Sabtu, Agustus 30, 2008

Mati Suri

Pernah dimuat di Wikimu Kanal Sastra, Senin 05-05-2008 14:03:15

Aldo mencoba menggapai tepi tempat tidurnya. Sementara tarikan nafasnya yang berat, begitu menyiksanya. Dengan susah payah dicobanya memasukkan udara lewat mulut, tapi tetap saja hanya sedikit udara yang bisa masuk. Nafasnya pun berbunyi nyaring : ngik, ngik, ngik.

Bila sudah kena serangan seperti ini, biasanya Aldo akan duduk berjam-jam dengan bahu terangkat untuk memudahkan udara keluar masuk paru-parunya. Untuk tidur dia sudah pasti tidak bisa. Badan tidak bisa dibaringkan karena hanya akan menambah sesak nafasnya. Bersandar di tumpukkan bantal juga tidak membantu, karena tekanan di punggungnya hanya akan membuat sesak nafasnya semakin menjadi. Penyakit ini memang parah. Asma ini telah diidapnya sejak kecil, sebagai bawaan dari kandungan, karena bapak dan ibunya pun mengidap penyakit yang sama. Kata orang apabila bapak dan ibu membawa penyakit turunan yang sama, maka anaknya akan mendapatkan kondisi yang lebih parah. Barangkali anggapan orang itu benar. Karena dia sudah membuktikan sendiri, betapa penyakit bengek ini sudah menyiksanya bertahun-tahun.

Aldo berteriak memanggil ibunya. Sudah tak kuasa rasanya menahan rasa sakit di rongga dada karena susah bernafas. Seperti ingin mati saja rasanya. Ya, keinginan tersebut selalu muncul bila penyakit ini menyerang. Keinginan untuk hidup seperti meredup seiring susahnya udara masuk ke dalam rongga dadanya.

"Bu, Aldo sudah tidak tahan lagi, Bu, "rintihnya sambil meringis menahan sakit. Sudah berjam-jam sejak meminum obat yang biasa dibeli di warung di sebelah rumahnya, tetapi tidak ada perubahan sedikitpun yang dia rasakan. Obat itu seperti tidak bereaksi, atau memang penyakitnya yang sudah sedemikian parah.

"Aldo ingin dibawa ke rumah sakit saja, Bu." Suara itu seperti keluar dari lorong yang sempit dan dalam, hampir tidak terdengar di sela bunyi nafasnya yang bersiul. Bunyi itu datang dari saluran pernafasannya yang menyempit.

"Pa, cepat bangun !" teriak ibunya dari kamar Aldo membangunkan suaminya yang tidur di kamar sebelah. "Ini Aldo sudah tidak tahan lagi. Kita harus segera ke rumah sakit !"

Ternyata bukan hanya bapak Aldo yang bangun mendengar teriakan ibu Aldo, tapi juga seluruh penghuni rumah, Rani kakak laki-laki Aldo yang tertua, Aisyah kakak perempuannya, dan Andi adiknya. Waktu itu jarum jam menunjukkan pukul 12 malam lewat sedikit dan seluruh keluarga Aldo memang sudah tidur. Aldo jadi kasihan melihat adiknya yang berumur 3 tahun itu tampak masih sangat mengantuk, tapi terlihat ingin ikut membantu. Dinaikinya tempat tidur dan didekatinya kakaknya yang sudah seperti mau mati itu dengan penuh sayang, sambil dipijat-pijatnya punggung kakaknya. Dia memang sering melihat ibunya memijati punggung kakaknya bila kambuh penyakit bengeknya itu.

Setelah bangun, bapak Aldo langsung menyuruh Rani mengeluarkan mobil di garasi. Dan sambil berpakaian dia langsung berjalan menuju garasi menyusul anaknya yang sedang menghidupkan mesin mobil. Sementara Aisyah, kakak Aldo yang cantik itu, dengan tergesa-gesa memasukkan beberapa lembar pakaian Aldo serta beberapa sarung dan selimut ke dalam sebuah tas jinjing. Melihat kesigapan Aisyah melipat dan memasukkan pakaian Aldo ke dalam tas jinjing itu, sepertinya sudah sering Aldo mengalami kondisi seperti ini. Kambuh penyakitnya dan dibawa opname ke rumah sakit.

