Senin, Desember 08, 2008

100 Tempat Paling Indah di Muka Bumi

Anda suka jalan-jalan? Sudah berapa banyak tempat di muka bumi yang sudah anda jelajahi? Sebanyak apa pun tempat yang sudah pernah anda kunjungi, saya yakin tidak akan mencapai 100 tempat, dan tidak semuanya merupakan tempat yang paling indah


Seperti ini misalnya


Atau seperti ini



Nah, sekarang anda akan saya ajak jalan-jalan – tentu saja di dunia maya - mengunjungi 100 tempat paling indah di muka bumi ini. Untuk menikmati foto-foto yang ditampilkan, anda bisa mengeliknya untuk mendapatkan gambar yang lebih besar dan lebih indah. Semoga saja suatu saat nanti anda bisa mengunjunginya di dunia nyata. Selamat berkeliling dunia!


Klik di sini



Senin, November 10, 2008

Jalan-jalan ke Bali Bersama Mahasiswa Poltek Negeri Banjarmasin


Sebanyak 29 orang mahasiswa Politeknik Negeri Banjarmasin jurusan Administrasi Bisnis dengan dibimbing 3 orang dosen, yaitu : Bp. M. Noorhansyah, Ibu Evidoyanti dan Bp. Meyrisa bersama-sama mengadakan kegiatan kunjungan ke perusahaan industri kulit tas dan sepatu Permata Tanggul Angin, Tanggul Angin, Sidoarjo - Jawa Timur. Setelah selesai kunjungan di Permata Tanggul Angin acara dilanjutkan dengan wisata ke pulau Bali. Waktu kegiatan tersebut berlangsung dari tanggal 3 sampai dengan 7 November 2008 dan bekerjasama dengan Carrita Wisata Tour dan Travel Banjarmasin.


Dengan menumpang pesawat pagi, setelah tiba di Bandara Juanda, Sidoarjo Surabaya, seluruh peserta disambut untuk kemudian diantar ke perusahaan industri kulit tas dan sepatu Permata Tanggung Angin. Mahasiswa jurusan Administrasi Industri Poltek Negeri Banjarmasin ini bermaksud mengetahui lebih jauh mengenai kegiatan di perusahaan tersebut terutama yang berhubungan dengan ilmu yang sedang mereka geluti. Setelah cukup puas dengan penjelasan yang diberikan dan melihat dan berbelanja produk tas dan sepatu yang dijual di counter penjualan Permata Tanggul Angin, rombongan kemudian melanjutkan perjalanan wisata ke Pulau Bali.


Objek wisata di Pulau Bali yang dikunjungi rombongan antara lain : Pantai Sanur, Tanjung Benoa Water Sport, Uluwatu, Garuda Wisnu Kencana, Pantai Dream Land, Oleh-oleh Khas Bali, Rumah Adat Galuh, Kintamani, Pantai Kuta dengan Pabrik Kata-kata Jogernya, Pasar Seni Sukowati, Pura Taman Ayun, Bedugul dengan Danau Bratannya, Cagar Alam Alas Kedaton dan Tanah Lot. Selain itu mereka juga mengadakan kunjungan ke Politeknik Universitas Udayana, Bali untuk saling bertukar informasi dan pengalaman.

Minggu, November 09, 2008

Studi Banding dan Tur Wisata K3SD Kecamatan Banjarmasin Barat

Tanggal 6 sampai dengan 8 November 2008 rombongan Kelompok Kerja Kepala Sekolah Dasar (K3SD) Kecamatan Banjarmasin Barat mengadakan studi banding ke Sekolah Dasar Negeri Kresna yang terletak di Jalan Kresna No.47 Bandung, Jawa Barat dan sekaligus mengunjungi beberapa tempat wisata di Bandung dan Jakarta, seperti pemandian air panas Sari Ater di Ciater, pusat perdagangan pakaian Cihampelas di kota Bandung, pusat kerajinan kulit di Cibaduyut, tugu Monas di Jakarta, pusat perbelanjaan Mangga Dua dan Taman Impian Jaya Ancol di Jakarta.



SDN Kresna, Bandung


Studi banding para kepala sekolah SD yang tergabung dalam K3SD se-Kecamatan Banjarmasin Barat yang dipimpin oleh Kepala Cabang Dinas Pendidikan Banjarmasin Barat Bp. Drs. H. Muslini serta para pengawas sekolah ini dimaksudkan sebagai sarana pembanding kondisi pendidikan di Banjarmasin dengan di daerah lain.

Studi banding yang dilaksanakan atas kerjasama dengan Carrita Wisata Tour dan Travel Banjarmasin serta Penerbit Erlangga ini dilaksanakan di SDN Kresna yang terletak di Jl. Kresna No. 47 Bandung. SD ini merupakan gabungan dari beberapa SD yang mengalami kekurangan murid sehingga jumlah siswa menjadi 600 orang siswa, sedangkan staf pengajarnya berjumlah 30 orang yang terdiri dari guru-guru tetap dan honorer. Pada saat dilaksanakan kunjungan di sekolah tersebut kebetulan sedang dilaksanakan renovasi sebagian bangunan sekolah yang katanya dibangun sejak tahun 1930.


Dengan didampingi oleh kepala sekolah dan para gurunya, rombongan K3SD diajak untuk melihat-lihat sekaligus diberikan beberapa penjelasan mengenai kondisi sekolah dan hal-hal yang berkaitan dengan manaje

men di sekolah tersebut. Dan setelah melihat secara langsung beberapa bagian bangunan sekolah serta bagian-bagiannya, dan juga kegiatan belajar-mengajar di sekolah tersebut, rombongan kemudian melakukan foto bersama dengan sebagian staf pengajar dari SDN Kresna.


Tur Wisata


Sebelum mengadakan kunjungan ke SDN Kresna, pada hari Kamis sehari sebelumnya, rombongan mengadakan wisata ke pemandian air panas Sari Ater di Ciater, Jawa Barat. Tempat pemandian air panas yang terletak di daerah ketinggian berudara dingin ini banyak dikunjungi oleh wisatawan domestik mapun asing. Wisatawan yang ingin sekedar menyegarkan badan dengan mandi air panas atau ingin menyembuhkan penyakit kulit yang dideritanya dapat sering mengunjungi pemandian air panas ini karena air panas alam ini juga memiliki kandungan belerang yang cukup tinggi.


Dari Ciater yang masih diguyur hujan, di senja hari menuju malam rombongan diajak oleh tour leader ke pusat perbelanjaan pakaian Cihampelas. Semua peserta menghabiskan malamnya sa

mpai puas berbelanja di pusat perbelanjaan yang te

rdiri dari beberapa toko dan outlet yang memajang produk-produk berkualitas ekspor dan model yang menarik.


Besok harinya setelah selesai mengadakan studi banding peserta langsung diajak mengunjungi Monumen Nasional di Jakarta. Dari Monas perserta langsung diinapkan di Hotel Plaza di Mangga Dua, sebagian peserta ada yang beristirahat dan ada juga yang kemudian berjalan-jalan melihat-lihat indahnya kota metropolitan Jakarta.


Di hari terakhir setelah check out hotel, rombongan diajak ke Taman Impian Jaya Ancol untuk menikmati makan siang di tepi laut dengan deburan ombak dan hembusan anginnya yang menyejukkan di hari panas yang terik. Setelah makan sebagian peserta berjalan-jalan dan kemudian melihat-melihat indahnya kehidupan laut di miniatur laut Sea World. Selain menambah pengetahuan, peserta juga merasakan perasaan yang nyaman menyaksikan kehidupan ikan-ikan di aquarium raksasa Sea World.


Setelah cukup puas melakukan darmawisata, rombongan diantar ke Bandara Soekarno-Hatta untuk pulang ke Banjarmasin pada petang harinya. Semoga perjalanan kali ini menjadi kenang-kenangan yang indah dan tidak terlupakan.

Kamis, Oktober 23, 2008

Silsilah Lambung Mangkurat (Bagian II)


Kisah Pangeran Surya Nata atau Surya Cipta atau Bambang Sukma Raga


Syahdan di Kerajaan Majapahit rajanya tidak mempunyai anak keturunan. Maka berangkatlah Ratu Majapahit ke tepi laut sambil membawa sesajen dan membakar Dupa Astanggi, serta mengadakan puji-pujian bagi Dewa Mulia Raya agar diberikan seorang anak.


Ketika hari sudah gelap, tiba-tiba ada suara yang menyuruhnya menyambut kedatangan seorang kanak-kanak yang bentuknya bulat seperti buah semangka. Kemudian diberi pesan agar kanak-kanak itu diselimuti dengan sarung Seri Gading, beralaskan kain kuning, dinding berwarna kuning dan juga langit-langitnya berwarna kuning yang dimasukkan ke dalam Peti Ranjang yang bertatahkan intan permata. Selain itu harus ditambah dengan radap sesajen berupa 40 macam masak-masakan setiap tahunnya, serta diasapi dengan Dupa Astanggi setiap malam pada hari baik. Dan di dalam petinya ditaburi bunga-bungaan dan wangi-wangian.


