Kamis, Juli 23, 2009

Putik-putik Jiwa

Putik-putik jiwa,

bertumbuhan dalam taman syurga

mekar bersemi melayang ke bumi


Putik-putik jiwa,

semangat hati penggugah sukma

dalam dekapan bunda

mereguk cinta tetesan kasih,

mengaliri raga menghangatkan rasa


Besarlah kau bungaku

Berkembanglah putra bangsa

meraih cita dan mimpi dunia


Semaraklah kau padma syurgawi

tetap bersama-Nya dalam doa

meraih nikmat ragawi

dalam batin yang ma’rifati


Putik-putik jiwa

Engkaulah harapan

Engkaulah cahaya masa depan


(Untuk putik-putik jiwa, Selamat Hari Anak Nasional, Bersemilah, Berkembanglah!)

Selasa, Juli 21, 2009

Dewan Langit

Tak ada senyum mengembang,

tak ada raut ramah menayang

mata-mata tajam lurus

menghujam,

mencengkeram


Aku rebah menyerah,

tiada sanggup melihat darah,

jeritan luka membakar jiwa,

erangan sakit meregang nyawa

Sang Satria merana

ungkapkan semua rasa


Semua wajah kaku

menatap Sang Satria membisu


Kami tak mendengarkan rintihan

Kami tak peduli kesakitan

Kami melihat kewajiban,

tugas harus ditunaikan


Waktu terus berjalan,

tujuan menanti di hadapan


Sekarang simpan rengekanmu,

buang jauh-jauh penyesalan itu

Katakan kesanggupanmu,

atau tanggung jawab dialihkan


Sang Satria terdiam,

raut wajah sekejap mengejam

Tampak sekilas bayangan,

beribu nyawa lagi berguguran


Sang Satria tergetar,

oleh suara menggelegar,


“Aku bukan penghukum,

tapi membuat perhitungan

engkau bukan membunuh,

tapi hanya disuruh patuh


Jangan kau sedih karna Kupilih

sebagai Satria pemutus duka

Siapa yang baik akan bahagia

Siapa yang jahat akan terhina

Akulah penentu segala


Sang Satria tak sanggup bicara

mulut terkunci, kaki tercagak ke buana


Minggu, Juli 12, 2009

Takdir Satria Langit (2)

Semilir angin bertiup

lamat-lamat bau amis menyeruak,

hening memenuhi padang,

kengerian menggetarkan hati


Sang satria menatap nyalang

hamparan ilalang bergoyang gemulai,

tak ada lagi musuh yang bergerak

tak ada lagi denting logam beradu


Tesesan darah di ujung pedang yang memerah

luluh ke tanah membawa marah dan resah


Sudah menganga ribuan mata luka,

sudah kucabut ribuan nyawa ke angkasa


Sang Satria menundukkan kepala

terbayang ribuan janda menangisi suaminya,

terngiang teriakan ribuan anak mencari bapaknya


Inikah takdirku sebagai satria,

menegakkan kekuasaan di atas luka dan derita?

Meninggalkan keharuman nama dengan membunuh manusia?


Tuhan,

cabut nyawaku sekarang sebagai bukti sesalku

atau kau tumbuhkan sejuta kemakmuran,

untuk menghibur janda yang kehilangan,

memberi masa depan anak yang ditinggalkan


Tuhan

Beri aku kekuatan …


Tetesan darah terakhir jatuh

pedang masih tergenggam erat

Sang satria bergeming tanpa suara,

wajah semakin tertunduk layu,

duka menyelimuti hati