"Maaf, Pa, Bu, permisi." sela seorang perawat perempuan sambil memasukkan jarum suntik yang sudah berisi obat ke dalam selang infus. Sementara itu Bapak, Ibu dan Rani kakaknya sedang duduk di samping ranjang Aldo sambil menatap jarum suntik itu mendorong masuk cairan putih ke dalam selang infus. Perlahan cairan obat tersebut masuk dan bercampur dengan air infus.

Kakak Aldo, Aisyah dan Andi adiknya tidak ikut mengantar Aldo ke rumah sakit. Bapak dan ibunya menyuruh mereka menunggu di rumah saja, karena memang biasanya kondisi Aldo akan cepat pulih setelah disuntik atau diberi obat oleh dokter. Kata bapak Aldo obat dari dokter rumah sakit biasanya lebih paten (untuk tidak menyebutnya lebih keras) dari pada obat yang dijual di luaran. Jadi kalau mau menengok lebih baik besok saja. Karena kasihan Andi yang masih kecil kalau harus ikut begadang, tidak tidur karena suasana di rumah sakit biasanya cukup ramai.

"Bu, kepala Aldo seperti pusing dan bertambah enteng." Suara Aldo terdengar pelan hamper tidak terdengar. "Apa Aldo akan mati, Bu."

Ibu Aldo terharu mendengar kata-kata anaknya. Ya, dia selalu sedih bila melihat anaknya berada dalam kondisi seperti ini. Aldo satu-satunya keturunannya yang mengidap penyakit yang dideritanya, juga diderita suaminya, asma. Sepertinya Aldo menjadi tumpukan penyakit ini, sedang saudara-saudaranya yang lain tidak mendapatkannya. Disekanya air mata yang jatuh dari ujung pelupuk mata Aldo, air mata kesakitan yang luar biasa, sambil dia sendiri menyeka matanya yang sudah basah terlebih dulu.

Setelah beberapa menit kemudian, tiba-tiba Aldo merasakan sesuatu yang aneh. Tubuhnya yang tadi terasa ringan, sekarang seperti dapat dirasakannya. Seluruh tubuhnya seperti tidak bisa digerakkan. Jangankan tangan dan kaki, menggerakkan jarinya saja dia tidak bisa. Sekilas dia mendengar suara Bapaknya yang tampak marah-marah kepada perawat yang tadi menyuntikkan cairan obat ke dalam selang infus Aldo. Juga suara isak tangis ibunya yang tampak sangat pilu sambil mengguncang-guncang tubuh anaknya yang sudah tidak bergerak lagi.

Tetapi suara itu perlahan menghilang. Aldo hanya bisa terpejam. Dilihatnya seberkas kabut putih dalam pandangannya. Sekejap kemudian dia melihat orang-orang yang dicintainya menangis mengelilingi tubuhnya yang terbaring. Dia melihat tubuhnya sendiri kaku tak bergerak, dan orang-orang itu masing-masing ada yang memegang wajahnya, tangannya dan kakinya. Belum sempat dia berpikir banyak, dia merasa tubuhnya sudah terangkat ke atas langit-langit kamar. Kepalanya seperti akan menabrak langit-langit itu, tapi ... hei, dia merasa melayang menembus plafon kamar itu, dan terbang membumbung menembus angkasa.

"Bu. "Terdengar suara seseorang di telinga Aldo. "Bangun, Bu. Aldo bergerak-gerak. Aldo hidup lagi, Bu."

Ibu Aldo kaget, sekejap dia masih bingung. Setelah kesadarannya betul-betul pulih, barulah dia ingat bahwa suara itu adalah suara Rani, anaknya yang terus menggoyang-goyang bahunya. Lalu dia teringat suaminya yang tersandar di sampingnya yang kemudian segera dibangunkannya.

"Pa, bangun, Pa. "teriak ibu Aldo sambil mengoncang-goncangkan tubuh suaminya yang tersandar ke dinding di samping tempat tidur Aldo. "Aldo hidup, Pa. Anak kita masih hidup."

Bapak Aldo yang kaget langsung melompat dan berdiri di samping Aldo. Disekanya air matanya yang dari tadi sudah keluar tapi tidak sempat disekanya karena keburu pingsan. Tadi badan bapak Aldo langsung lemas tidak berdaya ketika mengetahui anaknya sudah tidak bernafas lagi, beberapa menit setelah disuntikkan obat ke dalam selang infusnya. Dia ingat betul ketika hampir-hampir menampar wajah perawat perempuan itu, untungnya dia masih bisa menahan diri setelah dipeluk Rani, anaknya dari belakang. "Sabar, Pak, sabar," bujuk Rani tadi.

"Alhamdulillah, Nak," kata Bapak Aldo lirih. Dipeluknya anaknya yang dicintainya itu. Diciumnya kening, pipi dan rambut Aldo, seakan anaknya itu baru pulang dari medan perang dengan selamat.

"Kamu tidak apa-apa, Nak ?" tanyanya lagi.

"Ngga, tahu, Pak," sahut Aldo seperti orang kebingungan. Yang dia ingat tadi dia merasa seperti terjatuh dari tempat tinggi dan terhempas. Baru setelah itu dia mendengar sebuah suara memanggil ibunya. Mungkin itu suara kakaknya, Rani. Tak lama kemudian matanya menangkap sorot cahaya terang menerpa kedua matanya. Cahaya menyilaukan tersebut perlahan-lahan membentuk bulatan hitam di tengahnya. Ah, ternyata itu cahaya lampu kamar rumah sakit. Aldo menutup kedua matanya seketika setelah menyadari bahwa ternyata cahaya lampu itu sangat menyilaukan. Sebetulnya, secara refleks tangan kanannya berusaha bergerak menutup kedua matanya, tapi ternyata tangan itu tidak bisa digerakkan sedikit pun. Kesadaran Aldo perlahan kembali seperti sedia kala, tapi anggota badannya masih terasa sangat kaku. Semua terasa lemas dan Aldo seperti kehilangan seluruh tenaganya.

Aldo menatap foto itu. Foto dirinya sendiri ketika berusia 15 tahun, tepat duduk di kelas 3 SMP. Di foto itu dia sangat kurus, mata cekung dan pipi tampak kempot. Foto seorang penyakitan.

Pengalaman di masa remaja tersebut mengingatkannya akan kejadian beberapa tahun kemudian setelah dia masuk rumah sakit. Begitu banyak peristiwa silih berganti mengisi hidupnya. Kedua orang tuanya yang meninggal dunia susul menyusul. Pertama ibunya tercinta yang meninggal dunia akibat terkena serangan jantung, kemudian bapaknya menyusul disebabkan penyakit asmanya yang sudah sangat kritis karena usia tua. Peristiwa itu terjadi pada saat Doni, anaknya berusia tiga tahun dan tepat empat tahun perkawinannya dengan Lisa, istrinya.

Namun ada juga serentetan peristiwa-peristiwa aneh dan membingungkan, yang apabila diceritakan kepada orang lain, pasti akan membuat mereka tidak percaya dan menganggapnya pembual. Semua cerita aneh itu, terjadi begitu saja mendatanginya. Mimpi-mimpi aneh, bertemu secara langsung dengan orang-orang aneh dan lain sebagainya yang semua itu disimpannya rapat-rapat dan tidak akan diceritakannya kepada orang lain. Termasuk pula mimpinya pada saat masuk rumah sakit dulu. Semua cerita itu hanya miliknya seorang.

Tidak ada komentar: