Minggu, Agustus 31, 2008

Sebutir Cengkeh Membalaskan Dendam Tuannya (Cerpen)

Pernah tayang di Wikimu pada Kanal Sastra, Senin 09-06-2008 17:23:45


Gali Pardun marah besar hari ini. Pertengkaran hebat dengan isteri pertamanya, Sularsih, sangat luar biasa. Teriakan-teriakan bersahut-sahutan terdengar nyaring hingga ke tiga-empat buah rumah tetangga. Kondisi rumahnya sudah seperti bekas kerusuhan massa. Barang pecah belah berserakan di lantai rumah dengan kondisi sudah tidak berbentuk lagi. Meja kursi jumpalitan serta piring mangkok di atasnya, yang berisi makanan untuk sarapan pagi, ikut berserakan dan bertumpahan di lantai.

Belum selesai sarapan paginya tadi karena terhenti oleh pertengkaran yang dahsyat antara dirinya dengan isteri pertamanya. Gali Pardun marah besar dan murka sehingga kulit wajahnya yang berwarna coklat tua berubah menjadi merah gelap. Sumpah serapah dan makian keluar dari mulutnya yang masih terdapat sisa-sisa makan pagi, dan isteri pertamanya yang tidak mau kalah ikut membalas semua cacian dan makian dari suaminya.

"Istri tidak tahu diuntung !" Darah Gali Pardun serasa menggelegak dan naik ke ubun-ubunnya. "Bukannya menjawab baik-baik, malah mengomel tidak karuan dan merembet ke mana-mana. Si Marni tidak ada hubungannya dengan cara memasakmu yang selalu tidak benar. Butiran cengkeh itu tidak akan ada di makananku lalu menyangkut di tenggorokanku sehingga membuat aku tersedak, batuk, dan tersembur makan pagi dari mulutku, kalau bukan karena keteledoran kamu dalam memasak. Apa kamu mau membunuh saya, hah !"

"Iya, salahkan aku terus. Puji si Marni terus. Memang perempuan itu setan perebut suami orang. Dan Abang memang tidak adil. Apa-apa dari Marni selalu dipuji sedangkan apa pun yang dilakukan olehku selalu salah di mata Abang. Abang memang sudah tidak mencintaku lagi !" teriak Marni sambil terisak-isak menangis bercampur dengan cacian terhadap madunya, Si Marni.

"Kamu yang bandel. Tidak pernah menurut apa kataku. Sudah aku bilang dari dulu kalau memasak itu harus pintar. Apa ibumu tidak mengajari kamu cara memasak yang benar. Atau mungkin perceraian ibumu dengan bapakmu juga gara-gara ibumu tidak bisa memasak ?!"

"Jangan bawa-bawa nama orangtuaku !" teriak Sularsih tambah marah. "Aku minta cerai sekarang. Aku minta Abang menceraikan saya sekarang !" Diambilnya cermin kecil yang menggantung di dinding lalu dilemparkan ke arah suaminya berdiri. Gali Pardun yang gesit langsung mengelakkan badannya ke samping, berkelit dari cermin yang melayang ke arah kepalanya. Untung tidak kena, kalau kena bisa berdarah-darah kepalanya. Hebat juga lemparan jitu si Sularsih.

Pertengkaran terus berlanjut sampai siang hari. Anak-anak mereka yang berjumlah lima orang sudah melarikan diri ke luar rumah sejak mendengar suara pertengkaran kedua orang tua mereka tadi pagi. Siti anak tertua yang sudah beranjak dewasa dan Asih, 10 tahun, yang nomor dua sudah kabur ke rumah nenek mereka, ibunya Sularsih, dengan membawa Muin, adik laki-laki paling bungsu mereka yang berumur 5 tahun. Sedangkan Juran dan Ahmad, yang nomor tiga dan empat sudah kabur ke luar rumah entah kemana. Tapi biasanya mereka bermain-main dengan teman-temannya di kali atau ke gunung mencari burung.

Semua anak-anak Gali Pardun sudah tahu gelagat kalau kedua orangtuanya akan bertengkar. Karena kemarin Ibu Marni - demikian anak-anak Gali Pardun memanggil isteri muda bapak mereka - datang ke rumah dan bertengkar dengan ibu mereka. Pertengkaran itu sampai melibatkan tetangga-tetangga untuk mendamaikannya. Untung kemarin itu Gali Pardun sedang tidak ada di rumahnya karena sedang sibuk mengurusi bisnis kebun cengkehnya yang terdapat di desa Banyu Biru, sehingga tidak terjadi keributan yang lebih besar lagi. Masalahnya apabila Gali Pardun marah-marah tidak seorang pun di kampung itu yang berani menyabarkannya apalagi mendekatinya untuk melerai, bisa-bisa orang itu sudah dikemplangnya sampai pingsan. Rupanya apa yang dikhawatirkan Siti dan adik-adiknya terjadi juga hari ini. Mereka pergi mengungsi ke rumah nenek mereka untuk menyelamatkan diri dan tidak tahu kapan akan berani pulang ke rumah. Siti menangis di dalam kamar neneknya, dan Muin yang duduk di pangkuannya menatap kakaknya sambil menangis juga.

--oo00oo-

Gali Pardun duduk termenung sambil memandang keluar jendela. Kopi panas bikinan Marni, isteri mudanya baru sekali dihirupnya, sekarang sudah menjadi dingin karena sudah terlalu lama didiamkan. Beberapa potong ubi rebus yang disediakan Marni di atas piring juga tidak sempat disentuhnya. Pikiran Gali Pardun sedang tidak karuan. Keinginan Sularsih untuk minta dicerai sepertinya sudah tidak bisa ditahan-tahan lagi. Sudah dua hari ini Gali Pardun tidur di rumah Marni, isteri mudanya, menenangkan diri sambil berpikir bagaimana cara menanggapi tuntutan cerai dari Sularsih.

Marni yang sudah mendengar berita mengenai pertengkaran hebat antara suaminya dengan isteri tuanya tersebut, tidak mau berkomentar. Dari pada nanti malah dia yang ketiban sial diomeli tanpa sebab, lebih baik ia diam dan pura-pura tidak mengetahui perihal pertengkaran tersebut. Bagaimana pun keadaan seperti inilah yang diinginkannya sejak lama. Semakin cepat Kang Gali menceraikan isteri tuanya, berarti semakin dekat kekayaan suaminya yang melimpah menjadi miliknya. Jadi ia lebih memilih untuk bersabar menunggu kejadian selanjutnya. Siapa tahu Kang Gali segera memutuskan perceraian tersebut hari ini juga.

Marni tersenyum sendiri sambil membayangkan Kang Gali sudah menjadi suaminya seorang, tidak ada lagi pergiliran yang dilakukan Kang Gali, tiga malam di rumah isteri tuanya dan dua malam di rumahnya. Pernah dia menanyakan, kenapa Kang Gali tidak adil karena lebih banyak bermalam di rumah Sularsih dari pada di rumahnya. Kata Kang Gali, karena dengan Sularsih anaknya ada lima sedangkan dengan Marni hanya mempunyai dua anak. Berarti harus lebih banyak waktu di rumah Sularsih untuk menemani kelima anaknya. Bila Kang Gali sudah menjawab demikian, dia tidak mungkin lagi membantah karena Kang Gali pasti akan marah besar kalau omongannya dibantah padahal sudah dijelaskan dengan baik-baik.

Gali Pardun terus memandang ke luar jendela. Dia teringat sebutir cengkeh yang menjadi sebab pertengkaran antara dia dengan Sularsih kemarin. Ah, Pardun menghela nafas panjang. Bayangan masa lalunya muncul kembali. Dua puluh tahun yang lalu dia adalah preman yang paling ditakuti di desanya, desa Pager Wesi, sampai ke seluruh desa di seluruh kecamatan Braja Mukti. Waktu itu ia hanya beristerikan Sularsih yang baru dinikahinya dan sedang mengandung anak pertamanya, si Siti sekarang.

Gali Pardun bukan seorang preman biasa, tapi ia juga terkenal sebagai perampok, pemalak dan berbagai peran jahat lainnya. Dia melakukan semua itu bersama-sama dengan beberapa temannya. Ada empat orang temannya - atau yang lebih tepat disebut anak buah - yang selalu bersamanya setiap melakukan "tugas". Ada Yusran, Ebot, Sutir dan Eman. Keempat anak buahnya itu tidak pernah berani melawannya karena tahu Gali Pardun itu sangat kuat dan sakti alias kebal senjata jenis apapun. Bahkan keempatnya pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri peluru polisi tidak berhasil menembus kulit tubuhnya, pada saat terjadi pengejaran terhadap mereka sebelum mereka berlima berhasil kabur ke dalam hutan.

Sebetulnya sepak terjang Gali Pardun sebagai penjahat sudah berlangsung sejak ia berusia belasan tahun. Maklum bapaknya juga seorang preman yang bertugas sebagai kepala pasar dan pekerjaannya setiap hari adalah memungut pajak pasar dari para pedagang yang berjualan di situ. Bahkan para pedagang dari luar yang biasa menyuplai barang dagangan ke desanya juga ditariki pungutan, pajak masuk katanya. Bapaknya bernama Barkam atau orang biasanya memanggil Barkam Kepala Pasar. Dari bapaknya itulah dia belajar ilmu bela diri dan kekebalan. Kata bapaknya, anak laki-lakinya suatu saat harus menggantikan dirinya bertugas di pasar itu. Suatu pekerjaan yang lebih dekat kepada pemeras dari pada seorang kepala pasar.

Rupanya setelah Gali Pardun dewasa keadaan dirinya lebih jelek dari pada bapaknya. Dia bukan hanya memeras, tetapi juga menjadi merampok bahkan membunuh, terutama korban-korban perampokannya yang melawan dan tidak mau dengan sukarela menyerahkan apa yang dimintanya. Sudah banyak kegiatan perampokan yang dilakukannya, tapi hanya dua kali ia di penjara, karena ia selalu berhasil melarikan diri dan bersembunyi di suatu tempat yang tidak ada seorang pun mengetahuinya. Konon kabarnya Gali Pardun bisa menghilang. Namun kabar itu belum pernah terbukti kebenarannya karena tidak ada seorang pun yang benar-benar melihat Gali Pardun menghilang di depan matanya. Pada waktu tertangkap dulu sebenarnya Gali Pardun sudah berhasil melarikan diri, tapi karena dikhianati oleh anak buahnya sendiri, si Basri, akhirnya persembunyiannya diketahui oleh polisi. Setelah Gali Pardun keluar penjara, pengkhianat itu pun dibunuhnya di depan anak buahnya yang lain, biar kalian tahu apa jadinya bila orang berkhianat, begitu katanya kepada anak buahnya. Bagi Gali Pardun jalan termudah menutup mulut orang yang banyak bicara adalah dengan membunuhnya.

Pernah di suatu hari, tepatnya satu bulan setelah anak pertamanya lahir, Gali Pardun bersama anak buahnya merencanakan perampokan atas seorang pengusaha perkebunan cengkeh di desa Banyu Biru yang letaknya sekitar sepuluh kilo meter dari desanya, desa Pager Wesi. Hari itu dia mendengar kabar dari mata-matanya yang tinggal di desa Banyu Biru bahwa si pengusaha cengkeh yang bernama Haji Samad sedang berada di kota kecamatan. Katanya Haji Samad sedang menjual hasil kebunnya yang lagi panen raya. Jadi kalau cengkeh-cengkeh itu laku dijual mungkin barang sepuluh-dua puluh juta duit ada di tangannya.

Berlima dengan anak buahnya Gali Pardun pergi ke hutan angker yang terletak di antara desanya dengan desa Banyu Biru. Informasi dari mata-matanya, Haji Samad pergi ke kota kecamatan dengan menggunakan mobil pick up-nya dan kira-kira pukul 06.00 sore akan tiba di jalan hutan ini setelah menempuh sekitar 1 jam perjalanan dari kota kecamatan. Jalan hutan ini adalah satu-satunya jalan yang menghubungkan desa Pager Wesi dengan desa Banyu Biru. Apabila senja hari hanya sedikit orang yang berani melewati jalan ini karena takut dengan cerita-cerita yang menyeramkan mengenai hantu-hantu penunggu hutan angker yang katanya bisa menculik dan memakan orang. Padahal cerita-cerita mengenai hantu hutan angker tersebut hanyalah karangan Gali Pardun dan anak buahnya yang sengaja dihembuskan supaya masyarakat takut dan tidak berani melewati jalan hutan ini. Sehingga Gali Pardun dan anak buahnya leluasa menguasai areal hutan ini sebagai wilayahnya kerjanya.

Gali Pardun dan anak buahnya bersembunyi di balik rindangnya daun pepohonan yang berjajar di tepi jalan hutan. Suasana hutan yang gelap membuat orang yang melewati jalan ini tidak akan bisa mengetahui keberadaan mereka. Waktu itu jam sudah menunjukkan pukul 05.00 sore. Sambil melihat arloji di tangannya, Sutir menepuk nyamuk yang hinggap dan menggigit lehernya.

"Sialan !" umpatnya setengah berbisik sambil memilin nyamuk hutan yang cukup besar dan sudah mati tersebut dengan telunjuk dan ibu jarinya. Dia tidak berani bersuara terlalu keras, karena pelototan mata Gali Pardun sudah sedari tadi menatapnya, tak senang karena tingkahnya yang seperti orang kepanasan. Keadaaan memang harus dibikin sesenyap mungkin, supaya pengintaian berjalan lancar.

Setelah satu jam menunggu dengan ditemani gigitan nyamuk-nyamuk hutan, Gali Pardun dan anak buahnya mendengar suara deru mesin mobil dari kejauhan. Itu pasti mobil pick up-nya Haji Samad, batin Gali Pardun. Di keluarkannya suitan melengking dari mulutnya sebagai isyarat kepada anak buahnya untuk bersiap-siap menyambut kedatangan mobil pick up Haji Samad yang akan melintas di depan mereka.

Deru suara mobil pick up itu semakin dekat. Ketika jarak antara tempat persembunyian mereka dengan mobil pick up itu kurang lebih tinggal beberapa meter lagi, berlompatanlah Gali Pardun dan anak buahnya mengepung mobil itu sambil berteriak, "Berhenti ! Matikan mesin mobil dan keluar !"

Haji Samad bukan termasuk orang yang penakut, dengan tenang dimatikannya mesin mobil dan sambil membuka pintunya Haji Samad keluar mendekati Gali Pardun.

"Ada apa, Dun ?" Tanya Haji Samad dengan ramah, namun ketegangan tidak bisa disembunyikan dari wajahnya. Tangan kanannya sedari tadi sudah mengejang, bersiap mencabut golok yang tersembunyi di balik baju jaketnya yang tidak terkancing. Sedangkan tangan kirinya sejak keluar dari mobil masih memegang buntelan yang terikat di pinggangnya.

Bukannya Gali Pardun tidak melihat gerakan tangan Haji Samad, tetapi dia pura-pura tidak melihatnya. Dilangkahkannya kakinya semakin mendekati Haji Samad yang tampak berdiri menunggu. Lalu sambil menatap tajam mata Haji Samad yang juga terlihat marah, Gali Pardun berkata dengan suara berat, "Sebaiknya Pak Haji tidak usah melawan karena saya tidak akan memberikan ampunan. Serahkan semua uang yang ada di buntelan itu. Dan jangan coba-coba melaporkan kejadian ini kepada polisi atau siapa saja. Saya akan dengan mudah mendatangi rumah Pak Haji dan membunuh Pak Haji sekeluarga kapan pun saya mau."

Haji Samad semakin meradang mendengar ancaman tersebut. Ditariknya kepala golok yang terselip di balik jaketnya dan dengan cepat di tebaskannya tepat ke arah leher Gali Pardun. Seandainya Gali Pardun bukan perampok berpengalaman dan bukan ahli bela diri, mungkin kepalanya sudah terpisah dari badannya terkena sabetan golok Haji Samad. Gali Pardun berkelit sedikit ke kiri dan lehernya pun terselamatkan. Bagi Gali Pardun Haji Samad yang berumur lima puluh tahunan itu bukanlah tandingannya. Hanya dengan menepukkan tepi telapak tangan kirinya ke bahu orang tua itu, Haji Samad langsung terjungkal ke tanah dan golok di tangannya terlepas beberapa meter dari tubuhnya.

"Ebot, ambil buntelan di pinggangnya, cepat !" Perintah Gali Pardun kepada Ebot yang berdiri beberapa meter dari tempat jatuhnya Haji Samad. Dengan cepat Ebot mendekati Haji Samad dan berusaha menarik buntelan yang berisi uang itu dari pinggangnya. Haji Samad tidak berdiam diri, dengan cepat dipegangnya pergelangan tangan Ebot dan didorongnya ke samping hingga terjatuh, sedangkan dia sendiri langsung berdiri dengan sigap.

"Bangsat !" umpat Gali Pardun. Diterjangnya Haji Samad yang baru saja berdiri itu dan dengan cepat sebuah sabetan golok mengenai perut Haji Samad. Darah muncrat ke mana-mana. Haji Samad terhuyung-huyung memegangi perutnya yang terburai isi di dalamnya. Dicobanya memasukkan sebagian ususnya yang keluar, tetapi kakinya sudah tidak sanggup lagi menahan berat tubuhnya yang limbung. Seluruh persendiannya tiba-tiba melemas dan Haji Samad langsung jatuh terjengkang ke tanah. Sambil meringis menahan sakit yang luar biasa, Haji Samad menunjuk-nunjuk ke arah Gali Pardun yang berdiri dengan berkacak pinggang di depannya. Gali Pardun tersenyum puas sambil menyelipkan kembali golok yang berlumuran darah ke ikat pinggangnya.

"Demi Allah !" sumpah Haji Samad sambil menunjuk-nunjuk Gali Pardun dengan tangan kananya dan menggenggam erat buntelan kain dengan tangan kirinya. "Allah Maha Melihat dan Mengetahui semua perbuatan jahatmu hari ini, Pardun. Nanti buah cengkehku ini yang akan membalaskan semua perbuatanmu hari ini kepadaku."

Haji Samad menghembuskan nafasnya yang terakhir di depan mata Gali Pardun dan anak buahnya. Sekejap mereka tersadar dan segera menarik buntelan yang dipegang erat oleh tangan kiri Haji Samad. Betapa kagetnya mereka ketika mengetahui bahwa isi buntelan itu hanyalah beberapa genggam butiran cengkeh kering.

Rupanya Haji Samad tidak membawa uang hasil penjualan panen cengkehnya pada hari itu. Uang tersebut dititipkan pada seorang temannya di kota kecamatan untuk dibawakan esok harinya ke desa Banyu Biru dan diserahkan kepada dirinya. Sepertinya Haji Samad berfirasat jelek pada hari itu sehingga memutuskan untuk menitipkan saja uangnya pada temannya. Sedangkan butiran cengkeh yang terdapat di dalam buntelan itu adalah merupakan contoh cengkeh yang dikehendaki pelanggannya di kota kecamatan. Katanya cengkeh Haji Samad kurang kering penjemurannya dan si pelanggan memberikan contoh cengkeh yang sesuai dengan keinginannya.

Gusar sekali Gali Pardun melihat kejadian ini. Dihempasnya buntelan berisi butiran cengkeh itu ke tanah sehingga berhamburan isinya, lalu sambil menyumpah-nyumpah di ajaknya anak buahnya meninggalkan tempat itu dan berlari ke dalam hutan. Mereka pergi meninggalkan tubuh Haji Samad yang tergeletak tak bergerak dengan butiran-butiran cengkeh berserakan di sekitarnya. Cahaya matahari senja hanya tinggal sebersit di ufuk Barat. Dan angin malam yang dingin mulai merayap di sela-sela dedaunan pohon-pohon hutan yang tampak gelap menyeramkan.

Setelah kejadian perampokan dan pembunuhan itu diketahui keesokan harinya, masyarakat luas pun sudah langsung bisa menebak siapa kira-kira yang melakukannya. Tapi tidak pernah ada seorang pun yang berani bercerita tentang hal tersebut. Hingga akhirnya kasus tewasnya Haji Samad pun ditutup sementara oleh pihak kepolisian disebabkan tidak ada seorang pun yang dapat memberikan keterangan ketika ditanya oleh polisi. Semua mulut ditutup rapat dan semua berlagak pura-pura tidak mengetahui perihal kemungkinan siapa pelakunya.

--oo00oo--

Gali Pardun tersentak kaget ketika mendengar suara orang ribut di depan rumah istri mudanya. Seketika buyarlah lamunan tentang masa lalunya setelah ia mendengar suara orang-orang bercakap-cakap agak nyaring yang terdengar dari luar rumahnya.

"Kang, ada beberapa orang polisi di depan rumah kita bersama dengan Kepala Desa, " beritahu isterinya yang dengan setengah berlari masuk ke dalam rumah. "Ada apa, Kang, kok banyak sekali polisinya ?"

Marni cemas melihat kedatangan polisi-polisi itu. Apalagi beberapa orang polisi itu tampak memegang senjata berlaras panjang yang moncongnya diarahkan rumah mereka. Diintipnya semua kejadian itu dari jendela rumahnya dan dengan perasaan was-was disekanya keringat yang membasahi dahinya. Kedua anaknya yang kebetulan bermain di halaman juga langsung masuk ke dalam rumah. Anaknya tertua bertanya kepada bapaknya kenapa polisi-polisi itu menodongkan senjatanya ke arah rumah mereka. Gali Pardun tidak sempat menjawab pertanyaan anaknya. Dia langsung bergegas melangkah ke luar rumah dan berteriak nyaring kepada orang-orang yang berada di halaman rumahnya.

"Hoi, ada masalah apa yang membuat kalian datang kemari ? Kalian ingin menangkapku ?"

Kepala Desa bergegas mendekati Gali Pardun yang sedang berdiri berkacak pinggang di depan pintu rumahnya. Dengan badan sedikit membungkuk seperti orang ketakutan Kepala Desa lalu berkata dengan sedikit pelan, "Maaf, Pak Pardun, Bapak polisi-polisi itu meminta Bapak untuk ikut ke kantor Polsek sekarang juga, katanya ..."

Belum selesai perkataan si Kepala Desa, Gali Pardun sudah memotongnya dan berteriak ke arah polisi-polisi yang sedang menodongkan senjata ke arahnya, "Aku tidak akan pergi dari rumah ini, apa pun yang terjadi ! Kalian dengar itu ? Sekarang juga pergi dari sini dan jangan membuat Gali Pardun marah !"

Salah seorang dari polisi-polisi itu segera maju ke depan dan berdiri sekitar lima meter dari teras rumah Gali Pardun. Dia tidak menodongkan senjatanya karena pistolnya masih tersimpan rapi di sarungnya. Gali Pardun tidak mengenal polisi-polisi ini, berarti mereka bukan dari kantor Polsek di kota kecamatan. Mereka pasti polisi-polisi dari kota kabupaten. Gali Pardun mulai curiga, pasti ada orang yang telah menjadi pengkhianat. Apakah salah seorang anak buahnya dulu ?

"Maaf, Bapak Pardun, "kata polisi itu memulai pembicaraan. "Saudara, kan yang bernama Gali Pardun ?"

Gali Pardun tidak menjawab pertanyaan dari polisi itu. Matanya nyalang melihat setiap polisi yang menodongkan senjata laras panjang kepadanya dari jarak sekitar sepuluh meter dari tempatnya berdiri. Giginya bergemeletuk menahan marah. Tangannya mengepal di samping tubuhnya. Kepala Desa yang tadi berada di dekatnya, sudah lama menyingkir sejauh-jauhnya. Si Kepala Desa tahu situasi sudah menjadi gawat. Dari pada bernasib sial, lebih baik pergi sejauh-jauhnya menyelamatkan diri.

Polisi yang tadi mendekatinya tampak masih terlihat sabar dan dengan tegas dia berkata. "Saudara Gali Pardun, Saudara diminta ikut ke kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatan Saudara. Saudara dituduh telah menjadi otak perampokan dan sekaligus pembunuh Haji Samad pengusaha cengkeh dari desa Banyu Biru dua puluh tahun yang lalu. Demi kebaikan Saudara, kami harap Saudara mengangkat tangan ke atas dan menyerahkan diri dengan baik-baik."

Polisi itu langsung mengeluarkan pistolnya ketika melihat Gali Pardun tidak juga mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah. Lelaki tua berumur lima puluh tahunan tersebut bahkan bergerak meninggalkan pintu rumahnya dan melangkah ke halaman, semakin mendekati polisi-polisi itu dengan geram kemarahan. Tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya dan dadanya dibusungkan seperti siap menerima semua muntahan peluru dari moncong senjata-senjata yang sudah diarahkan kepadanya. Suasana benar-benar menegangkan, ketika tiba-tiba keheningan yang mencekam dipecahkan oleh suara tembakan yang bersahut-sahutan. Asap mengepul dari setiap moncong laras senjata yang dipegang oleh polisi-polisi itu. Burung-burung yang hinggap di atas pohon di halaman rumah Marni berterbangan ke sana kemari dengan gaduh. Semua tertegun, bahkan polisi-polisi itu sendiri seperti takjub dengan apa yang telah mereka lakukan. Gali Pardun tampak berdiri dengan tubuh penuh luka berdarah akibat terjangan peluru dari senjata polisi-polisi itu. Sejenak dia tampak tegap seperti tidak terjadi apa-apa, namun beberapa detik kemudian Gali Pardun roboh ke tanah.

"Bapak !" Akang !" Teriakan pilu terdengar bersahut-sahutan dari dalam rumah. Marni dan kedua anaknya yang sedari tadi mengintip semua kejadian dari jendela rumah mereka, seketika berlari sambil menangis mengejar tubuh Gali Pardun yang sudah tertelentang di halaman. Darah membasahi bajunya dan celana Gali Pardun. Ada kurang lebih sepuluh lubang peluru di tubuh dan kakinya yang tampak sudah kaku tidak bernyawa.

"Bapak !" tangis anaknya membahana ke udara. Tangisan dan teriakan pilu antara ibu dan anak terus terdengar. Tak ada seorang pun yang sanggup untuk berbicara pada saat itu. Bahkan polisi-polisi itu juga diam. Senjata mereka sudah berada di samping tubuh mereka, dipegang oleh tangan yang gemetar. Mereka memang sudah lama jadi polisi, tapi baru sekali ini mereka menembak orang dengan tujuan untuk membunuhnya. Bau mesiu yang tercium di udara bercampur dengan erangan dan tangisan yang kian lama kian menghilang. Hanya tinggal isakan pilu yang keluar dari mulut Marni dan kedua anaknya yang sedang menelungkupi mayat suami dan bapak mereka yang terbaring kaku di tanah.

--oo00oo--

Tidak seorang penduduk desa pun yang tahu siapa yang telah melaporkan kejahatan Gali Pardun kepada polisi. Semua orang membicarakan hal tersebut selama berbulan-bulan tanpa ada yang tahu jawaban yang pasti. Informasi dari Polsek mengatakan bahwa urusan penangkapan Gali Pardun sudah merupakan wewenang Polres di kota Kabupaten, bahkan katanya pihak Polda juga ikut andil.

Marni dan kedua anaknya tidak mendapatkan apa pun dari harta warisan Gali Pardun karena ternyata kebun cengkeh yang luas di desa Banyu Biru tersebut adalah milik Haji Samad yang dirampas oleh Gali Pardun dari ahli warisnya, anak dan istri Haji Samad. Hasil keputusan pihak pengadilan bahwa harta Gali Pardun harus dikembalikan kepada pemiliknya yang sah yaitu istri dan anak Haji Samad tersebut.

Bagaimana nasib Sularsih dan ketiga anaknya ? Sularsih yang merupakan anak orang kaya di desanya kembali ke rumah ibunya yang sudah bercerai dari suaminya. Anak-anak Sularsih mendapatkan warisan dari kakeknya, bapaknya Sularsih yang kaya raya karena bapaknya tersebut - yang meninggal tidak lama setelah kejadian penangkapan Gali Pardun - tidak memiliki seorang saudara pun.

Ada dua misteri yang masih belum terjawab. Pertama, siapakah orang yang melaporkan kejahatan Gali Pardun kepada polisi ? Kedua, kenapa Gali Pardun yang terkenal kebal dan tahan terhadap tebasan senjata tajam dan tahan terjangan peluru ternyata akhirnya tewas ditembak polisi ?

Ternyata laporan tersebut berasal dari Sularsih, isteri Gali Pardun sendiri. Setelah menahan sakit hati yang cukup lama karena dimadu, dan setelah terjadi pertengkaran hebat disebabkan sebutir cengkeh yang menyangkut di tenggorokan Gali Pardun pada saat makan pagi, akhirnya Sularsih mengambil keputusan untuk mendatangi kantor Polsek setempat melaporkan kejahatan yang telah dilakukan Gali Pardun, suaminya dua puluh yang lalu. Pihak Polsek kemudian memutuskan menyerahkan permasalahan ini ke Polres karena tahu bagaimana sepak terang Gali Pardun yang cukup berbahaya. Dan mengenai hilangnya ilmu kebal Gali Pardun tidak lain adalah keterangan dari Sularsih yang mengetahui betul seluk-beluk ilmu suaminya. Di kantor polisi dia juga bercerita mengenai ilmu kebal Gali Pardun dan cara menghilangkannya, yaitu dengan menggunakan ujung peluru yang terbuat dari emas.

(A thousand rivers city, June 7th, 2008)

Tidak ada komentar: