Kamis, September 11, 2008

Festival Budaya Pasar Terapung, Sarat Nilai Filosofis


BERBAGAI permainan rakyat Banjar tempo dulu yang ditampilkan dalam Festival Budaya Pasar Terapung ternyata di era digital ini mampu menyedot perhatian ribuan penonton. Suasana Sungai Martapura di depan Kantor Gubernur Kalsel, Sabtu (21/6), seolah membawa kita ke masa tempo dulu di mana masyarakatnya Banjar sangat mengandalkan jukung sebagai alat transportasi dalam kehidupan sehari-hari.

Sekitar 600 jukung hilir mudik di pasar terapung. Para mengayuh jukung itu menjajakan dagangannya, ada pisang, nenas, jeruk, jambu, aneka kue-kue hingga pakaian jadi.

Pengayuh jukung di pasar terapung yang didominasi kaum hawa itu tidak mengenal lelah, meskipun terik matahari begitu menyengat. Mereka terus mengayuh jukung dari depan Kantor Gubernur Kalsel hingga Jembatan Merdeka, kemudian balik lagi.

Beberapa pedagang yang berasal dari Lok Baintan dan Kuin Banjarmasin itu berteriak “tukariakan jualanku,” ke arah para ribuan penonton yang menyaksikan karnaval jukung tersebut.

Masyarakat yang semula mengira buah-buahan yang dijajakan pedang itu sekadar sandiwara, begitu tahu benarbenar diperjualbelikan, kontan menyerbu. Mereka beramairamai membeli.

Enor, pedagang pasar terapung dari Lokbaintan Martapura, menuturkan mereka sangat mendukung festival budaya pasar terapung Banjarmasin, karena selain barang dagangannya laku, juga mendapat uang partisipasi Rp60 ribu perorang. Bahkan biaya untuk mengecat jukung sudah dijamin beberapa bank.

Selain parade jukung pasar terapung, puluhan jukung hias bermesin dan tak bermesin, serta lomba dayung turut memeriahkan acara tahunan yang digelar selama 2 hari itu.

Rata-rata jukung hias yang ditampilkan peserta bercorak perahu naga, ada naga tunggal dan naga kembar yang berwarna-warni, sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Sabtu malamnya, jukung hias semakin mempesona, dengan tampilan lampu warna warni dan keunikan sang naga.

Festival yang dimotori Banjarmasin Post Group, Telkomsel, Dinas Pariwisata Kalsel, dan Pemko Banjarmasin ini juga menyuguhkan kampung banjar. Di sinio hiburan rakyat khas Banjar kentara sekali, ada pertandingan bagasing, enggrang, batampurungan, kesenian hadrah, kue khas Banjar, pameran produk khas kabupaten/kota se Kalsel, dan banyak lagi menu hiburan gratis lainnya yang menyedot ribuan penonton.

Lestarikan Budaya Daerah Sendiri

MENURUT Drs H Syamsiar Seman, hiburan rakyat khas Kalsel seperti permainan batampurungan, engrang, dan bagasing, mengandung makna filosofis yang sarat dengan pendidikan kejujuran dan kemandirian.

“Bahan-bahan yang digunakan berasal dari alam lokal kita. Begitu pula pembuatannya, hasil dari karya sendiri. Di situlah makna kemandiriannya,” jelas budayawan Banjar ini.

Sedangkan makna kejujuran dari permainan rakyat ini, terlihat ketika dipertandingkan, masingmasing peserta dituntut kejujuran mereka. Di samping itu, tambah Syamsiar, juga ajang untuk memperat tali silaturahim.

Tradisi permainan rakyat ini harus terus dipelihara dan disosialisasikan kepada generasi kita, sehingga budaya khas kita tidak terkikis oleh budaya asing yang serba digital, harap Syamsiar.

“Orang Banjar, jangan jadi orang asing di daerahnya sendiri,” tegas Syamsiar.

Sedangkan parade jukung hias, lanjutnya, mengandung makna bahwa jukung adalah media sentral komunikasi masyarakat Kalsel tempo dulu. (ΓΌ)

Sumber : Banjarmasin Post Online, Senin 30-06-2008 / Ibrahim Ashabirin

Tidak ada komentar: