C. PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM DAN PENERAPAN HUKUM ISLAM
Gbr. Muhammad Nafis
Kesimpulan yang dapat disimak dari hasil seminar itu adalah :
a. Tentang masuknya agama Islam
b. Tentang cara penyebarannya
c. Tentang pengaruh bahasa Melayu sebagai alat penyebaran Agama Islam.
Masuknya agama Islam ke Kalimantan Selatan sebenarnya terjadi lama sebelum berdirinya Kerajaan Islam Banjar, dan diperkirakan tersebarnya agama Islam itu sekitar abad ke-14 Masehi. Dengan kata lain bahwa berdirinya Kerajaan Isam Banjar dengan raja pertama Sultan Suriansyah, tidak identik dengan masuknya agama Islam itu ke Kalimantan Selatan. Dua abad sebelum Kerajaan Banjar berdiri, disekitar Kuwin sudah terdapat pemukiman penduduk yang memeluk agama Islam. Barangkali kelompok penduduk yang dikenal sebagai Oloh Masih atau Orang Melayu yang tinggal di sekitar Kuwin telah mengenal agama Islam, atau mungkin sudah beragama Islam. Islam masuk ke Kalimantan dengan secara damai dan para pembawa atau penyebar agama itu adalah para pedagang/ulama sebagai hasil dari hubungan timbal balik antara Malaka – Johor, kemudian Pasai dan Aceh dengan Negara Daha dengan bandar Muara Bahan yang ramai saat itu dikunjungi para pedagang. Waktu itu yang Menjadi raja di Negara Daha adalah Panji Agung Maharaja Sari Kaburangan sekitar abad ke- 14 Masehi. Penyebaran Islam itu lebih meluas setelah berdirinya Kerajaan Banjar yang dipimpin oleh Sultan Suriansyah sebagai raja pertama yang memeluk agama Islam. Bantuan dari Kerajaan Islam Demak dan hubungan Islam dengan pantai utara Jawa Timur Gresik, Tuban dan
86 Gusti Abdul Muis, “Masuk dan Tersebarnya Islam di Kalimantan Selatan”, Makalah pada Pra Seminar Sejarah Kalimantan,
Jabatan Penghulu pada masa-masa awal Kerajaan merupakan jabatan urutan ketiga dalam urutan kepangkatan, setelah Sultan dan Mangkubumi. Urutan itu berlaku pula dalam segala kegiatan resmi yang diadakan oleh Kerajaan. Tersebarnya agama Islam erat kaitannya dengan memasyarakatnya bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan (lingua franca) antar suku di Kalimantan Selatan, karena agama Islam disebarkan dengan pengantar bahasa Melayu dengan menggunakan huruf Arab-Melayu. Huruf Arab-Melayu ini ternyata sudah dikenal di sekitar penduduk Melayu yang disebut Oloh Masih.
Begitu pula selanjutnya para ulama yang menyusun kitab-kitab agama selalu menggunakan bahasa Melayu dengan huruf Arab-Melayu pula, sebagai contoh adalah :
a. Kitab Sabilal Muhtadin oleh Muhammad Arsyad Al Banjari selesai ditulis pada 22 April 1781.
b. Kitab Ad Durrun Nafis oleh Syekh Muhammad Nafis bin Ideris Al Banjari yang ditulis pada tahun 1785.
c. Kitab Shirathol Mustaqim yang oleh Syekh Nuruddin Ar Raniri (Aceh) ditulis sekitar permulaan abad ke- 18.
d. Kitab Tuhfat al Raghibin oleh Syekh Muhammad Al Banjari.
e. Kitab Parukunan oleh Mufti Jamaluddin ibnu Muhammad Arsyad Al Banjari Mufti Kerajaan Banjar, tanpa tahun.
f. Parukunan Basar oleh Fatimah binti H. Abdul Wahab Bugis, cucu Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, tanpa tahun.
g. Kitab Hidayatusalikin oleh Syekh Abdussamad Palimbani (
h. Kitab Sairussalikin oleh Syekh Abdussamad Palimbani 2 Jilid, tanpa tahun.
