjawab pertanyaan anaknya. Dia langsung bergegas melangkah ke luar rumah dan berteriak nyaring kepada orang-orang yang berada di halaman rumahnya.

"Hoi, ada masalah apa yang membuat kalian datang kemari ? Kalian ingin menangkapku ?"

Kepala Desa bergegas mendekati Gali Pardun yang sedang berdiri berkacak pinggang di depan pintu rumahnya. Dengan badan sedikit membungkuk seperti orang ketakutan Kepala Desa lalu berkata dengan sedikit pelan, "Maaf, Pak Pardun, Bapak polisi-polisi itu meminta Bapak untuk ikut ke kantor Polsek sekarang juga, katanya ..."

Belum selesai perkataan si Kepala Desa, Gali Pardun sudah memotongnya dan berteriak ke arah polisi-polisi yang sedang menodongkan senjata ke arahnya, "Aku tidak akan pergi dari rumah ini, apa pun yang terjadi ! Kalian dengar itu ? Sekarang juga pergi dari sini dan jangan membuat Gali Pardun marah !"

Salah seorang dari polisi-polisi itu segera maju ke depan dan berdiri sekitar lima meter dari teras rumah Gali Pardun. Dia tidak menodongkan senjatanya karena pistolnya masih tersimpan rapi di sarungnya. Gali Pardun tidak mengenal polisi-polisi ini, berarti mereka bukan dari kantor Polsek di kota kecamatan. Mereka pasti polisi-polisi dari kota kabupaten. Gali Pardun mulai curiga, pasti ada orang yang telah menjadi pengkhianat. Apakah salah seorang anak buahnya dulu ?

"Maaf, Bapak Pardun, "kata polisi itu memulai pembicaraan. "Saudara, kan yang bernama Gali Pardun ?"

Gali Pardun tidak menjawab pertanyaan dari polisi itu. Matanya nyalang melihat setiap polisi yang menodongkan senjata laras panjang kepadanya dari jarak sekitar sepuluh meter dari tempatnya berdiri. Giginya bergemeletuk menahan marah. Tangannya mengepal di samping tubuhnya. Kepala Desa yang tadi berada di dekatnya, sudah lama menyingkir sejauh-jauhnya. Si Kepala Desa tahu situasi sudah menjadi gawat. Dari pada bernasib sial, lebih baik pergi sejauh-jauhnya menyelamatkan diri.

Polisi yang tadi mendekatinya tampak masih terlihat sabar dan dengan tegas dia berkata. "Saudara Gali Pardun, Saudara diminta ikut ke kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatan Saudara. Saudara dituduh telah menjadi otak perampokan dan sekaligus pembunuh Haji Samad pengusaha cengkeh dari desa Banyu Biru dua puluh tahun yang lalu. Demi kebaikan Saudara, kami harap Saudara mengangkat tangan ke atas dan menyerahkan diri dengan baik-baik."

Polisi itu langsung mengeluarkan pistolnya ketika melihat Gali Pardun tidak juga mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah. Lelaki tua berumur lima puluh tahunan tersebut bahkan bergerak meninggalkan pintu rumahnya dan melangkah ke halaman, semakin mendekati polisi-polisi itu dengan geram kemarahan. Tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya dan dadanya dibusungkan seperti siap menerima semua muntahan peluru dari moncong senjata-senjata yang sudah diarahkan kepadanya. Suasana benar-benar menegangkan, ketika tiba-tiba keheningan yang mencekam dipecahkan oleh suara tembakan yang bersahut-sahutan. Asap mengepul dari setiap moncong laras senjata yang dipegang oleh polisi-polisi itu. Burung-burung yang hinggap di atas pohon di halaman rumah Marni berterbangan ke sana kemari dengan gaduh. Semua tertegun, bahkan polisi-polisi itu sendiri seperti takjub dengan apa yang telah mereka lakukan. Gali Pardun tampak berdiri dengan tubuh penuh luka berdarah akibat terjangan peluru dari senjata polisi-polisi itu. Sejenak dia tampak tegap seperti tidak terjadi apa-apa, namun beberapa detik kemudian Gali Pardun roboh ke tanah.

"Bapak !" Akang !" Teriakan pilu terdengar bersahut-sahutan dari dalam rumah. Marni dan kedua anaknya yang sedari tadi mengintip semua kejadian dari jendela rumah mereka, seketika berlari sambil menangis mengejar tubuh Gali Pardun yang sudah tertelentang di halaman. Darah membasahi bajunya dan celana Gali Pardun. Ada kurang lebih sepuluh lubang peluru di tubuh dan kakinya yang tampak sudah kaku tidak bernyawa.

"Bapak !" tangis anaknya membahana ke udara. Tangisan dan teriakan pilu antara ibu dan anak terus terdengar. Tak ada seorang pun yang sanggup untuk berbicara pada saat itu. Bahkan polisi-polisi itu juga diam. Senjata mereka sudah berada di samping tubuh mereka, dipegang oleh tangan yang gemetar. Mereka memang sudah lama jadi polisi, tapi baru sekali ini mereka menembak orang dengan tujuan untuk membunuhnya. Bau mesiu yang tercium di udara bercampur dengan erangan dan tangisan yang kian lama kian menghilang. Hanya tinggal isakan pilu yang keluar dari mulut Marni dan kedua anaknya yang sedang menelungkupi mayat suami dan bapak mereka yang terbaring kaku di tanah.

--oo00oo--

Tidak seorang penduduk desa pun yang tahu siapa yang telah melaporkan kejahatan Gali Pardun kepada polisi. Semua orang membicarakan hal tersebut selama berbulan-bulan tanpa ada yang tahu jawaban yang pasti. Informasi dari Polsek mengatakan bahwa urusan penangkapan Gali Pardun sudah merupakan wewenang Polres di kota Kabupaten, bahkan katanya pihak Polda juga ikut andil.

Marni dan kedua anaknya tidak mendapatkan apa pun dari harta warisan Gali Pardun karena ternyata kebun cengkeh yang luas di desa Banyu Biru tersebut adalah milik Haji Samad yang dirampas oleh Gali Pardun dari ahli warisnya, anak dan istri Haji Samad. Hasil keputusan pihak pengadilan bahwa harta Gali Pardun harus dikembalikan kepada pemiliknya yang sah yaitu istri dan anak Haji Samad tersebut.

Bagaimana nasib Sularsih dan ketiga anaknya ? Sularsih yang merupakan anak orang kaya di desanya kembali ke rumah ibunya yang sudah bercerai dari suaminya. Anak-anak Sularsih mendapatkan warisan dari kakeknya, bapaknya Sularsih yang kaya raya karena bapaknya tersebut - yang meninggal tidak lama setelah kejadian penangkapan Gali Pardun - tidak memiliki seorang saudara pun.

Ada dua misteri yang masih belum terjawab. Pertama, siapakah orang yang melaporkan kejahatan Gali Pardun kepada polisi ? Kedua, kenapa Gali Pardun yang terkenal kebal dan tahan terhadap tebasan senjata tajam dan tahan terjangan peluru ternyata akhirnya tewas ditembak polisi ?

Ternyata laporan tersebut berasal dari Sularsih, isteri Gali Pardun sendiri. Setelah menahan sakit hati yang cukup lama karena dimadu, dan setelah terjadi pertengkaran hebat disebabkan sebutir cengkeh yang menyangkut di tenggorokan Gali Pardun pada saat makan pagi, akhirnya Sularsih mengambil keputusan untuk mendatangi kantor Polsek setempat melaporkan kejahatan yang telah dilakukan Gali Pardun, suaminya dua puluh yang lalu. Pihak Polsek kemudian memutuskan menyerahkan permasalahan ini ke Polres karena tahu bagaimana sepak terang Gali Pardun yang cukup berbahaya. Dan mengenai hilangnya ilmu kebal Gali Pardun tidak lain adalah keterangan dari Sularsih yang mengetahui betul seluk-beluk ilmu suaminya. Di kantor polisi dia juga bercerita mengenai ilmu kebal Gali Pardun dan cara menghilangkannya, yaitu dengan menggunakan ujung peluru yang terbuat dari emas.

(A thousand rivers city, June 7th, 2008)

Cintaku Kandas di Mal

Pernah tayang di Wikimu pada Kanal Sastra, Senin 02-06-2008 15:42:28


Suara orang tertawa membahana dan memantul ke segala penjuru mall. Orang-orang menoleh serentak ke arah datangnya suara tertawa terbahak-bahak itu. Di antara pengunjung perempuan ada yang berbisik-bisik kepada teman di sampingnya sambil tersenyum kepada Ricky dan teman-temannya.

"Kamu, tuh yang ketawanya paling keras," ejek Boy kepada Ricky. "Kalau tertawa lihat-lihat dulu sekeliling, dong. Jangan asal ngakak, saja." Mereka saling mendorong sambil tertawa-tawa dan terus berjalan ke arah food court yang ada di depan mereka.

Ricky, Boy, Suli dan Alvin adalah empat serangkai yang merupakan teman karib. Mereka satu sekolah di SMU Citra, sebuah Sekolah Menengah Umum swasta yang tidak termasuk favorit di kota mereka. Berempat mereka biasa menghabiskan waktu setelah pulang sekolah di mall ini. Minum-minum atau sekedar berdiri ngobrol di teras mal. Mal ini memang terletak tidak jauh dari sekolah mereka, jadi apabila waktu belajar di sekolah sudah habis mereka bermain di sini dulu sebelum pulang ke rumah. Barang sejam dua jam untuk sekedar mencuci mata dan sedikit melepas lelah sambil membina keakraban di antara mereka. Seperti sekarang ini, mereka sedang duduk-duduk di salah satu meja di foodcourt dengan gelas berisi minuman pesanan masing-masing di tangan.

"Rick, aku lihat tadi kamu terus memandangi cewek yang berdiri di depan toko 99 itu," tanya Alvin penuh selidik. "Kamu naksir, ya ?"

Ricky tersenyum sambil menghirup es tehnya. "Iya, tuh cantik betul. Nanti pasti gua samperi, lihat saja." Ricky kembali menghirup es tehnya sampai tandas. "Dan ingat, ngga ada yang boleh mengganggu gua, apalagi mencoba menaksir juga."

"Iya, deh," sahut teman-temannya serempak. "Kita hanya melihat dari jauh saja," kata Boy sambil menghabiskan teh botolnya. "Ayo, cabut." Serempak mereka berdiri dan bersama-sama menuruni eskalator menuju lantai berikutnya.

Di depan toko 99 mereka semua tertegun. Gadis cantik yang tadi terlihat berdiri di depan toko tersebut, ternyata sudah tidak ada lagi. Padahal tadi dia seperti sedang menunggu seseorang, tapi sekarang sudah tidak tampak lagi dan sepertinya sudah bertemu dengan orang yang ditunggunya.

"Mba," sapa Ricky kepada seorang cewek, pelayan toko 99 yang sedang berdiri di dekat pintu masuk toko. "Gadis yang sejak tadi berdiri di dekat pagar ini, sekarang kemana, Mba ?"

Pelayan itu memandang kepada Ricky dan teman-temannya silih berganti dan bertanya. "Maksud kamu yang berseragam sekolah ?"

"Iya, ya," sahut Ricky cepat. "Dia pergi ke arah mana ?"

"Dia tadi turun ke lantai bawah bersama Bapaknya," jawab si pelayan. "Maaf, saya ada pembeli. Saya ke dalam dulu."

Setelah ditinggalkan si pelayan, Ricky dan kawan-kawannya bergegas menuruni tangga berjalan menuju lantai berikutnya. Ricky celingak-celinguk ke seluruh penjuru mal. Dilihatnya satu persatu cewek-cewek yang berseragam sekolah, tapi tidak ada seorang pun yang profil wajahnya mirip dengan cewek itu. Boy menenangkan Ricky dan mengajak teman-temannya pulang.

--oo00oo--

"Itu dia," kata Ricky kepada teman-temannya, keesokan harinya di mal yang sama. "Gua akan menemui dia, dan kalian tunggu saja di sini. Jadi anak manis dan awas kalau jahil," gertak Ricky lagi kepada teman-temannya.

"Huh," sembur teman-temannya serempak. "Maju sana, buktikan kalau kamu bisa."

Ricky berjalan perlahan ke depan toko 99 dan kemudian berdiri tepat di samping cewek yang sudah diincarnya itu sejak kemarin. Si cewek tersenyum kepada Ricky sambil menggoyangkan kepalanya sedikit ke kanan untuk mengibaskan sedikit rambut yang menutupi sebagian wajahnya.

"Ya, Tuhan. bidadarikah dia ?" tanya Ricky dalam hati. Untuk beberapa detik Ricky tidak sanggup untuk berkata-kata. Ditelannya dulu air liur kental di tenggorokannya yang tiba-tiba menjadi kering mendadak. Dan akhirnya kata yang keluar dari mulutnya adalah, "Hai !"

"Hai juga," sahut si cewek. Aduh, suaranya itu. Kaki dan tangan Ricky bergetar dan suaranya yang keluar kemudian pun turut bergetar. "Ee, gua Ricky," kata Ricky singkat. Bodoh, katanya sendiri di dalam hati. Ini bukan cara berkenalan yang baik. Pasti cewek ini akan bingung melihat tingkahku.

"Maaf, ada apa ?" Tanya si cewek bingung mendengar Ricky menyebutkan nama.

Ricky menjadi salah tingkah. Diusapnya keringat yang membasahi dahinya dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya membetulkan rambut yang menutup sebagian mata kanannya. "Ah, eh, gua ingin berkenalan. Boleh, khan ?" Ricky kemudian mengulurkan tangan kanannya ke depan menunggu reaksi si cewek.

"Boleh," sahut cewek itu sambil membalas jabatan tangan Ricky. "Gua Sherli."

"Nama yang cantik," puji Ricky. Ditunggunya tanggapan atas pujian itu. Sherli diam saja. Busyet, pikir Ricky. Pasti dia sudah biasa dipuji demikian.

"Hm, sedang menunggu siapa ?" tanya Ricky sambil pura-pura melirik ke kanan dan ke kiri seperti sedang mencari seseorang. "Aku sering melihat kamu berdiri di depan toko 99 ini."

Sherli tertawa. Giginya yang putih tampak berkilauan diterpa cahaya lampu mal yang terang benderang. Dihelanya rambutnya yang menutupi sebagian lehernya yang putih jenjang - Gila, umpat Ricky dalam hati setelah melihat pemandangan ini - sambil sedikit mengangkat sedikit dagunya dia berkata, "Menunggu papah."

"Papah kamu kemana ?" tanya Ricky heran. "Dia bekerja di mal ini ?"

"Ah, bukan." jawab Sherli singkat. "Dia bekerja di kantor di sebelah mall ini. Sebentar lagi dia akan pulang untuk istirahat dan sekalian jemput aku di sini."

"Oh," sahut Ricky seperti mengerti tetapi sebenarnya belum. Buktinya Ricky bertanya lagi dengan penuh keheranan. "Tapi kenapa menjemput kamu di sini. Bukannya menjemput di sekolah ? Eh, sekolah kamu di mana ?"

Sherli menyorongkan bahu kanannya ke depan dan memperlihatkan nama sekolah yang dijahit di lengan kanan baju seragamnya. "Sekolah kita, kan tidak berjauhan," kata cewek itu sambil melirik emblem yang dijahit di lengan kanan baju Ricky.

"Iya, ya," kata Ricky sambil mengingat-ingat letak sekolah Sherli dan juga berpikir di mana kira-kira pernah melihat Sherli sebelum pertemuan ini. Ah, anak-anak SMU Pribakti memang jarang terlihat bergerombol di depan gerbang sekolahnya pada saat jam pulang. Sekolah tersebut, kan sekolah anak-anak orang kaya, jadi mereka biasanya sudah dijemput atau pulang menaiki mobil yang diparkir di dalam gedung sekolah.

"Oh, ya," suara Sherli menyadarkan lamunan Ricky. "Itu, papah sudah menjemput. Aku duluan, ya. Dah."

Ricky menangguk kepada laki-laki separuh baya yang datang mendekati Sherli. Lelaki itu tersenyum kepada Ricky dan terus menjemput tangan Sherli. Sherli memeluk pinggang papahnya dan mereka menuruni eskalator menuju lantai dasar, perlahan-lahan hilang dari pandangan Ricky.

"Baa !" teriak Boy, Suli dan Alvin serempak di telinga Ricky. Ricky tersentak dan lamunannya buyar.

"Wah, betul-betul jatuh cinta rupanya sobat kita ini," ledek Suli sambil bergaya seperti berpuisi. "Aku bisa merasakan getaran-getaran perasaan menjalar di udara." Suli mengangkat kedua tangannya ke atas, kemudian menggoyang-goyangkannya.

"Sudah, sudah," potong Boy. "Ayo kita pulang. PR kita lagi banyak dan semua harus selesai besok."

--oo00oo--

Ricky berdiri di depan toko 99 bersama ketiga sobatnya. Tiga hari sudah sejak pertama bertegur sapa dengan Sherli disini, dia selalu mengobrol akrab dengan cewek itu. Di tempat yang sama dengan pembicaraan yang selalu berbeda. Pembicaraan mereka semakin bebas dan selalu dipenui canda dan cerita-cerita lucu. Ada cerita mengenai guru-guru sekolah mereka masing-masing. Ada guru yang killer, ada guru yang centil, dan lain sebagainya. Juga cerita tentang teman-teman mereka yang bermacam-macam sifatnya, kejahilan mereka, kelucuan mereka. Tapi belum sedetik pun Ricky berani untuk memulai pembicaraan yang menjurus ke arah cinta. Tidak juga Ricky bertanya di mana rumah cewek itu. Apalagi menyampaikan keinginan untuk apel malam minggu. Hal pertama yang mencegahnya untuk membicarakan hal tersebut adalah kemungkinan bahwa Sherli adalah anak orang kaya dan Ricky menjadi minder karenanya.

"Wah, Rick," ucap Boy memecah kesunyian. "Tampaknya Sherli tidak datang ke sini hari ini. Mungkin dia sakit, mungkin juga papahnya yang tidak masuk kerja, sehingga dia pulang sendiri ke rumah."

"Ya," sahut Ricky lemah. "Mendingan kita pulang saja. Perutku sudah keroncongan. Kalau minum air mineral terus nanti perutku bisa kembung."

Mereka berjalan beriringan keluar pintu mal. Terminal bis memang tidak terlalu jauh letaknya dari mal ini, kira-kira sepuluh menit apabila ditempuh dengan berjalan kaki. Ada banyak perkantoran dan hotel yang berada di antara mal dan terminal. Namun karena sudah terbiasa, Ricky dan kawan-kawannya tidak pernah merasa jauh menempuh jarak tersebut. Sebetulnya ada halte di sekitar mal, tapi untuk jurusan ke rumah Ricky dan kawan-kawannya tidak ada yang lewat di depan mal ini disebabkan arah lalu lintas yang searah.

Sambil bercanda Boy, Suli dan Alvin berusaha menghibur hati temannya yang sedang bersedih. Perjalanan yang biasanya ditempuh dengan cepat karena hati riang, sekali ini terasa jauh dan melelahkan. Sesekali tampak Ricky tersenyum melihat kelakuan ketiga temannya yang sering bercanda dengan orang lewat sepanjang perjalanan mereka menuju terminal. Tapi kemudian wajah muram itu tergambar kembali. Boy melirik Ricky dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Hei, Rick !" teriak Suli perlahan sambil memelototkan matanya sambil melihat ke arah hotel yang berada tepat di depan mereka. "Itu, di sana itu Sherli dengan papahnya."

Ricky sedikit kaget karena menjumpai Sherli dengan papahnya di hotel itu. Hotel itu hotel mahal, berbintang lima kata orang. Yang menginap di sini pasti orang kaya-kaya semua. Ricky terus menatap Sherli yang hari itu tidak mengenakan seragam sekolah. Perlahan-lahan punggung berbalut baju kaos warna biru itu menghilang di antara dua pintu kaca yang tertutup secara otomatis.

Benak Ricky masih dipenuhi rasa heran melihat pemandangan yang telah berlalu di depan matanya. Ada seribu pertanyaan membayang di kepalanya. Pertanyaan yang sulit untuk diwujudkan karena rasa takut yang luar biasa. Takut akan kekecewaan yang tiba-tiba datang di relung-relung hatinya. Perasaan takut akan sebuah takdir yang tidak dikehendakinya.

"Sudahlah, Rick," suara Boy memecah kesunyian. "Mendingan kita pulang saja. Tadi aku sudah menanyakan kepada room boy yang berdiri di depan pintu hotel itu. Waktu kutanyakan siapa yang orang yang bersama cewek berbaju biru itu, room boy itu bilang kalau lelaki yang bersama cewek itu adalah langganan tetap hotel ini. Dan, dan ... katanya ... cewek itu adalah salah satu cewek penghibur yang sering dibawanya menginap di hotel ini ...."

Boy tidak sanggup lagi meneruskan kata-katanya. Padahal masih banyak lagi keterangan yang diberikan si room boy yang suka bergosip itu. Tapi kata-katanya seperti tercekat di tenggorokan setelah melihat Ricky sohibnya, terduduk di trotoar di depan pos satpam hotel tersebut sambil menelungkupkan kepalanya di antara kedua kakinya.

--oo00oo--

In Memory from Thousand River City

Bila Bule Bisa Beli Bali

Pernah dimuat di Wikimu pada Kanal Gaya Hidup, Minggu 25-05-2008 10:06:26

Berjalan di sepanjang Kuta dan Legian pada malam hari sepertinya bukan berjalan di salah satu bagian di wilayah Indonesia. Di sepanjang jalan yang dilalui, di pertokoan, di kafe-kafe dan restoran, banyak dijumpai orang-orang berambut pirang, merah, coklat atau berkulit putih, kuning, merah atau hitam yang berbicara dengan beragam bahasa asing. Itulah Bali, surganya bagi para wisatawan asing. Disebut surga karena di Bali mereka mendapatkan kesenangan dan sekaligus harga yang terjangkau seukuran isi kantong mereka.

Bali betul-betul surga

Bali Pulau Dewata memang menjadi surga bagi orang-orang asing itu. Di Bali mereka menemukan berbagai kesenangan sesuai dengan gaya hidup mereka. Sepanjang malam kafe-kafe, restoran-restoran memanjakan mereka dengan makanan enak dan alunan musik. Lampu temaram membuat mereka bertambah betah menghabiskan waktu sambil berbincang-bincang dan tertawa-tawa. Bila membutuhkan pakaian baru atau keperluan lainnya mereka tinggal memasuki toko-toko dan membeli barang dengan harga yang cukup terjangkau kantong mereka. Barang-barang luar negeri, makanan luar negeri, musik asing, gaya hidup asing, cukuplah membuat Kuta dan Legian menjadi sebuah kampung baru bagi mereka, bule-bule itu. Ya, sepanjang jalan itu kita akan merasa seperti orang asing di negeri sendiri !

Surga itu pun menjadi semakin lengkap karena di Bali orang asing tidak hanya memperoleh kesenangan tapi juga memperoleh keuntungan. Karena sebagian besar toko-toko, kafe-kafe dan restoran-restoran di sepanjang Kuta dan Legian yang menjajakan produk-produk asing atau impor dan berharga mahal untuk ukuran rakyat kebanyakan di Indonesia adalah merupakan milik orang asing. Begitu juga hotel-hotel yang namanya berbau asing dan dengan penataan bangunan, eksterior dan interior, yang terlihat sangat mewah memasang tarif inap yang lumayan mahal dengan standar dollar, yang kira-kira jika dirupiahkan mungkin cukup membuat turis domestik pada umumnya menjadi tidak bisa makan di Bali dan juga tidak bisa pulang kembali ke rumah.

Iseng-iseng saya beberapa kali menanyakan dengan sedikit gaya wawancara, baik kepada penjaga toko, pelayan restoran atau pun resepsionis hotel yang bekerja di tempat-tempat wah tadi, dan mereka kebanyakan memberikan keterangan yang senada bahwa pemilik modal tempat mereka adalah orang asing. Dan biasanya untuk kemudahan berurusan dengan pemerintah daerah atau pusat orang asing tersebut bekerja sama dengan pengusaha lokal atau domestik, sehingga masalah perijinan dan lain-lain tidak akan mengalami kesulitan.

Suatu saat, mungkin, pada akhirnya Bali dan seluruh potensi pariwisatanya akan dikelola dan dimiliki oleh orang asing / investor asing, sedangkan kita akhirnya menjadi turis asing di negeri sendiri.

JADUAL PENERBANGAN BANJARMASIN

GARUDA INDONESIA

BDJ - JKT / JKT - BDJ

Flight 1 / 06.20- 06.55 LT / 06.10 -08.50 LT

Flight 2 / 09.25 - 10.00 LT / 14.20 - 17.00 LT

Flight 3 / 17.35 - 18.10 LT / 19.00 - 21.40 LT


LION & WING’S AIR

BDJJKT / JKT – BDJ

Flight 1 / 06.40 - 07.15 LT / 06.15 - 08.50 LT

Flight 2 / 09.30 - 10.05 LT / 11.00 - 13.35 LT

Flight 3 / 14.15 - 14.50 LT / 15.30 - 18.05 LT

Flight 4 /18.45 - 19.20 LT / 19.10 - 21.45 LT



BDJSUB / SUBBDJ

Flight 1 /07.00 - 07.05 LT /07.30 - 09.35 LT

Flight 2 /10.05 - 10.10 LT /10.45 - 12.50 LT

Flight 3 /13.25 - 13.30 LT /14.10 - 16.15 LT

Flight 4 /16.50 - 16.55 LT /17.15 - 19.20 LT


BATAVIA AIR

BDJJKT /JKTBDJ

Flight 1 /07.00 - 07.40 LT/ 18.50 - 21.20 LT

BDJ – SUB /SUB – BDJ

Flight 1 /14.35 - 14.35 LT/ 07.15 - 09.15 LT

BDJBPP /BPPBDJ

Flight 1 /09.45 - 10.30 LT/ 13.20 - 14.05 LT


SRIWIJAYA AIR

BDJJKT/ JKTBDJ

Flight 1 /13.20 - 14.00 LT /10.10 - 12.45 LT

BDJSUB /SUBBDJ

Flight 1 /07.30 - 07.30 LT /16.40 - 18.45 LT


MANDALA AIRLINES

BDJ – JOG /JOG – BDJ

Flight 1 /16.25 - 16.40 LT /10.30 - 12.45 LT

BDJ – SUB /SUBBDJ

Flight 1 /13.15 - 13.15 LT /13.35 - 15.55 LT


Keterangan :


* Jadual sewaktu-waktu berubah sesuai dengan ketetapan dari pihak airlines ybs.

* LT (Local Time) = waktu setempat * BDJ = Banjarmasin, JKT = Jakarta, SUB=Surabaya, BPP=Balikpapan, JOG=Yogyakarta

Piss Indonesia Year

Pernah dimuat di Wikimu pada Kanal Opini, Kamis 22-05-2008 09:28:17

Tahun ini dicanangkan pemerintah sebagai tahun kunjungan wisata ke Indonesia atau Visit Indonesia Year (VIY) 2008. Beberapa persiapan seperti pembuatan logo VIY 2008, koordinasi dengan perusahaan-perusahaan penerbangan, pemantapan program-program kepariwisataan, dan penyelenggaraan lebih dari 100 event di berbagai daerah, termasuk event akbar World Culture Forum 2008. Beberapa tempat wisata berbenah diri, dan kesibukan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata pun semakin bertambah. Dengan VIY 2008 pemerintah berharap akan membangkitkan kembali dunia usaha dan masyarakat untuk mempersiapkan diri dalam menyambut kunjungan wisatawan ke Indonesia.

Untuk kegiatan VIY 2008 ini pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 153 miliar pada RAPBN 2008, sedangkan pada RAPBN-P 2007 diusulkan sebanyak Rp 100 miliar. Dari anggaran RAPBN-P 2007 ini 80% akan digunakan untuk promosi dengan memasang iklan di media dalam dan luar negeri.

Diharapkan adanya VIY 2008 akan mendorong arus wisatawan mancanegara (Wisman) ke Indonesia menjadi 7 juta tahun 2008 dengan rata-rata lama tinggal sekitar 12-13 hari dan pengeluarannya mencapai US$ 100-200/hari, sekaligus juga peningkatan jumlah wisatawan nusantara (wisnus) yang pada tahun 2008 diperkirakan mencapai 116 juta wisnus.


Kencing ? Bayar

Setiap berkunjung ke sebuah tempat wisata, pertama kali yang saya cari adalah toilet atau WC. Maklum saya tidak bisa buang air kecil sembarangan, karena saya harus menjaga kebersihan diri untuk melaksanakan shalat hari itu. Jadi tuntutan toilet atau WC yang bersih dan memiliki cukup air bersih menjadi sangat penting.

Tapi apakah yang sering ditemui di setiap tempat wisata? Sebagian toilet atau WC yang tersedia sudah dalam keadaan tidak terawat atau rusak fasilitas air bersihnya dan bahkan ada yang tidak bisa dipergunakan lagi. Sehingga apabila kita ingin buang hajat, harus berkeliling mencari air bersih ke rumah atau warung di sekitar tempat wisata tersebut.

Dan ada lagi fenomena yang unik, dan ini saya yakin khas Indonesia, yaitu apabila kita ingin buang air hajat, kita harus merogoh uang di saku untuk sekedar sumbangan atau bahkan ada yang dengan tegas menulis berupa tarif : Rp.1.000,- untuk kencing, Rp.2.000,- untuk buang air besar dan Rp.3.000,- untuk mandi. Fenomena ini bahkan terjadi di kota-kota besar seperti di mall-mall dan menjadi bisnis tersendiri seperti toilet atau WC berjalan di luar halaman mall atau plaza.

Fenomena kencing bayar seperti ini belum pernah saya temui di negara jiran kita seperti Malaysia dan Singapura yang sama-sama beras Melayu. Di tempat-tempat wisata di sana fasilitas toilet dan WC (bahasa melayu : Tandas) dipelihara sedemikian bersih, harum dan gratis. Fasilitas tersebut termasuk bagian dari fasilitas yang disediakan setiap tempat wisata termasuk mushola untuk shalat dan parkir kendaraan gratis.

Kita mungkin akan memberikan alasan bahwa taraf ekonomi di negara jiran kita itu memang sudah termasuk katagori makmur. Sehingga mereka mempunyai dana cukup untuk pemeliharaan tempat-tempat wisata beserta fasilitas-fasilitasnya. Tapi bagaimana dengan anggaran Rp. 153 milyar pada RAPBN 2008 yang dialokasikan oleh pemerintah dalam rangka VIY 2008 ? Bahkan pada RAPBN 2007 sebesar Rp.100 milyar dan 80 % dari itu untuk promosi VIY 2008 ? Apakah tidak cukup dana tersebut untuk menyediakan toilet atau WC bersih, harum dan gratis di setiap tempat wisata di Indonesia ?

Sungguh saya merasa malu dengan para turis asing yang kebanyakan sangat jarang menggunakan toilet atau WC yang disediakan di tempat-tempat wisata kita - saya tidak tahu di mana akhirnya mereka membuang hajat. Sebagai seorang penyelenggara perjalanan wisata saya hanya bisa mengurut dada, dan berharap bule-bule itu tidak memplesetkan Visit Indonesian Year menjadi Piss Indonesia Year.

Adegan : Suatu Siang di Depan Gedung DPR


Pernah dimuat di Wikimu pada Kanal Sastra, Rabu 28-05-2008 11:34:02




Aktor 1 : Mahasiswa

Berjejer di pinggir jalan

jaket berdebu wajah kepanasan

keringat sumpek, menebar bau apek

Teriakan tak pernah berhenti

tenggorokan kering tak dihirau

kepalan tangan mengisi udara

Pemerintah pemeras rakyat !

Jangan naikkan BBM !

Kami menuntut keadilan !

Suara serak semakin parau

jalanan sesak semakin kacau

tulisan dan poster sudah mulai kumal

tetap semangat diacung-acungkan

Mobil-mobil berjejal, ambil kiri penuh mahasiswa, ambil kanan truk mogok berhenti

suara mesin menderu-deru, teriakan sumpah serapah bertebaran

Berjejer di pinggir jalan

muka masam mulai kepanasan

tapi teriakan tak pernah berhenti

tuntutan semakin meninggi

(Rendy, mahasiswa semester tiga

teringat tugas belum selesai

tapi demo masih harus digelar

perjuangan suci untuk rakyat kecil)

Aktor 2 : Buruh

Bergerombol,

Tangan menyatu dalam semangat

Teriakan-teriakan membahana

Kami bukan sapi perahan !

Kami manusia yang membantu Tuan

mencarikan uang dan kekayaan !

Kami memang orang bayaran

yang menuntut keadilan

dari sedikit keuntungan milyaran

yang tuan simpan di bank

Berduyun-duyun kaki bergerak seirama

Nyanyian-nyanyian terus menggema

di lorong hati yang menderita

karena harga-harga terus naik

sedang upah mereka habis di pangkas

untuk iuran, untuk arisan, untuk keperluan bulanan

Kami ini manusia !

Bukan sepah yang dibuang

setelah Tuan kunyah dan manis masuk kerongkongan

yang tuan sebut pegawai kontrakan

biar tak perlu beri pesangon pemecatan

Barisan terus bergerak maju

menuju pagar gedung dewan yang mulia

yang dijaga polisi bermuka baja

menatap kami dengan senjata

Minta sedikit didengar

Minta sedikir perhatian

Bawakan suara kami ke istana

Atau kami akan berbaring di sini

Biar tuan-tuan menoleh pada kami

(Joko, buruh pabrik sudah bekerja 10 tahun

belum pernah bolos dan melawan atasan

Tapi sudah 10 tahun jadi suruhan

Setiap tanggal 10 upah sudah tinggal senan)

Aktor 3 : Tukang Es

Anak-anak itu berebut minta duluan

seteguk air dingin sudah cukup menyegarkan

minuman 1000 Rupiah sudah cukup lumayan

asal yang beli sebanyak ini setiap hari

Tampaknya mereka ini anak berduit

bila dilihat sepatu dan arloji

bapaknya pasti pejabat tinggi

atau mungkin anak bupati

Mahasiswa, impian anakku yang tertua

waktu lulus sekolah dua tahun yang lalu

tapi Bapak tidak punya duit

cukuplah kamu jadi kuli bangunan

daripada nganggur bisa senewen

Aduh, pendemo-pendemo itu

Kocar-kacir dikejar petugas

Berhamburan seperti unggas

Ada yang berteriak-teriak dipukuli

Ada yang menangis memaki-maki

Aduh, untung anakku tidak ada di situ

kemarin dia bilang diajak kawan

untuk berdemo ke gedung dewan

menentang kesewenangan dan menuntut keadilan

Aduh, gerombolan yang berlarian

Menabrak apa saja yang menghadang

Takut pada pentungan dan suara tembakan

Untung mahasiswa-mahasiswa itu sudah pulang

Bisa jadi korban kebiadaban

Aduh, meja daganganku

terbalik dan hancur berantakan

botol-botol berjatuhan

pecah dan tumpah ke tanah

terinjak kaki-kaki berlari

(Pa Maman, lelaki berumur 50-an

30 tahun berjualan di jalanan

belum bisa kumpulkan uang

untuk persiapan masa pensiun)

Aktor 4 : Polisi

Aduh, Bu

Aku tadi sudah memukul anak orang

waktu ada demo buruh di gedung dewan

mungkin dia buruh mungkin juga bukan

Kepalanya berdarah

dan sekarang masih pingsan

di bangsal rumah sakit

menunggu keluarganya

Aduh, Bu

Untung Rendy sudah kusuruh pulang

Karena situasi sudah semakin gawat

Mereka berani menerjang pagar kawat

Menerobos masuk ke halaman gedung

Pilu hatiku, Bu

Apakah pekerjaanku akan terus begini

Memukuli rakyat kecil dan saudara sendiri

Sedang pekerjaan tak mungkin diganti

Di jaman serba susah seperti ini


(Brigadir Polisi Purnomo, seorang pengabdi Negara

punya anak dua, kehidupan sederhana

susah naik pangkat karena tidak sarjana)

Sabtu, Agustus 30, 2008

Mati Suri

Pernah dimuat di Wikimu Kanal Sastra, Senin 05-05-2008 14:03:15

Aldo mencoba menggapai tepi tempat tidurnya. Sementara tarikan nafasnya yang berat, begitu menyiksanya. Dengan susah payah dicobanya memasukkan udara lewat mulut, tapi tetap saja hanya sedikit udara yang bisa masuk. Nafasnya pun berbunyi nyaring : ngik, ngik, ngik.

Bila sudah kena serangan seperti ini, biasanya Aldo akan duduk berjam-jam dengan bahu terangkat untuk memudahkan udara keluar masuk paru-parunya. Untuk tidur dia sudah pasti tidak bisa. Badan tidak bisa dibaringkan karena hanya akan menambah sesak nafasnya. Bersandar di tumpukkan bantal juga tidak membantu, karena tekanan di punggungnya hanya akan membuat sesak nafasnya semakin menjadi. Penyakit ini memang parah. Asma ini telah diidapnya sejak kecil, sebagai bawaan dari kandungan, karena bapak dan ibunya pun mengidap penyakit yang sama. Kata orang apabila bapak dan ibu membawa penyakit turunan yang sama, maka anaknya akan mendapatkan kondisi yang lebih parah. Barangkali anggapan orang itu benar. Karena dia sudah membuktikan sendiri, betapa penyakit bengek ini sudah menyiksanya bertahun-tahun.

Aldo berteriak memanggil ibunya. Sudah tak kuasa rasanya menahan rasa sakit di rongga dada karena susah bernafas. Seperti ingin mati saja rasanya. Ya, keinginan tersebut selalu muncul bila penyakit ini menyerang. Keinginan untuk hidup seperti meredup seiring susahnya udara masuk ke dalam rongga dadanya.

"Bu, Aldo sudah tidak tahan lagi, Bu, "rintihnya sambil meringis menahan sakit. Sudah berjam-jam sejak meminum obat yang biasa dibeli di warung di sebelah rumahnya, tetapi tidak ada perubahan sedikitpun yang dia rasakan. Obat itu seperti tidak bereaksi, atau memang penyakitnya yang sudah sedemikian parah.

"Aldo ingin dibawa ke rumah sakit saja, Bu." Suara itu seperti keluar dari lorong yang sempit dan dalam, hampir tidak terdengar di sela bunyi nafasnya yang bersiul. Bunyi itu datang dari saluran pernafasannya yang menyempit.

"Pa, cepat bangun !" teriak ibunya dari kamar Aldo membangunkan suaminya yang tidur di kamar sebelah. "Ini Aldo sudah tidak tahan lagi. Kita harus segera ke rumah sakit !"

Ternyata bukan hanya bapak Aldo yang bangun mendengar teriakan ibu Aldo, tapi juga seluruh penghuni rumah, Rani kakak laki-laki Aldo yang tertua, Aisyah kakak perempuannya, dan Andi adiknya. Waktu itu jarum jam menunjukkan pukul 12 malam lewat sedikit dan seluruh keluarga Aldo memang sudah tidur. Aldo jadi kasihan melihat adiknya yang berumur 3 tahun itu tampak masih sangat mengantuk, tapi terlihat ingin ikut membantu. Dinaikinya tempat tidur dan didekatinya kakaknya yang sudah seperti mau mati itu dengan penuh sayang, sambil dipijat-pijatnya punggung kakaknya. Dia memang sering melihat ibunya memijati punggung kakaknya bila kambuh penyakit bengeknya itu.

Setelah bangun, bapak Aldo langsung menyuruh Rani mengeluarkan mobil di garasi. Dan sambil berpakaian dia langsung berjalan menuju garasi menyusul anaknya yang sedang menghidupkan mesin mobil. Sementara Aisyah, kakak Aldo yang cantik itu, dengan tergesa-gesa memasukkan beberapa lembar pakaian Aldo serta beberapa sarung dan selimut ke dalam sebuah tas jinjing. Melihat kesigapan Aisyah melipat dan memasukkan pakaian Aldo ke dalam tas jinjing itu, sepertinya sudah sering Aldo mengalami kondisi seperti ini. Kambuh penyakitnya dan dibawa opname ke rumah sakit.

"Maaf, Pa, Bu, permisi." sela seorang perawat perempuan sambil memasukkan jarum suntik yang sudah berisi obat ke dalam selang infus. Sementara itu Bapak, Ibu dan Rani kakaknya sedang duduk di samping ranjang Aldo sambil menatap jarum suntik itu mendorong masuk cairan putih ke dalam selang infus. Perlahan cairan obat tersebut masuk dan bercampur dengan air infus.

Kakak Aldo, Aisyah dan Andi adiknya tidak ikut mengantar Aldo ke rumah sakit. Bapak dan ibunya menyuruh mereka menunggu di rumah saja, karena memang biasanya kondisi Aldo akan cepat pulih setelah disuntik atau diberi obat oleh dokter. Kata bapak Aldo obat dari dokter rumah sakit biasanya lebih paten (untuk tidak menyebutnya lebih keras) dari pada obat yang dijual di luaran. Jadi kalau mau menengok lebih baik besok saja. Karena kasihan Andi yang masih kecil kalau harus ikut begadang, tidak tidur karena suasana di rumah sakit biasanya cukup ramai.

"Bu, kepala Aldo seperti pusing dan bertambah enteng." Suara Aldo terdengar pelan hamper tidak terdengar. "Apa Aldo akan mati, Bu."

Ibu Aldo terharu mendengar kata-kata anaknya. Ya, dia selalu sedih bila melihat anaknya berada dalam kondisi seperti ini. Aldo satu-satunya keturunannya yang mengidap penyakit yang dideritanya, juga diderita suaminya, asma. Sepertinya Aldo menjadi tumpukan penyakit ini, sedang saudara-saudaranya yang lain tidak mendapatkannya. Disekanya air mata yang jatuh dari ujung pelupuk mata Aldo, air mata kesakitan yang luar biasa, sambil dia sendiri menyeka matanya yang sudah basah terlebih dulu.

Setelah beberapa menit kemudian, tiba-tiba Aldo merasakan sesuatu yang aneh. Tubuhnya yang tadi terasa ringan, sekarang seperti dapat dirasakannya. Seluruh tubuhnya seperti tidak bisa digerakkan. Jangankan tangan dan kaki, menggerakkan jarinya saja dia tidak bisa. Sekilas dia mendengar suara Bapaknya yang tampak marah-marah kepada perawat yang tadi menyuntikkan cairan obat ke dalam selang infus Aldo. Juga suara isak tangis ibunya yang tampak sangat pilu sambil mengguncang-guncang tubuh anaknya yang sudah tidak bergerak lagi.

Tetapi suara itu perlahan menghilang. Aldo hanya bisa terpejam. Dilihatnya seberkas kabut putih dalam pandangannya. Sekejap kemudian dia melihat orang-orang yang dicintainya menangis mengelilingi tubuhnya yang terbaring. Dia melihat tubuhnya sendiri kaku tak bergerak, dan orang-orang itu masing-masing ada yang memegang wajahnya, tangannya dan kakinya. Belum sempat dia berpikir banyak, dia merasa tubuhnya sudah terangkat ke atas langit-langit kamar. Kepalanya seperti akan menabrak langit-langit itu, tapi ... hei, dia merasa melayang menembus plafon kamar itu, dan terbang membumbung menembus angkasa.

"Bu. "Terdengar suara seseorang di telinga Aldo. "Bangun, Bu. Aldo bergerak-gerak. Aldo hidup lagi, Bu."

Ibu Aldo kaget, sekejap dia masih bingung. Setelah kesadarannya betul-betul pulih, barulah dia ingat bahwa suara itu adalah suara Rani, anaknya yang terus menggoyang-goyang bahunya. Lalu dia teringat suaminya yang tersandar di sampingnya yang kemudian segera dibangunkannya.

"Pa, bangun, Pa. "teriak ibu Aldo sambil mengoncang-goncangkan tubuh suaminya yang tersandar ke dinding di samping tempat tidur Aldo. "Aldo hidup, Pa. Anak kita masih hidup."

Bapak Aldo yang kaget langsung melompat dan berdiri di samping Aldo. Disekanya air matanya yang dari tadi sudah keluar tapi tidak sempat disekanya karena keburu pingsan. Tadi badan bapak Aldo langsung lemas tidak berdaya ketika mengetahui anaknya sudah tidak bernafas lagi, beberapa menit setelah disuntikkan obat ke dalam selang infusnya. Dia ingat betul ketika hampir-hampir menampar wajah perawat perempuan itu, untungnya dia masih bisa menahan diri setelah dipeluk Rani, anaknya dari belakang. "Sabar, Pak, sabar," bujuk Rani tadi.

"Alhamdulillah, Nak," kata Bapak Aldo lirih. Dipeluknya anaknya yang dicintainya itu. Diciumnya kening, pipi dan rambut Aldo, seakan anaknya itu baru pulang dari medan perang dengan selamat.

"Kamu tidak apa-apa, Nak ?" tanyanya lagi.

"Ngga, tahu, Pak," sahut Aldo seperti orang kebingungan. Yang dia ingat tadi dia merasa seperti terjatuh dari tempat tinggi dan terhempas. Baru setelah itu dia mendengar sebuah suara memanggil ibunya. Mungkin itu suara kakaknya, Rani. Tak lama kemudian matanya menangkap sorot cahaya terang menerpa kedua matanya. Cahaya menyilaukan tersebut perlahan-lahan membentuk bulatan hitam di tengahnya. Ah, ternyata itu cahaya lampu kamar rumah sakit. Aldo menutup kedua matanya seketika setelah menyadari bahwa ternyata cahaya lampu itu sangat menyilaukan. Sebetulnya, secara refleks tangan kanannya berusaha bergerak menutup kedua matanya, tapi ternyata tangan itu tidak bisa digerakkan sedikit pun. Kesadaran Aldo perlahan kembali seperti sedia kala, tapi anggota badannya masih terasa sangat kaku. Semua terasa lemas dan Aldo seperti kehilangan seluruh tenaganya.

Aldo menatap foto itu. Foto dirinya sendiri ketika berusia 15 tahun, tepat duduk di kelas 3 SMP. Di foto itu dia sangat kurus, mata cekung dan pipi tampak kempot. Foto seorang penyakitan.

Pengalaman di masa remaja tersebut mengingatkannya akan kejadian beberapa tahun kemudian setelah dia masuk rumah sakit. Begitu banyak peristiwa silih berganti mengisi hidupnya. Kedua orang tuanya yang meninggal dunia susul menyusul. Pertama ibunya tercinta yang meninggal dunia akibat terkena serangan jantung, kemudian bapaknya menyusul disebabkan penyakit asmanya yang sudah sangat kritis karena usia tua. Peristiwa itu terjadi pada saat Doni, anaknya berusia tiga tahun dan tepat empat tahun perkawinannya dengan Lisa, istrinya.

Namun ada juga serentetan peristiwa-peristiwa aneh dan membingungkan, yang apabila diceritakan kepada orang lain, pasti akan membuat mereka tidak percaya dan menganggapnya pembual. Semua cerita aneh itu, terjadi begitu saja mendatanginya. Mimpi-mimpi aneh, bertemu secara langsung dengan orang-orang aneh dan lain sebagainya yang semua itu disimpannya rapat-rapat dan tidak akan diceritakannya kepada orang lain. Termasuk pula mimpinya pada saat masuk rumah sakit dulu. Semua cerita itu hanya miliknya seorang.

Bila Tuhan Mengunjungimu

Pernah dimuat di Wikimu pada Kanal Sastra, Kamis 17-04-2008 08:41:33


Puisi berikut hanyalah sekedar puisi. Tidak berarti apa pun sebelum Anda membacanya. Tapi bila Anda membacanya (dalam hati atau bersuara), terserah Anda apakah membacanya dengan penuh gaya puisi atau biasa-biasa saja, dengan lengkap (jangan ada satu kata pun yang tertinggal, termasuk judulnya) – bila Tuhan Yang Maha Tunggal menghendaki – Anda akan merasakan kehadiran Tuhan Yang Maha Tunggal begitu dekat dengan Anda.

Puisi ini untuk semua kalangan, dengan latar belakang agama, kepercayaan, atau ketidakpercayaan apa pun. Anda tinggal membaca dan menunggu kehadiranNya. Inilah puisinya.

Tuhan

Tuhan

Engkau Maha Tunggal

Tidak ada sekutu bagiMu

KetunggalanMu mengisi diriku

dalam diam dan gerakku

Tuhan

Engkau hadir meliputiku

mengisi penuh jiwa dan tubuhku

Tuhan

Engkau tetap mencintaiku

Walau pun aku melupakanMu

Amin