Setelah mendengar pesan dari suara yang tidak terlihat orangnya itu, maka pulanglah Ratu Majapahit kembali ke istananya. Diceritakannya apa yang tekah didengarnya itu kepada seluruh isi istana dan dititahkannya agar segera dilaksanakan semua pesan-pesan itu. Maka sibuklah segenap menteri, hulu balang, patih, dayang dan inang pengasuh menyediakan apa-apa yang dipesankan untuk kanak-kanak itu. Setelah selesai semuanya, dibawalah semua perlengkapan dengan si kanak-kanak ke atas balai petani.


Selama si kanak-kanak di dalam pemeliharaan keluarga kerajaan Majapahit, maka seluruh negeri merasakan keamanan dan kemakmuran dan seluruh Nusantara pun tunduk dan takluk kepada pemerintahan Majapahit.


---oo00oo---


Syahdan di Candi Agung, Lambung Mangkurat bersiap-siap hendak berangkat ke Majapahit lengkap bersama para patih dengan menggunakan sebuah perahu. Lambung Mangkurat berencana mencarikan suami seorang raja untuk Puteri Junjung Buih.


Setelah beberapa lama di perjalanan tibalah rombongan Lambung Mangkurat di Majapahit dan langsung menghadap raja Majapahit. Lambung Mangkurat kemudian menyampaikan maksudnya meminta anak untuk dipersuntingkan dengan Puteri Junjung Buih. Raja Majapahit menjelaskan bahwa ia tidak mempunyai anak seperti yang diinginkan oleh Lambung Mangkurat, yang ada hanya seorang anak yang bulat seperti semangka. Apa boleh buat, karena yang ada hanya anak itu dan Lambung Mangkurat merasa tidak enak menolak pemberian raja Majapahit, maka diterimanyalah anak yang bulat seperti semangka itu.


Diadakanlah acara pelepasan anak itu. Dia diusung oleh segenap patih kerajaan, dipayungi dengan payung ubur-ubur kebesaran kerajaan, dan dengan diiringi tabuhan gamelan yang terus-menerus mengantarkannya hingga sampai ke perahu rombongan Lambung Mangkurat.

Ketika dalam perjalanan menuju ke Candi Agung, di muara laut Banjarmasin, kapal rombongan Lambung Mangkurat berhenti dalam keadaan miring tanpa diketahui sebabnya, sehingga anak yang bulat seperti semangka tadi tecebur ke dalam laut. Anak itu kemudian berteriak, kalau mau menjemputnya supaya disediakan radap sesajen dengan dilengkapi tetabuhan gamelan dan payung ubur-ubur dibukakan serta dupa Astanggi dibakar selama tiga hari tiga malam.


Lambung Mangkurat memenuhi permintaan anak itu, acaranya pun genap tiga hari lalu Lambung Mangkurat menabur beras kuning ke laut di hadapan perahu tadi sambil memuji-muji Dewa Mulia Raya dengan harapan Dewa mengabulkan permintaannya.


Tiba-tiba muncullah seorang anak dari dalam air dengan berdiri di atas sebuah agung (gong) yang bernama Agung Manah Diganta dan gong diusung oleh seekor naga. Sambil menyebutkan namanya sendiri, Pangeran Surya Nata, anak itu pun mencabut lidah dari mulut naga yang mengusungnya dan menjelma menjadi sebilah keris yang namanya Keris Naga Selira. Setelah sampai di atas perahu, gong itu dikaitkan dengan basung peradah.


Lambung Mangkurat senang karena sudah memenuhi semua permintaannya, dan anak yang bulat seperti semangka itu pun sudah berganti dengan seorang pemuda gagah perkasa lagi tampan. Anak muda itu yang bernama Pangeran Surya Nata dibawa ke Candi Agung dan kemudian dikawinkan dengan Puteri Junjung Buih, anak angkatnya Lambung Mangkurat.


---oo00oo---



Singkat cerita kehidupan perkawinan Pangeran Surya Nata dengan Puteri Junjung Buih, lahirlah dua orang anak laki-laki, yakni Surya Wangsa yang kemudian kawin dengan Puteri Kelarang Sari, dan Gangga Wangsa yang adik.


Melihat Gangga Wangsa yang belum kawin, datanglah Patih Luhu menghadap Lambung Mangkurat dan berencana hendak mengawinkannya dengan Dayang Dipraja, anak Patih Arya Marangkan orang Bijayu yang tinggal di Muara Umur. Setelah ditanyakan kepada Gangga Wangsa rencana itu dan ia setuju, maka diutuslah oleh Raja Patih delapan orang untuk menjemput Dayang Dipraja. Kedelapan orang itu adalah :


-Patih Luhu

-Patih Pembalah Batung

-Patih Penimba Sugara

-Patih Peruntun Manau

-Patih Gancang Basaru

-Patih Bagalung

-Patih Kariau

-Patih Buntal.


Sesampainya di hadapan Patih Ariya Marangkan, ayahnya Dayang Dipraja, lalu Patih Luhu meminta ijin untuk membawa Dayang Dipraja ke Candi Agung. Ternyata Patih Ariya Marangkan tidak memberikan ijinnya, sehingga terjadilah pertengkaran dan perkelahian. Delapan orang utusan Lambung Mangkurat yang kesemuanya patih berhadapan dengan delapan orang juga.

Perkelahian itu luar biasa, sampai menggegerkan Gunung Malang hingga ke kerajaan Kuripan. Mendengar berita itu, Lambung Mangkurat pun mengirimkan utusannya kepada Patih Arya Marangkan. Perkelahian dihentikan dan Dayang Dipraja boleh dibawa ke Candi Agung dengan syarat hanya akan dikawinkan dengan raja.


Diusunglah Dayang Dipraja oleh Patih Pembalah Batung untuk dibawa ke Candi Agung dan diserahkan kepada Lambung Mangkurat. Kemudian ditanyakan kepada Raden Gangga Wangsa, apakah mau mengawini Dayang Dipraja, dan ternyata Raden Gangga Wangsa tidak mau karena dia hanya mau beristerikan anak raja juga.


Akhirnya Dayang Dipraja dikawini oleh Lambung Mangkurat sendiri dan tidak lama kemudian hamillah Dayang Dipraja. Ketika cukup masa kehamilannya dan hendak melahirkan terdengarlah suara dari dalam perutnya. Suara itu adalah suara anaknya sendiri yang mengatakan bahwa ia tidak mau kelahirannya sama dengan manusia pada umumnya. Anak itu meminta kelahirannya dengan cara dibelah perut ibunya dengan pisau Kerampagi yang dibungkus dengan daun sirih gegang lintung. Anak itu juga meminta disusui oleh kerbau putih yang diikat di bawah pohon Waringin Kuning. Kemudian dinamailah anak itu dengan nama Puteri Kabu Waringin.


Setelah anak itu besar, Lambung Mangkurat menyuruh Patih Luhu untuk memukul Agung Bandi Tatangar untuk memberi kabar kepada orang banyak di Candi Agung bahwa akan diadakan perkawinan antara Raden Gangga Wangsa, anak angkatnya, dengan Puteri Kabu Waringin, anak kandungnya.


Syahdan acara perkawinan diadakan lebih dari sebulan dengan mengundang seluruh keluarga, sedangkan raja-raja daerah taklukannya juga mengadakan keramaian di kerajaan masing-masing dan masing-masing mereka memberikan upeti sebagai hadiah perkawinan.


Tidak berapa lama Raden Gangga Wangsa pun mempunyai dua orang anak laki-laki. Yang tertua bernama Raden Carang Lelana, yang kemudian kawin dengan Puteri Kelungsu, dan yang adik bernama Raden Sekar Sungsang (Sekar Buga). Ketika Raden Sekar Sungsang masih kecil, ayahnya Raden Gangga Wangsa menghilang secara gaib ke kampung Anjau, maka tinggallah ia dengan ibunya saja.


---oo00oo---



Syahdan kita kembali ke cerita Ratu Pudak Setagal yang tinggal di Banua Hambuku dan dia hendak mengawinkan cucunya, Raden Gulek dengan anak Raja Gagiling, yakni Putri Gading Sapurus.


Untuk keperluan acara perkawinan itu dijemputlah Putri Kabu Waringin untuk membikin kue-kue pekawinan. Ketika putri sedang membikin kue dodol, anaknya sendiri Raden Sekar Sungsang keluar-masuk dapur untuk meminta kue. Hal ini membuat marah ibunya, sehingga dipukulnya anaknya itu dengan Wancuh Gangsa yang berakibat luka di kepala Raden Sekar Sungsang. Setelah mendapatkan luka di kepalanya sebab dipukul oleh ibunya, Raden Sekar Sungsang melarikan diri ke Candi Agung. Namun karena lari sambil menahan sakit di kepala dan juga di hati, Raden Sekar Sungsang salah arah hingga larinya melalui Kamisa Baraja Karang Baraja, Karang Jajar, Karang Tapus sampai ke Kambang Kuning. Di sana dia bertemu dengan orang yang naik perahu lalu dibawalah Raden Sekar Sungsang oleh orang itu ke tanah Jawa.


Di tanah Jawa Raden Sekar Sungsang yang dipanggil dengan nama Raden Sangkuriang menikah dengan anak seorang pejabat di Jawa bernama Galuh Sari Jawa. Selain itu dia juga beristrikan anak seorang Demang Langkatan, yaitu Dewi Rarasati. Raden Sangkuriang alias Raden Sekar Sungsang memperoleh seorang anak dari Galuh Sari Jawa yang bernama Raden Panji Segara yang kemudian dikawinkan dengan Puteri Ratna Sari, anak dari Ratu Giri.


Kemudian Raden Panji Segara diangkat sebagai raja oleh Ratu Giri. Raden Panji Segara menjadi raja pertama dari Raja Susunan, sehingga di beri gelar Ratu Susunan Giri Nata. Dialah awak garis keturunan Susunan Serabut atau Susunan Mataram. Diceritakan bahwa Raden Panji Segara senang dengan kesenian daerah. Di manapun dia bertemu dengan orang yang bisa memainkan alat musik, wayang, tari topeng, tarian-tarian lainnya, Baksa dan gamelan, maka dipanggillah orang-orang itu untuk mengajarinya. Akhirnya Raden Panji Segara memiliki banyak keahlian di bidang seni dan karawitan.


Raden Sangkuriang yang merasa terlalu lama berada di tanah Jawa berniat hendak kembali pulang ke kampung halamannya, Candi Agung, apalagi anaknya pun sudah menjadi raja di tanah Jawa. Raden Sangkuriang alias Raden Sekar Sungsang kemudian mengumpulkan anak dan isterinya untuk memberitahukan rencana kepulangannya kembali ke Candi Agung.


Persiapan untuk perjalanan pulang Raden Sangkuriang pun disiapkan. Segala perangkat kesenian juga turut dibawa. Namun sayangnya dia sudah lupa di mana letak kampung halamannya itu, disebabkan di waktu pergi ke tanah Jawa dulu dia masih anak-anak. Dalam keadaan tidak tahu arah, maka dia pun pulang ke arah matahari terbit. Di sepanjang perjalanan dia selalu bertanya kepada siapa saja orang yang lewat, di manakah negeri Candi Agung itu. Setiap tempat dan negeri disinggahinya, sampai akhirnya dia berhenti di kampung Gegiling.


Di negeri Candi Agung, Putri Kabuwaringin sedang sakit keras, tubuhnya kurus kering karena tidak mau makan dan minum. Dia sedang dirundung kesedihan sebab terkenang akan anaknya, yang tidak pulang-pulang setelah dipukulnya di kepala. Anaknya itu tidak ada kabarnya, apakah hidup atau sudah meninggal dunia.


Melihat kesedihannya anaknya, Putri Kabuwaringin, maka Lambung Mangkurat pun menyuruh para patihnya untuk berangkat ke tanah Jawa mencari cucunya yang melarikan diri semasa kecil, Raden Sekar Sungsang alias Sangkurian. Patih-patih itu adalah Patih Luhu, Patih Pambalah Batung, Patih Panimba Sagara, Patih Peruntun Manau dan Patih Gancang Basaru.


Kelima patih yang disuruh oleh Lambung Mangkurat mencari cucunya berkeliling di tanah Jawa, mulai dari Kediri sampai Singasari tidak juga bertemu dengan Raden Sekar Sungsang. Akhirnya mereka sampai di Gegiling dan bertemu dengan sebuah keramaian, dan ternyata ada orang yang sedang menari topeng. Karena tidak pernah melihat hal seperti itu, mereka pun duduk beristirahat di dekat orang ramai. Namun tidak lama kemudian si penari topeng melakukan gerakan membuka topengnya, dan kejadian ini dilihat oleh Patih Luhu yang langsung berkata kepada Patih Pambalah Batung, “Orang yang menari itu kalau dilihat wajahnya, sangat mirip dengan Pangeran Surya Nata”.


Maka setelah keramaian itu punt usai, didatangilah si penari itu oleh para patih pemimpin rombongan penari topeng itu. Setelah mendengar bahwa mereka hendak ke Candi Agung, maka si pemimpin rombongan penari topeng ingin mengikuti rombongan patih ke Candi Agung.

Singkat cerita, rombongan patih dan Pangeran Sekar Sungsang tiba di Candi Agung. Oleh pihak kerajaan dikumpulkanlah sekawanan dalang di balai peristirahatan dan para patih masing-masing menyediakan balai dan atapnya seperti panggung untuk keramaian.


Setelah selesai menghias balai beratap dengan berbagai hiasan dari kain satin dan sutera dewangga, maka dimulailah acara penampilan kesenian dengan membunyikan gamelan dan alat musik lainnya.


Sedangkan Puteri Kabuwaringin, ibundanya Pangeran Sekar Sungsang sudah sehat dan bugar badannya kembali, bisa duduk untuk makan dan minum disebabkan oleh suara musik gamelan yang didengarnya. Dengan berpakaian dan perhiasan dia bersama dengan dayang-dayang dan inang pengasuh turut menyaksikan tarian topeng yang ditampilkan. Setelah beberapa lagu dilalui, hari malam pun tiba dan acara hiburan dihentikan.


Setelah beberapa hari acara hiburan dilaksanakan di Candi Agung, maka oleh Lambung Mangkurat acara hiburan itu pun dihentikan, dan orang yang bisa menari topeng dan mendalang itu diminta oleh Lambung Mangkurat untuk tinggal di Candi Agung. Kemudian oleh Lambung Mangkurat si penari yang bernama Raden Panji dikawinkan dengan Putri Kabuwaringin.


Ketika suatu hari Putri Kabuwaringin sedang duduk mencari kutu di kepala suaminya, Raden Panji, tiba-tiba dia melihat ada bekas luka di kepala suaminya. Melihat luka itu teringatlah Putri Kabuwaringin dengan anaknya yang hilang. Ditanyakannya kepada suaminya apakah ia adalah Raden Sekar Sungsang, anaknya yang hilang semasa kecil, maka Raden Panji menjawab bahwa ia memang anak yang melarikan diri ke tanah Jawa di waktu kecil.


Kedua ibu dan anak itu pun menangis sambil berpelukan. Namun apa hendak dikata, kalau sudah kehendak Dewa Mulia Raya, Putri Kebuwaringin sudah terlanjur berbadan dua. Putri Kebuwaringin lalu menghadap ayahandanya, Lambung Mangkurat dan menceritakan bahwa Raden Panji yang sudah menjadi suaminya itu adalah anaknya yang hilang dulu, Raden Sekar Sungsang.


Mendengar cerita itu, marah dan malulah Lambung Mangkurat. Disuruhnya orang membuat rumah yang tertutup rapat tidak berjendela dan didalamnya dilapisi dengan dinding tujuh lapis. Setelah rumah itu selesai, maka Putri Kebuwaringin dimasukkan ke dalamnya.


Tak lama genaplah umur kandungan Putri Kabuwaringin, dan lahirlah seorang bayi laki-laki. Oleh Lambung Mangkurat bayi itu dimasukkan ke dalam peti yang dilapisi beledru dan kain sutra yang indah serta anak itu diselimuti dengan Tapih Sarigading (sarung Sarigading), menandakan dia adalah anak raja. Setela itu peti yang berisi anak kecil itu dilarutkan di sungai hingga terbawa arus dan sampai di Bakumpai. Peti berisi bayi itu ditemukan oleh seorang kepala Ngayau orang Biyaju, lalu diambilnya dan diberinya nama Raden Sira Panji yang kemudian dipeliharanya sampai besar.


Menurut cerita Raden Sira Panji inilah yang merajai orang-orang Biyaju sampai anak keturunannya hingga saat ini, dan oleh Lambung Mangkurat Reden Sira Panji diberi wilayah sendiri, yakni di sekeliling Tanah Bumbu, di luar batas Candi Agung.


Setelah cukup umurnya, Raden Panji Sira dikawinkan oleh Lambung Mangkurat dengan anak Patih Luhu, Putri Ratna Masih. Setelah kawin Raden Sekar Sungsang, ayahnya Raden Panji, diangkat oleh Lambung Mangkurat sebagai raja di Candi Agung dengan gelarnya Raja Kaburangan atau Pangeran Agung.


Dari perkawinannya dengan Putri Ratna Masih, Raja Kaburangan dianugrahi 3 (tiga) orang anak, satu orang anak perempuan dan dua anak laki-laki, yakni :


-Putri Ratna Sari bergelar Ratu Lamak atau Dewi Ratna Kecana Wilis.


-Raden Mentri Daha bergelar Pangeran Singa Garuda Maha Raja Suka Rama atau Raden Panji Sekar Susunan Giri.


-Raden Sunting bergelar Ratu Anuum Maharaja Suka Rami.


Setelah Raja Bagalung menjadi Mangkubumi dan anak-anak Raja Kaburangan besar-besar semua, maka kerajaan diserahkan kepada Raden Sunting dan ia gaib ke banua Anjau.


Ketika datang utusan dari kerajaan Mataram ke Candi Agung untuk meminta upeti dan tidak diberi, maka Ratu Lamak atau Putri Ratna Sari dibawa oleh Patih Jenar Jawa ke tanah Jawa.


Sedangkan Raden Sunting mempunyai dua orang anak laki-laki, yakni Gusti Arifin Jaya dan Gusti Simbang Jaya. Setelah kedua anak Raden Sunting besar-besar, maka oleh Pangeran Singa Garuda kekuasaan di Candi Agung diserahkan kepada Gusti Simbang Jaya dengan gelar Pangeran Tumenggung sedangkan Gusti Arifin Jaya diangkat sebagai Mangkubumi dengan gelar Pangeran Suka Rama.


Pada saat itu kerajaan untuk sementara pindah ke Babirik. Yang kakak, Gusti Arifin Jaya berkuasa di wilayah kiri, sedangkan adiknya Gusti Simbang Jaya di wilayah sebelah kiri. Sesudah itu kerajaan pindah lagi ke Daha dan di sinilah terjadi perang. Di Daha inilah Gusti Simbang Jaya kawin dengan Putri Intan Sari.


Syahdan, Pangeran Tumenggung atau Gusti Simbang Jaya yang berkuasa sebagai raja di Candi Agung, di Daha akan mengadakan haul tahunan. Di haul tersebut disiapkan Radap Sesajen selengkapnya dengan makanan empat puluh macam dan diiringi dengan hiburan keramaian berupa penampilan wayang dan sebagai dalangnya adalah Pangeran Tumenggung sendiri.


Malam itu juga Pangeran Suka Rama atau Gusti Arifin Jaya, kakanya Pangeran Tumenggung, menyuruh orang Bayanan yang bernama Banta Danta untuk membunuh Pangeran Tumenggung. Untuk terlaksananya pembunuhan itu, Pangera Suka Rama menyerahkan sebilah keris pusaka kepada Banta Danta. Dan kepada Banta Danta diberi janji akan dikawinkan dan diberi kekuasaan dengan diberi gelar Pangeran Mas Prabu.


Banta Danta segera berangkat malam itu dengan menyeberangi sungai untuk melaksanakan pembunuhan atas Pangeran Tumenggung. Dia pun naik ke atas balai atau panggung tempat Pangeran Suka Rama mendalang dan duduk di sampingnya, sedangkan Pangeran Tumenggung sedang asyik mendalang tidak tahu ada orang yang duduk di sampingnya. Tiba-tiba secepat kilat keris pusaka yang diberikan oleh Pangeran Suka Rama ditusukkan oleh Banta Danta ke tubuh Pangeran Tumenggung, maka matilah ia.


Banta Danta langsung melarikan diri ke seberang sungai. Sesampainya di depan Pangeran Suka Rama dan ingin menyerahkan keris pusaka yang berlumuran darah itu, tiba-tiba Pangeran Suka Rama merebutnya dan langsung mensukkannya ke tubuh Banta Danta hingga mati.


Akhirnya kekuasaan diambil alih oleh Pangeran Suka Rama dan istrinya Pangeran Tumenggung, kakaknya sendiri, yakni Putri Intan Sari yang sedang hamil diambilnya sebagai istri.


Tak lama kemudian Putri Intan Sari melahirkan seorang anak. Pangeran Suka Rama yang tidak sudi mengasuh anak itu memasukkan bayi itu ke dalam sebuah peti, membungkusnya dengan Tapih Sarigading (sarung Sarigading), memberinya alas kain sutra yang indah-indah selengkapnya dan menghanyutkan di sungai.


Menurut cerita, anak bayi yang dihanyutkan di sungai itu kemudian ditemukan oleh seorang penangkap ikan yang bernama Patih Masih dan Patih Muhur. Keduanya melihat sebuah peti yang tersangkut di tengah sungai. Peti itu didatangi oleh mereka dan diperiksa isi dalamnya yang ternyata seorang anak bayi laki-laki. Anak bayi itu dibawa ke belandian, disanalah kedua orang itu tinggal dan anak bayi itu dipelihara di sana sampai ia besar. Anak laki-laki itu diberi nama Raden Jaya Samudera.


---oo00oo—



Raden Jaya Samudera atau Pangeran Suriansyah


Hatta, kita kembali kepada cerita Pangeran Singa Garuda Maha Raja Suka Rama, pamannya Pangeran Suka Rama yang membunuh Pangeran Tumenggung. Sewaktu dia memegang kekuasaan di Candi Agung ada utusan dari Kerajaan Mataram yang datang meminta peti namun ditolaknya. Maka utusan itu pun membawa Ratu Lamak, saudara kandungnya ke tanah Jawa sebagai pengganti upeti.


Selanjutnya ada utusan kedua dari kerajaan Mataram yang datang kemudian. Utusan kedua ini khusus datang membawa tebak-tebakan (cucupatian) yang harus dijawab. Tebak-tebakan itu berbunyi : Berapa banyak jumlah jamban (tempat buang hajat yang dibuat di atas rakit dan diletakkan di tepi sungai) yang ada di tanah Jawa.


Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka dikumpulkanlah orang-orang seluruh negeri Candi Agung sehingga tidak tertinggal seorang pun, namun tidak ada juga yang bisa memberikan jawaban.


Tidak berapa lama kemudian ada orang yang melihat tiga anak kecil di jalan. Oleh raja disuruhlah Patih Luhu untuk membawa ketiga anak kecil ke hadapannya. Ternyata ketiga anak kecil itu tidak berbaju dan bercelana alias bertelanjang. Maka oleh Patih Luhu diberikannyalah pakaian selengkapnya dan diletakkan pakaian itu di pohon beringin di tepi sungai dan ketiga anak kecil itu disuruh mandi membersihkan diri sebelum mengenakan baju dan celananya.


Setelah berbaju lengkap, ketiga anak kecil itu dibawa oleh Patih Luhu ke hadapan raja dan utusan dari kerajaan Mataram. Di hadapan raja dan utusan dari Mataram, salah satu dari anak itu menjawab tebak-tebakan itu dengan mengatakan bahwa jamban itu ada tiga, yakni mereka sendirilah yang dimaksud dengan jamban dari Jawa itu. Ketiga anak dari tanah Jawa itu ternyata sedang mencari tuanya seorang raden yang berada di Candi Agung. Maksudnya sama seperti jamban adalah mereka tidak akan berhenti mencari radennya sampai bertemu dengannya, dan itu sama dengan jamban karena orang yang buang hajat di jamban (w.c.) tidak akan berhenti kecuali terpenuhi keinginannya untuk buang hajat.


Oleh utusan dari kerajaan Mataram jawaban anak itu dibenarkannya, dan dia bertanya siapa nama mereka. Ketiga anak itu menjawab bahwa nama-nama mereka adalah Aji, Mawi dan Sura. Setelah itu utusan itu pulang ke tanah Jawa dan tidak jadi membawa Ratu Anum ke tanah Jawa.

Pangeran Singa Garuda Maha Raja Suka Rama sangat senang dan ketiga anak itu dipeliharanya dan digelarinya Kindu Aji, Kindu Mawi dan Gemarta Sura. Ketiganya kemudian diangkat sebagai patih dan apabila ada permasalahan hukum kemasyarakatan dan kerajaan ketiganya dipanggil untuk menyelesaikannya.


Ceritanya ketiga patih atau menteri Kindu Aji, Kindu Mawi dan Gemarta Sura menghadap raja dan minta izin pergi ke tanah Jawa untuk menjemput Ratu Lamak.


Raja menahan mereka pergi karena ingin membuatkan sebuah perahu dulu sebagai alat transportasi serta menyiapkan perbekalan di perjalanan. Tetapi ketiga patih tersebut tidak mau dan mengatakan itu semua tidak perlu karena besok mereka akan berangkat. Besok harinya orang berduyun-duyun hendak mengantarkan kepergian ketiga patih itu dan ingin tahu bagaimana mereka berangkat ke tanah Jawa tanpa menggunakan perahu. Beratus-ratus orang berdiri di pinggir sungai, begitu juga dengan pangeran tidak ketinggalan ingin menyaksikannya.


Setelah selesai berpakaian dan mengenakan sabuk Cindai, serta memakai laung sasirangan (ikat kepala dari kain sasirangan), lalu berdiri dan berjalanlah ketiga patih itu ke tepi sungai. Yang berjalan di depan adalah Kindu Aji dengan membawa Gandur Bungkusan. Sesampainya di tepi sungai dibukanya dan keluarlah seorang kanak-kanak dan selembar tikar dari rotan. Tikar itu kemudian dibentangkannya di atas air. Ketiga patih kemudian duduk di atasnya sambil memegang ujung tikar rotan yang dijadikan seperti layar.


Kanak-kanak itu menyebut dirinya dengan nama Bayam Sampit. Oleh Bayam sampit ujung-ujung tikar rotan itu dipegangnya, lalu dia terbang di atas air laksana burung garuda membawa ketiga patih yang sekarang berada di dalam tikar ke pulau Jawa. Di waktu sore hari tibalah mereka semua di pulau Jawa, turun di Pasiban dan bertemu dengan orang yang sedang bermain bola.


--oo00oo—



Ketika Pangeran Jaya Samudra sudah cukup besar, dia bertanya kepada kakeknya Patih Muhur mengenai keberadaan ayahnya. Oleh Patih Bandi Andi diceritakanlah dari awal sampai akhir kejadian di Balandian ini, dan diceritakan juga bahwa Pangeran Jaya Samudra mempunyai garis keturunan tanah di sini (Candi Agung) dan juga dari tanah Jawa.


Setelah mendengar cerita dari kedua orang tua tersebut perihal ayahnya dan garis juriatnya, maka berangkatlah Pangeran Jaya Samudra ke tanah Jawa untuk menemui kakeknya Raja Susunan yang bersaudara dengan neneknya, yakni Ratu Anum. Setibanya di negeri Susunan, maka Pangeran Jaya Samudra masuk Islam dan diberi gelar Pangeran Suriansyah dan bergelar Panembahan Batu Habang. Selain itu dia juga mendapatkan bantuan senjata dan membawa seorang ulama dari tanah Jawa untuk dibawa ke Candi Agung, bernama Khatib Dayan yang berasal dari Madura.


Setelah selesai menghimpun segala bantuan dan bekal dari neneknya, Ratu Anum, lalu berangkatlah Pangeran Suriansyah pulang ke Banjarmasin terus menuju Candi Laras mencari Pangeran Suka Rama namun tidak bertemu. Setelah mendengar kabar bahwa Pangeran Suka Rama ada di kerajaan Daha, disusullah ke sana.


Sesampainya di Daha Pangeran Suriansyah berburu menjangan. Seekor menjangan kena dipanah, lalu diperintahkannya Pangeran Agung untuk mengambilnya. Ternyata Pangeran Agung tidak kembali juga karena dia bersama dengan Pangeran Suka Rama pergi melarikan diri. Pangeran Suka Rama lari ke Amandit, sedangkan Pangeran Agung ke kampung Anjau.

Sementara itu kerajaan Daha dan Candi Laras dikuasai oleh Pangeran Suriansyah. Inilah permulaannya kerajaan Islam di Banjarmasin.(Anw)


---oo00oo---


(Bersambung ......)

20 Museum Pamer Kain Tradisional












Museum Lambung Mangkurat Propinsi Kalsel di Banjarbaru bakal dibanjiri oleh berbagai koleksi langka kain tradisional dari berbagai daerah di seluruh Indonesia.

Ajang pameran kain tradisional nusantara ini digelar selama sepekan mulai Rabu (23/10) sampai Selasa (29/10) dengan diikuti sekitar 22 peserta dari museum yang tersebar di seluruh Indonesia.


Masyarakat yang penasaran ingin melihat khasanah peninggalan kreasi buah tangan terampil leluhur dalam menciftakan berbagai kain tradisonal daerah, jangan sampai melewatkan kesempatan ini.


Plh Museum Lambung Mangkurat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Kalsel, Siti Hadijah, membeberkan acara pameran tingkat nasional kain tradisional ini nantinya akan dibuka langsung oleh Gubernur Kalsel.


"Acara pembukaan pameran juga diisi dengan serangkaian sajian hiburan kesenian seperti tari baksa kembang, musik panting, hadrah dan fasion show yang menampilkan beragam kreasi kain sasirangan dan kain tenun Pagatan khas Kalsel. Mudahan dengan pameran ini bisa memperkaya khasanah produk tradisional dan merangsang kreatifitas lokal daerah,"ucap Siti Hadijah.


Dalam pameran tersebut, panitia juga menyediakan stan khusus demonstrasi pembuatan kain sasirangan dan peragaan pembuatan kain tenun pagatan.


Siapapun dipersilakan diundang untuk datang untuk menyaksikan gelaran pameran baik masyarakat umum, pelajar, mahasiswa, budayawan.


Selain itu, acara pameran juga diisi dengan gelaran seminar yang menyorot tema seputara peran museum sebagai penunjang pendidikan.


Khusus untuk museum Kalsel, dalam pameran nanti akan menampilkan koleksi langka, kain sasirangan motif naga balimbur sebagai master face (pajangan utama).


Apa keistimewaannya? Menurut Siti Hadijah, kain naga balimbur ini usianya diperkirakan sudah ratusan tahun. Memiliki unggulan motif unik dan tingkat pembuatan yang sangat sulit.


Peserta Pameran Nasional Kain Tradisional Nusantara

1. Museum Jawa Timur "Empu Tantular"
2. Museum Sulawesi Tengah
3. Museum Jawa Tengah "Ronggo Warsito"
4. UPTD Museum Papua
5. Museum Jawa Barat "Sri Baduga"
6. Museum Sulawesi Utara
7. Museum Daerah Alor NTT "Seribu Moko"
8. Museum DI Yogyakarta "Sono Budoyo"
9. Museum Nusa Tenggara Barat
10. UPTD Museum Bali
11. Museum Propinsi NTT
12. Museum Kalimantan Barat
13. Museum Kalimantan Tengah "Balanga"
14. Museum Kalimantan Timur "Mulawarman"
15. Museum Kalimantan Selatan "Lambung Mangkurat"
16. Museum Sulawesi Selatan "La Galigo"
17. Museum lampung "Ruwa Jurai"
18. Museum Sultan Mahmud Badarudin II Palembang
19. Museum Sulawesi Tenggara
20. Museum Sumantra Selatan
21. Dinas Kabudayaan dan Pariwisata Jawa Tengah
22. Dinas Pariwisata Kabupaten Tanah Bumbu


Motif-motif kain dari berbagai daerah di Indonesia


1. Motif Kain Sasirangan dari Kalimantan Selatan

2. Motif Batik Mojokerto (Jawa Tengah)

3. Berbagai motif batik nusantara

4. Motif Batik Solo

5. Batik khas Tulungagung

6. Batik Yogyakarta

7. Batik Sragen (Jawa Tengah)

8. Motif Songket Palembang


Link lainnya :

1. Sejarah Batik di Indonesia

2. Batik Indonesia akan dipatenkan



Senin, Oktober 20, 2008

Silsilah Lambung Mangkurat (Bagian I)


Bismillahirrahmaanirrahiim


Kisah keluarga Saudagar Jantam


Pada zaman dahulu kala, ada seorang saudagar bernama Saudagar Jantam di sebuah negeri bernama Sila Negara di Negeri Keling. Dia mempunyai lima orang anak, tiga orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan. Masing-masing bernama Saudagar Mangkubumi anak yang tertua, Saudagar Keling anak kedua, Dewi Kumala Rawan puteri ketiga, Dewi Sri Jaya puteri keempat dan Empu Jatmika putra yang bungsu. Dewi Kumala Rawan bersuamikan Nabi Haidir, Dewi Sri Jaya bersuamikan Raja Iskandar dan Empu Jatmika beristerikan adiknya Raja Iskandar, Dewi Sekar Gading.


Raja Iskandar adalah anak Raja Darap yang berkebangsaan Rum (Romawi) dengan negaranya bernama Makodonia. Raja Iskandar bergelar Zulkarnain, dan menurut Nabi Haidir, Raja Iskandar Zulkarnain diserahi oleh Allah Swt kerajaan dunia ini dari Barat sampai ke Timur.


Nabi Haidir ternyata mempunyai isteri lagi yakni seorang puteri raja dari kerajaan bawah laut bernama Dewi Kesuma Sari. Kerajaan bawah laut itu bernama kerajaan Gumilang Kaca dan rajanya bernama Betara Bangga Raja. Sedangkan Raja Iskandar Zulkarnain juga mempunyai isteri yang lain, yakni seorang putri dari negeri kayangan, di alam keindraan yang tinggal di dalam Goa Madu Cahaya yang bernama Dewi Kesuma Jaya.


Menurut cerita Saudagar Jantam adalah seorang yang sangat terkenal dengan kekayaan serta kedermawanannya pada masa itu. Harta kekayaannya berupa beratus-ratus gedung penyimpanan harta yang terdiri dari intan permata, yakut, zambrut, nilam baiduri dan berbagai permadani dan kain sutra dewangga.


Pada suatu hari Saudagar Jantam mengumpulkan semua anak-anaknya untuk memberikan wasiat pembagian harta. Kepada ketiga puteranya dia memberikan masing-masing tujuh puluh gedung berisi harta. Sedangkan untuk kedua putrinya dia memberikan sisanya setelah untuk Saudagar Jantam dan isterinya sendiri mengambil sepuluh gedung berisi harta. Pesannya apabila dia dan isterinya meninggal dunia, maka keseluruhan bagian hartanya agar disedekahkan kepada fakir miskin, sekalian ulama dan pendeta serta seluruh rakyat.


---oo00oo---



Syahdan, selama di negeri Keling, Nabi Haidir setiap hari kerjanya hanya keluar masuk hutan. Pagi-pagi sekali berangkat ke dalam hutan dan sore harinya baru kembali ke rumah. Sebagai sesama menantu, Raja Iskandar heran melihat kelakuan saudara maruainya ini, maka dia pun bertanya kepada isteri Nabi Haidir, “Kaka Dewi Kumala, apakah yang dilakukan Kang Mas Nabi Haidir setiap hari masuk dan keluar hutan ? Sepertinya Kang Mas tidak sedang berkebun, pulang ke rumah tidak ada yang dibawa.” Dewi Kumala Rawan menjawab bahwa ia pun tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh suaminya, Nabi Haidir di dalam hutan.


Apabila Nabi Haidir pulang pada tiba dari hutan, maka pada malam harinya Raja Iskandar belajar ilmu agama kepada Nabi Haidir. Lama kelamaan pengetahuan ilmu agama Raja Iskandar pun semakin lengkap dan sempurna, dari ilmu syariat agama sampai ilmu laduni. Maka jadi alimlah Raja Iskandar akan segala ilmu dan hukum dunia dan akhirat.


Rupanya Nabi Haidir tahu pertanyaan dalam hati Raja Iskandar akan tingkah lakunya yang sering keluar-masuk hutan setiap hari itu. Untuk menjawab pertanyaan Raja Iskandar itu, pada suatu hari Nabi Haidir mengajak Raja Iskandar ikut bersamanya masuk ke dalam hutan. Di sana ia menunjukkan kepada Raja Iskandar apa saja yang selama ini disembunyikannya di dalam hutan. Terkejutlah bukan alang kepalang Raja Iskandar setelah mengetahui isi kandang milik Nabi Haidir yang terdapat di dalam hutan itu. Ternyata kandang itu penuh berisikan intan permata, batu yakut, zambrut dan nilam baiduri. Dan kandangnya itu sendiri kelilingnya sejauh perjalanan satu hari !


Setelah hari telah menjelang malam, maka pulanglah Nabi Haidir dengan Raja Iskandar ke rumahnya masing-masing. Setibanya di rumah berkatalah Nabi Haidir kepada Raja Iskandar, “Kalau bukan yang empunya, tidak akan tahu dan tidak akan sayang.” Raja Iskandar mendengar dan memikirkan makna ucapan Nabi Haidir yang sangat dalam itu.


---oo00oo---



Menurut cerita di pulau Borneo (Kalimantan) ada sebuah kerajaan yang sangat besar bernama Kuripan Jaya. Negeri yang terletak di pinggir Gunung Malang ini mempunyai banyak negeri taklukan. Rajanya bernama Ratu Bangsawan yang mempunyai dua orang anak perempuan yang masing-masing bernama Puteri Chandra Dewi dan Puteri Sekar Ratna.


Kerajaan Kuripan Jaya mempunyai 12 (dua belas) orang menteri dan hulubalang, yaitu :


1. Raden Arya Tumandang Nata.

2. Raden Arya Manguntara.

3. Patih Pasya, orang yang asal bisa membaca dan menulis.

4. Patih Luhu.

5. Patih Pambalah Batung.

6. Patih Panimba Sugara.

7. Patih Paruntun Manau.

8. Patih Gancang Basaru.

9. Patih Bajagat.

10.Patih Kariyau.

11.Patih Buntal.

12.Patih Bagalung.


Di tepian negeri Kuripan Jaya ada sebuah negeri bernama Muara Umur. Di sana hidup seorang tua bernama Patih Arya Marangkan yang mempunyai seorang anak perempuan bernama Dayang Dipraja. Patih Arya Marangkan mempunyai 7 (tujuh) saudara lagi, yakni Patih Tiju, Patih Bajanggut, Patih Batungkat, Patih Luyuh, Patih Pangunjang, Patih Lukah dan Patih Arya Tadung Wani.


Semua kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Kerajaan Kuripan Jaya berada di bawah taklukan Ratu Kuripan. Kerajaan-kerajaan itu antara lain :


A. Kerajaan Batung Batulis dengan rajanya Raden Sunting Laut dengan dua orang patihnya, yakni Patih Jungkiring dan Patih Gurincing.


B. Kerajaan Ratu Pudak Satagal dengan rajanya Raden Pudak Satagal yang mempunyai 24 (dua puluh empat) orang anak. Semua anak-anaknya ini gagah perkasa dan sakti mandraguna, mempunyai aji-aji kesaktian, ada yang bisa jadi gerua (beruang ?), tadung (sejenis ular kobra), macan, menjelma jadi api, ada yang bisa menghilang dan ada juga yang bisa hidup di dalam air.


Adapun cucu-cucunya adalah :


1. Raden Wirun

2. Raden Andaga

3. Raden Perbata Sari

4. Raden Karta Wirya

5. Raden Surabayu

6. Raden Gangga Wisna


C. Kerajaan Gegiling dengan rajanya Gegiling mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Puteri Gading Sepurus. Sedangkan menteri-menteri dan hulu balangnya adalah :


1. Patih Guruh.

2. Patih Guntur.

3. Patih Kilat.

4. Patih Barat.

5. Patih Macan.

6. Patih Tadung.


D. Kerajaan Batung Baparada, yang diperintah oleh patih-patih saja, yakni :


1. Patih Pemarung.

2. Patih Jampung.

3. Patih Bajagat.

4. Patih Ambung.

5. Patih Dambung.


Kalau diceritakan semua kerajaan taklukan yang berada di bawah kekuasaaan Ratu Kuripan Jaya terlalu panjang ceritanya, karena kerajaan yang takluk di bawah kerajaan Kuripan Jaya kurang lebih 39 (tiga puluh sembilan) kerajaan dan semuanya anak-anak raja juga.

Syahdan, di gunung Tengkiling tinggalah seorang tua bernama Niang Bungkiling dengan seorang anaknya yang bernama Indang Sijarang. Pekerjaannya berdagang, berkebun talas, ubi, pisang dan bermacam-macam buah-buahan seperti langsat, manggis, kapul, rumbai dan lain-lainnya.


---oo00oo---



Kembali ke cerita awal tentang keluarga Saudagar Jantam di negeri Keling. Empu Jatmika menuntut harta warisan peninggalan ayah-bundanya kepada kakak-kakaknya. Permintaan tersebut tidak dihiraukan oleh kakaknya yang laki-laki, sehingga gusarlah Empu Jatmika. Empu Jatmika melarikan diri dari rumah pada tengah malam bersama-sama dengan isteri dan keluarganya sekalian dengan menaiki beberapa buah perahu lengkap dengan perbekalan menuju arah matahari terbit.


Singkat cerita perjalanan Empu Jatmika sekeluarga berperahu, tibalah mereka di pulau muara Banjarmasin. Dari sana mereka menuju Bakumpai dan terus masuk ke pedalaman sampai di Marampiau lalu berhenti di sana. Empu Jatmika kemudian menyuruh kedua orang patihnya yang bernama Patih Nala Ginggung dan Patih Sidampalun untuk memeriksa sebuah pulau yang ada di depan mereka. Kedua patih kemudian menaiki pulau itu, menggali dan mengambil segenggam tanahnya lalu dibawakannya segenggam tanah itu ke hadapan Empu Jatmika, dan dirasakannya bahwa tanah itu cukup panas.


Kemudian Empu Jatmika memerintahkan agar semua pokok-pokok kayu yang terdapat di atas pulau itu untuk ditebangi karena Empu Jatmika berencana menjadikan pulau itu sebagai tempat tinggal. Setelah semua keluarganya ikut bekerja menebangi semua pohon kayu di pulau itu selama beberapa minggu, maka sejauh mata memandang tampaklah padang luas terbentang. Empu Jatmika pun memerintahkan lagi kepada kedua patihnya dan sanak keluarganya untuk membuat beberapa bangunan rumah tinggal serta sebuah candi yang sangat indah buatannya di tengah-tengah pulau sebagai tempat memuja Yang Maha Kuasa.


Setelah rampung semua pekerjaan yang dilaksanakan oleh Patih Nala Ginggung dan Patih Sidampalun dengan bergotong-royong bersama semua anggota keluarga, selama beberapa waktu siang dan malam, maka dinamailah kampung baru yang dibangun itu dengan nama Candi Laras.


Tak terasa hari berganti hari, bulan berganti bulan Empu Jatmika, patih dan keluarga mendiami kampung baru itu, tiba-tiba pada waktu tengah malam datanglah berita ghaib yang memerintahkan kepadanya untuk pulang ke hulu sungai. Dikabarkan bahwa di sana, di belakang kerajaan Kuripan Jaya terdapat tanah yang panas lagi berbau harum dan ditakdirkan bahwa Empu Jatmika akan mendirikan kerajaan besar di sana dan mempunyai harta yang berlimpah.

Siang harinya Empu Jatmika mengumpulkan segenap orang-orang tua dan menceritakan ilham yang diterimanya tadi malam. Dan sebagai keputusannya Empu Jatmika akan berangkat besok hari, sedangkan yang ditugaskan menunggu Candi Laras adalah Patih Nala Ginggung dan Patih Sidampalun beserta semua keluarganya sebanyak 40 orang.


Keberadaan Empu Jatmika di muara sungai sudah terdengar di keraton Kuripan Jaya. Oleh Ratu Kuripan disuruhlah Patih Luhu untuk menyongsongnya ke muara sungai. Empu Jatmika sendiri sedang sibuk mempersiapkan keberangkatannya ketika utusan Ratu Kuripan, Patih Luhu, sudah datang di Candi Laras. Maka disambutlah kedatangan utusan oleh Empu Jatmika dan Nala Gingging ke muara Balai Longsari dan kemudian disuruh masuk ke dalam balai pertemuan. Diadakan acara adat penyambutan orang besar di sana.


Esok harinya Empu Jatmika bersama dengan Patih Luhu beserta, utusan dari keraton Kuripan Jaya, bersama dengan pengawal secukupnya berangkat dengan menggunakan beberapa buah perahu menuju hulu sungai. Setelah berlayar beberapa hari lamanya, maka sampailah rombongan ke kerajaan Kuripan Jaya, lalu Empu Jatmika dibawa naik oleh Patih Luhu untuk menghadap raja.


Empu Jatmika membawa beberapa buah tangan berupa bingkisan yang dibawanya dari negeri Keling sebagai hadiah bagi raja. Lalu diberikannya bingkisan itu kepada Ratu Kuripan dan disampaikannya permintaannya agar diberi tanah atau wilayah karena hendak ikut berdiam di negeri itu. Oleh Ratu Kuripan permintaan Empu Jatmika dikabulkan dan dia diberi sebuah negeri di seberang negeri Kuripan Jaya.


---oo00oo---



Kisah Patih Lembu Mangkurat dan anak angkatnya Putri Junjung Buih atau Putri Galuh Cipta Sari


Setelah menerima hadiah sebuah daerah kekuasaan, Empu Jatmika pun meninjau daerah baru tersebut. Disuruhnya anak buahnya memeriksa keadaan tanah pulau itu dan ternyata tanahnya panas dan lagi berbau harum. Kemudian disuruhnya ditebangi pohon-pohon di atas pulau itu dan ditinggikannya tanah dibagian tengah pulau sehingga membentuk sebuah bukit. Di sana dibuatkannya tujuh buah rumah besar-besar, cukup kamar-kamarnya dengan segala kelengkapannya. Selain itu dibangunnya sebuah candi yang sangat indah bertingkat-tingkat, dindingnya terbuat dari perak, gangsa dan berukir-ukir dengan sangat indahnya. Atapnya sendiri terbuat dari kaca hablur dan dihiasi dengan sampiran lambaian kain sutera Dewangga dengan berbagai macam corak ragam dan warnanya. Di puncak candi itu dihiasi dengan batu Kumala yang cahayanya berkilauan terpancar ke udara. Siapa saja yang melihatnya pasti takjub dan terheran-heran karena keindahan pancarannya.


Negeri baru yang dibangun oleh Empu Jatmika di wilayah kerajaan Kuripan Jaya itu kemudian diberi nama Candi Agung Negara Dipa. Kemudian seluruh keluarganya, Dewi Sekar Gading isterinya beserta seluruh keluarga kerabatnya diajak mendiami negeri baru itu. Tak berapa lama Empu Jatmika dikarunia oleh Yang Maha Kuasa tiga orang anak, dua orang laki-laki dan seorang anak perempuan, yakni : Lembu Jaya Wunagiri, Lembu Mangkurat dan Dewi Keriang Bungsu.


Ketiga anak Empu Jatmika kemudian dikawinkan, masing-masing Lembu Jayawunagiri beristrikan Puteri Candra Dewi, anak Ratu Bangsawan, Lambung Mangkurat beristri Dewi Sekar Ratna, juga anak Ratu Bangsawan, adik dari Puteri Candra Dewi isterinya Lembu Jayawunagiri. Istilah peribahasa “Marampak paring sarapun” yang berarti kakak dengan kakak, dan adik dengan adik.


Sedangkan adik mereka yang bungsu, Dewi Keriang Bungsu bersuami dengan Raden Onbak Gintuya, anak seorang raja dari negeri Cina, yang berkepala botak dan rambutnya berkuncir. Namun nama negerinya tidak disebutkan.


Raja Kuripan kemudian menyerahkan kekuasaan wilayah kepada kedua anak Empu Jatmika, yakni kekuasaan di Kahuripan Jaya diserahkan kepada Lembu Jayawunagiri dengan gelar Patih Mandastana, sedangkan kekuasaan di Candi Agung Negara Dipa diserahkan kepada Lambung Mangkurat.


Anak Raja dari Cina, Raden Onbak Gintuya, suaminya Dewi Keriang Bungsu adik Lambung Mangkurat, meminta ijin kepada mertuanya, Empu Jatmika, untuk kembali pulang ke negerinya, Cina, dengan serta membawa istrinya. Sedangkan anak buahnya yang terdiri dari empat puluh orang Cina yang ahli dalam pertukangan bangunan, membuat patung, ukir-mengukir segala emas-perak, gangsa, kuningan dan tembaga tetap tinggal di Candi Agung Negara Dipa.


Empu Jatmika kemudian berpesan kepada anaknya, Dewi Keriang Bungsu, agar nantinya pulang kembali ke Candi Agung Negara Dipa pada saat diadakan Radap Sasajen atau haul tahunan dengan membawa bermacam-macam barang pecah-belah sebagai alat persediaan acara tahunan itu. Dari yang berukuran besar sampai yang kecil disertai juga alat permainan anak-anak seperti belanga, jambangan, dukun, kendi, gadur, cirat, kucut dan guci. Begitu juga berbagai macam piring, cawan, cangkir, mangkuk dan ciciri, lengkap dari yang besar sampai yang kecil. Ditambah lagi bokor, sesanggan, lancang tempat menginang, peludahan, talam, apar, baki, senduk, wancuh, tatudung, payung, cermin, boneka. Pendek kata semua alat permainan anak-anak di dalam keraton.


---oo00oo---



Syahdan, Lembu Jayawunagiri sudah lama tidak mendapatkan keturunan. Ia lalu meminta dibuatkan tujuh buah ketupat untuk bekalnya bertapa di Gunung Malang (Kandit Barayung). Setelah disediakan berbagai macam perbekalan untuk bertapa, maka berangkatlah Lembu Jayawunagiri naik ke atas puncak gunung itu, lalu duduk bersila ke arah matahari terbit dengan membakar dupa astanggi serta membaca doa puji-pujian terhadap Dewa Mulia Raya agar permohonannya untuk memiliki anak dikabulkan.


Kembali ke cerita Raja Iskandar, iparnya Empu Jatmika, yang mempunyai isteri kedua seorang dari alam keindraan, di wilayah Kayangan Surga Laya Surga Loka yang diperintah oleh Sangiang dan para Betara, yakni Betara Bisnu (Betara Wisnu ?), Betara Guru dan Panji Nerada.

Ketika Raja Iskandar ingin kembali ke dunia untuk menemui isterinya Dewi Sri Jaya, kakak Empu Jatmika, dia berpesan kepada istrinya Dewi Kesuma Jaya, anak Betara Bisnu yang tinggal di Surga Laya, di Gunung Madu Cahya beserta mertuanya, kalau anaknya lahir dari rahim Dewi Kesuma Jaya dan ternyata mempunyai wajah tidak sama dengan orang pada umumnya supaya dibuang saja ke dunia.


Tak beberapa lama genaplah usia kandungan Dewi Kesuma Jaya dan lahirlah seorang anak manusia yang sangat aneh, badannya berlipat-lipat, kepalanya dua dan tangan serta kakinya masing-masing berjumlah empat buah. Menangislah Dewi Kesuma Jaya melihat keadaan anaknya yang tidak sama dengan keadaan umumnya anak manusia. Kakek anak itu, Betara Bisnu, teringat dengan pesan menantunya, Raja Iskandar, lalu diambilnya anak yang baru lahir itu, dibawanya terbang sambil diremuk-remukannya badannya, dijadikannya kembang sekaki, tangkainya satu sulaganya dua, dan digugurkannya ke dunia. Kemudian dikenal dengan nama Kembang Putama atau Cendera Perawangi.


Kembali kepada tapanya Lembu Jayawunagiri alias Patih Mandastana, penguasa di Kahuripan Jaya yang sangat ingin mempunyai anak keturunan. Setelah genap tapanya selama seminggu, ia pun kejatuhan kembang sekaki dari langit, lalu disambutnya dan dibawanya pulang. Diperintahkannya isterinya untuk memakai kembang itu dan tidak beberapa lama kemudian maka buntinglah isterinya.


Setelah cukup hitungan bulan dan harinya, maka lahirlah anak kembar laki-laki dari perut Puteri Cendra Dewi isteri Lembu Jayawunagiri, yang pertama bernama Bambang Patma Raga dan yang adik bernama Bambang Sukma Raga.


---oo00oo---



Syahdan Lambung Mangkurat pun bertapa juga dengan menaiki rakit yang terbuat dari batang pohon pisang saba. Sambil berbaring di atas rakit itu dengan alas selembar daun pisang serta selembar daun lagi menutupi badannya, Lambung Mangkurat berakit mengikuti arus air sungai dari muara Tabalong hingga sampai ke muara sungai Ulak. Di muara Ulak rakit batang pisang itu pun berhenti.


Kembali ke cerita Nabi Haidir yang mempunyai isteri kedua seorang perempuan penghuni negeri Gumilang Kaca yang merupakan negeri bawah laut. Nama isterinya itu adalah Dewi Kesuma Sari, anak dari Betara Gangga. Ketika Nabi Haidir hendak pulang kembali ke dunia, dia berpesan kepada isteri dan mertuanya, apabila anaknya lahir dari rahim Dewi Kesuma Sari mempunyai wajah yang tidak sama dengan umumnya anak manusia maka lebih baik dibuang ke dunia saja.


Tidak berapa lama setelah cukup umur kandungannya, maka lahirlah anak Dewi Kesuma Sari, bentuknya bulat seperti buah semangka dan diberi nama Puteri Jenggala Kediri. Ketika dilihat olehnya anak itu bentuk dan rupanya tidak sama dengan anak manusia kebanyakan, maka menangislah Dewi Kesuma Sari. Mendengar hal itu, sang kakek Betara Gangga teringat akan pesan menantunya, Nabi Haidir, lalu diambilnya anak yang baru lahir tersebut lalu dibawa pergi dan dibuangnya ke dunia.


Singkat cerita ada seorang tua hendak mengambil air di tepian sungai di gunung Tengkiling. Tiba-tiba dilihatnya ada seorang anak bayi terbaring di atas pasir di tepian Niang Bungkiling, diambilnya lalu dibawa masuk ke dalam rumah. Dipanggilnya anak itu dengan nama Galuh Cipta Sari.


Tidak berapa lama semakin besarlah Galuh Cipta Sari dalam pemeliharaan si orang tua. Pada suatu hari, layaknya anak-anak, Galuh Cipta Sari sering mandi di sungai di tepian niangnya, sampai berenang ke tengah-tengah sungai. Kegiatan itu dilakukannya setiap hari. Betara Gangga, raja kerajaan bawah air, kemudian menyuruh Naga Putih untuk menghancurkan gua tempatnya tinggal di bawah air. Ketika sedang asyiknya Galuh Cipta Sari berenang-renang dan menyelam ke dalam air, si Naga Putih menghancurkan gua tempat tinggalnya sehingga pecah, maka keluarlah air bah yang sangat deras ke laut. Galuh Cipta Sari pun gelagapan melihat ada air bah yang sangat deras. Oleh Naga Putih dia diusung dan dibawa berangkat ke muara ulak, tempat Lambung Mangkurat sedang bertapa.


Betapa kagetnya Lambung Mangkurat melihat banyak air di hadapannya berbuih-buih putih dan tiba-tiba terdengar suara anak-anak minta dijemput. Oleh Lambung Mangkurat diraih dan dibukanya tutup yang melindunginya, lalu terdengarlah suara anak-anak dari dalam buih itu. Anak kecil yang bertelanjang itu pun berkata minta dibuatkan Mahligai Punca Persada dengan tiangnya terbuat dari Batung (sejenis kayu) dan membikinnya tidak boleh menggunakan peralatan dari besi.


Adapun nama keempat batung itu adalah


-Batung Batulis

-Batung Baduri

-Batung Badarah

-Batung Baperada, sedangkan tempatnya berada di gunung Umbak Batu Piring dan dijaga oleh dua orang suami isteri yang bernama Patih Renggana. Sedangkan membuat sarungnya hanya satu hari. Demikian permintaan dari Galuh Cipta Sari kepada Lambung Mangkurat.


---oo00oo---



Lambung Mangkurat lalu pulang ke rumah menceritakan hasil pertapaannya kepada kalangannya. Berkumpullah segala menteri, hulu balang, patih-patih, dayang-dayang, inang pengasuh serta seisi keraton Candi Agung dan Kuripan Jaya. Disampaikannya semua permintaan Galuh Cipta Sari dan dibagi-bagilah tugas siapa-siapa yang sanggup mengambil Batung dan membikinnya, dan siapa yang akan membuat sarungnya.


Adapun yang menyanggupi untuk membikin mahligai adalah :


-Patih Luwu

-Patih Luhu

-Patih Pembalah Batung

-Patih Penimba Sugara

-Patih Peruntun Manau

-Patih Gancang Basaru


Ceritanya, ketika sampai di gunung Umbak Batu Piring, Patih Luwu dan Patih Pambalah Batung langsung mencabut batungnya. Keduanya membawa batung itu sampai melompati kampung sampai berhenti di Bumi Kencana, lalu membawa pulang batung ke Candi Agung.


Sedangkan Patih Luhu, Patih Penimba Sugara, Patih Peruntun Manau dan Patih Gancang Basaru berdiri di seberang sungai Umbak Batu Piring sambil memegang Caramin Cangan (sejenis cermin). Dimaksudkan siapa saja yang memandang ke dalam cermin itu, maka ia akan kehilangan tenaga dan hancur luluh badannya, sebab dari dalam cermin itu keluar semacam api.

Ketika kedua patih, Luwu dan Pembalah Batung berhasil mencabut batung, seketika terbangunlah si penjaga batung, Patih Ranggana suami isteri. Keduanya secara tidak sengaja memandang ke dalam cermin yang dipegang oleh keempat patih yang lain, maka langsung jatuhlah ke bumi kedua suami isteri penjaga batung itu. Berhasillah sudah tugas keenam patih yang diutus Lambung Mangkurat dan mereka pun pulang kembali ke Candi Agung.


Selanjutnya pekerjaan membangun Mahligai Panca Persada dilakukan. Tempatnya adalah di sebelah kanan dari Candi Agung, tepat di tepi Danau Badarah. Sedangkan bagian yang membuat sarungnya dikepalai oleh dayang-dayang, antara lain :


-Puteri Ajang Suri Parjang Suri.

-Puteri Ratna Masih.

-Puteri Ratna Biduri.

-Puteri Manik Saruntai.

-Puteri Gading Sepurus.

-Puteri Kertas Melayang.

-Puteri Mayang Segara.


Masing-masing dengan kelihaiannya, ada yang menggilas, ada yang mehaniad, memukul, menasi, Menggintih, menenun, hingga sampailah menjadi selembar sarung yang sangat indah dan diberi nama Tapih Langgundi (Tapih Seri Gading).


Singkat waktu setelah mahligai dan sarungnya sudah selesai, maka Lambung Mangkurat turun ke muara Ulak untuk menjemput Galuh Cipta Sari, anak kecil yang mengadakan permintaan tersebut. Untuk memanggil Galuh Cipta Sari dari dalam air diadakanlah radap sesajen, Dupa Astanggi dibakar dan beras kuning ditaburkan. Tidak berapa lama kemudian muncullah anak itu dari atas buih, lalu disambut dengan Tapih Langgundi (Tapih Seri Gading) oleh Lambung Mangkurat sendiri dan dibawa naik ke atas Mahligai Punca Persada dengan dikawal oleh dayang-dayang dan inang pengasuh. Maka disebutlah namanya menjadi Puteri Junjung Buih.


---oo00oo---



Patih Lembu Jayawunagiri, saudara Lambung Mangkurat, disebutkan mempunyai dua orang anak laki-laki kembar yang merupakan hasil dari pertapaannya yang bernama Bambang Patma Raga dan Bambang Sukma Raga. Setiap hari kedua-duanya bermain-main saja di bawah mahligai bersama kawan-kawannya, yakni Pangeran Karijuddin, Pangeran Sebakung dan Puteri Rumintik Intan.


Permainan yang mereka mainkan seperti main kelereng, basungkut, balugu, bapisak dan mengadu ayam dengan masing-masing kesukaannya. Ayam peliharaan pangeran berwarna putih, kaki kuning, sebagian ekornya berwarna hitam dan alat menimangnya adalah alat kemudi dari besi. Musuhnya adalah ayam merah dengan kaki berwarna kuning, mata kuning dengan alat menimang adalah suraja. Namun ketika diadu, taji ayam yang berwarna putih patah satu. Patahannya jatuh ke tanah di bawah mahligai dan tumbuh menjadi bambu berduri berwarna kuning.


Kembali ke cerita Lambung Mangkurat yang mengadakan acara gugudan di Candi Agung. Ia mengajak keponakannya menjaring ikan ke teluk Gergaji di teluk bersaudara. Maka Bambang Patma Raga dan Bambang Sukma Raga meminta ijin kepada kedua orangtuanya untuk ikut dengan pamannya menjaring ikan ke laut. Ia memintan sepah atau sisa dari kinangan ibunya. Sepah kinangan itu ditanam di sisi tangga rumahnya dan kemudian tumbuh menjadi bunga melati. Apabila bunga melati itu gugur dan layu berarti ia tidak akan pulang ke pangkuan ayah dan bundanya.


Sebelum berangkat keduanya dipeluk dan diciumi oleh ayah dan bundanya. Kemudian keduanya mengiringi pamannya, Lambung Mangkurat naik ke atas lanting atau rakit. Rakit itu kemudian hanyut mengikuti arus sungai sampai ke Teluk Gergaji. Di sana Lambung Mangkurat melempar jaring ke air, tapi sayangnya jaringnya tersangkut sesuatu di dalam air. Olehnya disuruhnya kedua keponakannya untuk menyelam ke dalam air, mencari sebab tersangkutnya jaring itu. Tunggu punya tunggu keduanya tidak muncul ke permukaan air. Lambung Mangkurat kemudian pulang mengabarkan kejadian itu kepada kedua orangtua anak-anak itu. Patih Mandastana dan isterinya jadi bersedih mendengar berita itu karena kedua anaknya itu sedang lucu-lucunya.


Bambang Padma Raga dan Bambang Sukma Raga sendiri sesampainya di dalam air disambut oleh kakeknya Batara Gangga dan dibawa ke Negeri Gumilang Kaca. Keduanya kemudian menjelma menjadi makhluk bawah air. Bambang Padma Raga menjelma menjadi seekor naga yang kemudian tinggal di pusat air laut Sekaterah, sedangkan Bambang Sukma Raga menjelma menjadi bulat seperti buah semangka dan diberi nama Surya Cipta.(Anw)


---oo00oo---



(Bersambung)