1. Perkembangan Agama Islam
Perkembangan Islam dalam abad ke- 17 menunjukkan kemajuan yang pesat. Pada waktu itu seorang yang hidup dalam Kerajaan Banjar di Martapura telah menyusun sebuah kitab ilmu tasawuf tentang Asal Kejadian Nur Muhammad yang dipengaruhi ajaran Ibnu Arabi yang termasuk aliran Wahdatul wujud. Hal ini menunjukkan bahwa dalam abad ke- 17 dalam wilayah Kerajaan Banjar sudah menunjukkan berkembangnya aliran tasawuf secara dominan sampai melahirkan seorang ulama terkemuka dibidang tersebut dan mampu mengarang sebuah kitab yang cukup berat. Kitab tasawuf itu dihadiahkan pengarangnya kepada Ratu Aceh. KH. Zafri Zamzam dalam salah satu tulisannya menyebut bahwa ulama besar itu adalah Syekh Ahmad Syamsudin Al Banjari.88 Dalam penelitian seorang orientalis R.O Winstedt yang menyebutkan dalam bukunya tentang Hikayat Nur Muhammad yang paling tua yang dijumpai di Jakarta ditulis tahun 1688 oleh seorang ulama Banjar yang bernama Sham al Din untuk Sultan Taj al Alam Syafiat al Din yang memerintah di Aceh. Memang dalam masa pemerintahannya Sulthanah Seri Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat puteri dari Sultan Iskandar Muda memerintah di Kerajaan Aceh pada tahun 1050-1085 H / 1641-1675, seorang Ratu yang loyal terhadap ajaran-ajaran wahdatul wujud yang berkembang di sana yang semula mendapat tekanan. Dengan dikirimkannya naskah Kitab tentang Asal Kejadian Nur Muhammad itu ke Kerajaan Aceh khusus untuk Ratu Aceh hal ini menunjukkan hubungan timbal-balik yang baik dengan Kerajaan Aceh. Hal ini mungkin disebabkan oleh kegiatan-kegiatan ulama Aceh seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Sumatrani pada satu kelompok dan dari pihak penetapannya Nuruddin Ar Raniri pada pihak lainnya. Kedua Faham ini ternyata mempunyai pengaruh yang besar di dalam daerah Kerajaan Banjar. Pengaruh yang pertama dapat kita tunjukkan dengan tokoh Syekh Ahmad Syamsuddin Al Banjari dan nanti masih terlihat pada abad ke- 18 dengan tokoh Syekh Abu Hamid Abulung.89 Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa dalam masa satu abad perkembangan Islam di Kerajaan Banjar dipengaruhi ajaran Tasawuf.
2. Pengaruh Aceh
Selama abad ke-17 terlihat bahwa perkembangan agama Islam dalam wilayah Kerajaan Banjar mendapat pengaruh dari ajaran-ajaran yang berkembang di Aceh. Dengan runtuhnya Kerajaan Demak sebagai pusat da’wah Islam semasa Wali Songo, pengaruh perkembangan Kerajaan Aceh. Kegiatan para ulama dan para juru da’wah dari Kerajaan Aceh telah merambah kemana-mana termasuk dalam wilayah Kerajaan Banjar, disamping Sumatera sendiri dan
88 Zafri Zamzam, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari,
Selama mereka berada di Aceh mereka mengikuti kegiatan-kegiatan yang bersifat keagamaan ataupun mengikuti pengajian-pengajian, karena itu maka perkembangan pemikiran yang berkembang di Aceh mempengaruhi mereka. Karena itulah pemikiran dari Hamzah Fansuri yang mengembalikan pada ajaran tasawuf Sunni, sampai pengaruhnya ke dalam Kerajaan Banjar.
Berdasarkan perkembangan pemikiran keagamaan yang sudah mendapat pengaruh Aceh, mengalami beberapa tahap perkembangan.
a) Faham dasar keagamaan yang mewarnai pemikiran keagamaan di dalam Kerajaan Banjar adalah yang berasal dari Jawa yaitu Demak atau Giri yang hanya menyangkut prinsip-prinsip dasar sesuai dengan ajaran Ahlus Sunah wal Jamaah dalam akidah dan faham Syafiiah dalam bidang hukum disertai dengan tasawuf akhlaq. Disini tidak terlihat tanda-tanda bahwa ajaran Kejawen turut masuk ke wilayah Kerajaan Banjar.
b) Faham mistik/sufisme yang berasal dari Hamzah Fansuri sudah memasuki praktik keagamaan di dalam Kerajaan Banjar beberapa saat setelah penduduk memeluk agama Islam dan sudah ada yang berangkat ke Aceh dalam rangka menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Faham ini tampaknya dominan sebagaimana terlihat pada Syekh Ahmad Syamsuddin Al Banjari yang ternyata sudah menggeluti persoalan tentang kejadian Nur Muhammad, salah satu prinsip dasar dari ajaran tasawuf wahdatul wujud.
c) Sebagai reaksi yang muncul di Aceh yaitu berkembangnya Faham sufisme dari Hamzah Fansuri, maka kelompok pemikiran Nuruddin Ar Raniri yang menentangnya juga mendapat simpati dari rakyat Kerajaan Banjar.
Nuruddin Ar Raniri lebih menekan pada faham Sunni dengan titik berat pada pengembangan hukum fiqih menurut mazhab Syafei. Kepedulian terhadap Faham Sunni dengan mazhab Syafei ini terbukti dengan dipergunakannya secara luas kitab “Sirathol Mustaqim” sebagai kitab pegangan di kalangan masyarakat dalam wilayah Kerajaan Banjar. Mengenai persoalan yang disebutkan terakhir dapat kita lihat dari apa yang diungkapkan oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari berkenaan dengan keberadaan Kitab Shirathol Mustaqim dalam masyarakat Kalimantan Selatan pada masa sebelum beliau. Disebutkan : “Bahwa kitab yang dikarang oleh seorang yang alim Syekh Nurruddin Raniri yang bernama As Shirathol Mustaqim yang berbicara tentang ilmu fiqih dalam mazhab Syafii adalah kitab yang terbaik dalam bahasa Melayu.
89 Abdurrahman, “Studi Tentang Undang-Undang Sultan Adam 1835: Suatu Tinjauan Tentang Perkembangan Hukum Dalam Masyarakat dan Kerajaan Banjar pada Pertengahan Abad ke-19”, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam,
Karena uraiannya terambil dari beberapa buah kitab fiqih yang terkenal dan lagi dicantumkan beberapa buah nas dan dalil. Karena itu, kitab tersebut banyak memberi manfaat kepada kaum muslimin dan dapat pula diterima oleh kaum muslimin dengan baik. Mudah-mudahan Allah selalu memberikan ganjaran pahala kepada penulisnya, pahala yang berlifat ganda dan memberikan tempat yang tinggi di dalam surga Firdaus diakhirat kelak. Kendatipun demikian bahasa yang dibawakan dalam Kitab itu banyak yang kurang jelas, sehingga menyulitkan bagi orang yang ingin mempelajarinya, karena bercampur dengan bahasa Aceh, bahasa yang tidak dimengerti oleh bukan yang bukan Aceh. Disamping itu pula beberapa tempat terdapat perubahan, sehingga berubah dari teks aslinya di ganti dengan kata-kata lain, dan pada tempat lain terdapat pula katakata yang hilang atau kurang. Ini semua mungkin karena ulahnya orang yang menyalin kurang menguasai masalahnya, karena itu tidak heran terdapat adanya perbedaan-perbedaan pada setiap naskah pada segi bahasa sehingga rusaklah susunan kalimatnya. Sedang naskah yang asli yang disandarkan kepada pengarangnya hampir tidak ditemukan lagi, sehingga sulit membedakan mana yang benar dan mana yang salah, melainkan orang yang mengetahui adalah orang yang menguasai ilmu fiqih. Sedang orang yang betul-betul yang menguasai ilmu fiqih tidak ditemukan di negeri ini pada masa ini, karena kurangnya perhatian, merosotnya pengetahuan dan pikiran orang yang bersimpang siur” Kutipan ini menggambarkan cukup akrabnya rakyat Kalimantan Selatan dengan Kitab karya Ar Raniri, hanya saja karena perkembangan masyarakat naskah yang disebarluaskan melalui salin menyalin menjadi cacat sedangkan mereka yang mengkaji masalah tersebut sudah tidak ada lagi. Uraian yang dikemukakan oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari tersebut di atas sedikit banyaknya memberikan gambaran kepada kita mengenai perkembangan hukum Islam pada masa awal dan pertengahan abad ke-18 sebagai uraian yang paling otentik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan uraian tersebut kami menarik
1. Kitab Ash Shirathol Mustaqim karangan Syekh Nurruddin Ar Raniri masih tetap dipakai sebagai referensi dalam bidang hukum Islam walaupun banyak masyarakat Banjar yang masih sulit memahami kitab tersebut mengingat di dalamnya banyak terdapat kata-kata sulit yang diambil dari bahasa Aceh.
2. Penyebaran kitab tersebut dalam masyarakat Banjar dilakukan melalui penyalinan sedangkan naskah asli yang semula berasal dari Syekh Nuruddin Ar Raniri sudah tidak bisa ditemukan lagi, artinya tidak ada lagi orang/ulama yang masih menyimpan naskah dari Kitab tersebut.
3. Naskah kitab Shirathol Mustaqim yang beredar dalam masyarakat pada waktu itu berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya sebagai akibat dari perbedaan dalam penyalinan dimana ada kata-kata yang hilang dan kalimat menjadi rusak, sehingga menimbulkan kesulitan dalam memahaminya.
4. Penyalin-penyalin naskah Kitab Ash Shirathol Mustaqim adalah kebanyakan orang yang kurang mengetahui masalah fiqih sehingga penyalinan dilakukan dengan cara semaunya. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan hukum Islam terutama dalam rangka penyebarannya banyak dilakukan oleh orang yang bukan ahlinya lagi karena orang yang ahli sudah tidak ada lagi. Pada saat ini menurut Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari sulit mencari orang yang betul-betul menguasai ilmu fiqih dalam masyarakat Kerajaan Banjar. Hal ini menunjukkan adanya kemunduran dalam perkembangan hukum Islam dibandingkan dengan masa sebelumnya.
5. Terjadinya kemunduran dalam perkembangan hukum Islam pada masa ini adalah karena kurangnya perhatian orang terhadap bidang tersebut. Hal ini mungkin disebabkan karena semakin meningkatnya perhatian orang terhadap bidang tasawuf yang dalam banyak hal sangat mengabaikan ketentuan-ketentuan hukum. Selain itu kemunduran ini disebabkan karena memang gejala umum dan adanya pemikiran yang bersimpang siur.90Menghadapi perkembangan hukum Islam di Kalimantan Selatan sebagaimana digambarkan di atas peranan dari Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari (Lahir 15 Safar 1122 H/19 Maret 1710 M dan wafat 6 Syawal 1227 H/13 Oktober 1812) sebagai ulama dan ahli hukum Islam di daerah ini. Melalui jasa beliau telah dilakukan pengembangan kembali hukum Islam baik melalui penulisan kitab dan risalah agama, da’wah dan pendidikan agama dan pencetakan kader yang akan mengembangkan pelaksanaan hukum-hukum Islam.
3. Tokoh-tokoh Ulama Sufi yang Hidup di Kerajaan Banjar
Satu hal yang menarik dalam perkembangan agama Islam dalam Kerajaan Banjar adalah menyangkut perkembangan tasawuf sebagai dimensi mistis dari ajaran Islam yang cukup dominan mempengaruhi hidup keagamaan di daerah kerajaan ini.
Tokoh-tokoh sufi itu adalah :
a. Syekh Ahmad Syamsuddin Al Banjari
Riwayat tokoh ulama sufi ini tidak banyak diketahui, hanya yang diketahui bahwa ulama ini adalah seorang Banjar yang tinggal di ibu
90 Abdurrahman, ibid., hal. 74-75.
Pangeran Tapesana menjabat sebagai Mangkubumi kerajaan. Naskah itu ditulis pada tahun 1668 dan pernah ditemukan oleh seorang orientalis R.O. Winestedt di Jakarta.
b. Syekh Muhammad Nafis Bin Idris Al Banjari
Syekh Muhammad Nafis terkenal karena karya beliau Ad Durrun Nafis sebuah kitab tasuf minimal di kawasan Asia Tenggara. Tetapi siapa Syekh Muhammad Nafis ini, sulit diketahui siapa sebenarnya tokoh ini. Beberapa penulis sejarah berbeda pendapat tentang tokoh ini. Diantara pendapat itu adalah : Amir Hasan Kiai Bondan, mengatakan bahwa Syekh Mohammad Nafis itu adalah Pangeran Haji Musa bin Pangeran Muhammad Nafis, cucu dari Ratu Anum Kusumayuda, seorang bangsawan Banjar.91 H. Gusti Abdul Muis mengatakan bahwa Syekh Muhammad Nafis bin Ideris bin Husein Al Banjari, dilahirkan di salah satu desa di Martapura dari keluarga bangsawan Kerajaan Banjar. Pendapat lain mengatakan bahwa Syekh Muhammad Nafis bin Ideris bin Husein Al Banjari lahir di Martapura dari keluarga Kerajaan Banjar, beliau hidup semasa dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dan Syekh Abdul Hamid Abulung. Beliau memperoleh pendidikan di Mekkah, selama di Mekkah itulah beliau menulis kitab Ad Durrun Nafis. Syekh Muhammad Nafis dikuburkan di Desa Binturu Kelua, tetapi sebagian mengatakan kuburnya di Lasung, Kecamatan Kusan Hulu. Syekh Muhammad Nafis mengarahkan da’wahnya di daerah Kelua dan sekitarnya pada abad ke- 18 dan 19 dan Kelua saat itu merupakan pusat penyiaran Islam di bagian utara dari Kerajaan Banjar.92 Dalam kitabnya Ad Durrun Nafis, beliau tidak banyak menjelaskan tentang siapa beliau sendiri. Hanya dapat diketahui bahwa dalam beberapa penerbitan tentang kitab beliau, tertulis dengan jelas nama beliau ialah Syekh Muhammad Nafis Bin Ideris Bin Husein Al Banjari. Dalam kitab Ad Durrun Nafis disebutkan bahwa : “Dan yang menghimpun risalah ini hamba faqir lagi hina mengaku dengan dosa dan taqahir, lagi yang mengharapkan kepada Tuhannya yang amat kuasa, yaitu yang terlebih faqir dari pada segala hamba Allah Taala yang menjadikan segala makhluk, yaitu Muhammad Nafis bin Ideris bin Husein, dinegeri Banjar tempat jadi, dan dinegeri Mekkah tempat diamnya, Syafei akan mazhabnya yaitu pada fiqih, A’syari i’tiqadnya yaitu pada ushuluddin, Junaid ikutannya, yaitu pada ilmu tasawuf, Qadiriyah thariqatnya, Syathariyah pakaiannya, Naqsyabandiyah amalannya, Khalwatiyah pakaiannya, Samaniyah minumannya”.
91 Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan, Fadjar,
Syekh Muhammad Nafis bin Ideris bin Husein Al Banjari mendapat gelar kehormatan dengan “Maulana Al Allamah Al Fahamah al Mursyid ila Thariqis Salamah”. Beliau semasa hidup bersahabat dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari pengarang kitab Sabilal Muhtadin. Syekh Muhammad Nafis seorang sufi di zamannya namun beliau adalah orang yang tidak suka meninggikan diri; ini ternyata dalam tulisannya yang mengakui diri, “seorang faqir yang hina, semiskin-miskin hamba Allah”. Syekh Muhammad Nafis berusaha membersihkan diri zahirnya dan batinnya dengan rajin mengamalkan sekalian thariqat yang telah disebutkannya.
Pengetahuan kesufian itu dia peroleh dengan berguru kepada banyak tokoh sufi, diantaranya :
a. Syekh Abdullah bin Hijaz As Syarqawi
b. Syekh Shiddiq bin Umar Khan
c. Syekh Muhammad bin Abdul Karim Saman al Madani
d. Syekh Abdul Rahman bin Abdul Azis al Maghribi
e. Syekh Muhammad bin Ahmad al Jauhari.
Setelah beliau diakui oleh semua gurunya bahwa dia diperbolehkan mengajar ilmu-ilmu batin dengan beberapa thariqat yang telah dianggap beliau “Syekh Muursyid”nya maka berusahalah Syekh Muhammad Nafis bin Ideris bin Husein Al Banjari mengajak manusia mentauhidkan Allah.93 Syekh Muhammad Nafis diperkirakan lahir pada tahun 1160 H atau 1735 M yaitu hidup pada masa pemerintahan Kerajaan Banjar yang dijabat oleh Sultan Tamjidillah, Sultan Tahmidillah dan Sultan Suleman. Setelah memperoleh pendidikan di daerahnya dia melanjutkan pendidikan di Mekkah al Mukarramah. Pada waktu di Mekkah itulah atas permintaan beberapa sahabatnya ia menulis kitab Ad Durrun Nafis pada tahun 1200 H atau 1782 M. Setelah itu beliau kembali ke Martapura dan menyampaikan da’wahnya di tengah-tengah masyarakat warga Kerajaan Banjar. Dalam aktivitas da’wahnya dia banyak menjalankan pengajian ke daerah terpencil yang mempunyai kedudukan strategis dalam perkembangan Islam, tetapi yang terbanyak waktu yang disediakannya adalah didaerah Kelua. Beliau meninggal dan dikuburkan di Haurgading, kampung Takulat, dan sekarang menjadi Desa Binturu Kecamatan Kelua. Karyanya yang paling monumental dan dikenal luas di Asia Tenggara adalah kitab yang judul lengkapnya berbunyi : Ad Durrun Nafis Fi Bayani Wahdatil Af’al Wa Asma Wa Sifati Wa Zati Taqidisi, yang artinya Permata yang Indah yang Menjelaskan tentang Keesaan Af’al, Asma, Sifat dan Zat Yang Maha Suci, yang dikalangan masyarakat luas dikenal dengan kitab Ad Durrun Nafis.
93 Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara, Al Ikhlas,
Kitab ini sampai sekarang banyak dipergunakan sebagai kitab yang dipelajari masyarakat untuk bidang ilmu tasawuf. Menurut Ensiklopedia Islam, naskah asli dari Ad Durrun Nafis sampai sekarang belum ditemukan. Yang tertua dari penertiban kitab ini diterbitkan pada tahun 1313 H yang dicetak oleh Mathba’ah al Karim al Islamiyah di Mekkah. Pada terbitan tahun 1323 H termuat pada tepi Kitab Hidayat al Salikin fi suluki Maslaki al Muttaqien karangan Syekh Abdussamad al Palimbani. Pada tahun 1343 diterbitkan oleh percetakan Mustafa Babi al Halabi wa Auladihi di Mesir dan pada tahun 1347 H dicetak oleh Dar al Taba’ah al Mishriyah juga di Mesir. Setelah itu terus menerus dicetak di Singapura dan terakhir di
94 Hawash Abdullah, ibid., hal. 112.
c. Syekh Abdul Hamid Abulung
Tidak banyak diketahui tentang kapan dia lahir, tetapi yang jelas masa hidupnya adalah semasa dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dan Syekh Mohammad Nafis. Syekh Abdul Hamid membawa ajaran tasawuf yang tidak umum di daerah ini. Kalau syekh Mohammad Nafis membawa ajaran-ajaran dari aliran Wahdatul Wujud yang dipelopori Ibnu Arabi, tetapi ajaran itu disublimasikannya dengan ajaran tauhid, karena itulah bagi orang awam sulit untuk dapat memahaminya. Ajaran Wahdatul Wujud dibawa ke
95 M. Laily Mansyur, Kitab Ad-Durun Nafis: Tinjauan Atas Suatu Ajaran Tasawuf, Hasanu,
Dengan demikian di Kerajaan Banjar yang paling banyak pengikutnya adalah Tasawuf Sunni (Tasawuf ahlus sunnah wal Jamaah) meskipun Tasawuf Wahdatul Wujud pernah juga berpengaruh didaerah ini. Tasawuf Sunni adalah tasawuf yang mengajarkan tentang kebersihan diri rohani dan jasmani dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Dasar utama tasawuf Sunni adalah Al Qur’an dan al Hadits dan di dalam amaliyahnya berpedoman kepada amaliyah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah, Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in. Salah satu pokok ajarannya ialah bahwa Tuhan sebagaimana yang diajarkan oleh Imam Asy’ari dan Maturidi, dimana dibedakan secara tegas antara Khaliq dan mahluk. Tauhid, Fiqih dan Tasawuf adalah tiga aspek dari ajaran Islam yang tidak terpisah dan saling menguatkan antara satu dengan lainnya secara harmonis dan diamalkan secara terpadu. Faham Wahdatul Wujud atau serba Tuhan (pantheisme) ialah Faham yang menganggap bahwa manusia dan dunia atau manusia dan Tuhan itu menjadi satu, tidak terpisah dalam kehidupan rohani yang tinggi (fana). Banyaklah ucapan-ucapan yang ekstrem seperti : ‘ainul jama’ (menjadi satu dengan Dia) seperti yang selalu dikhotbahkan oleh Abu Yasid al Bisthomi, dan kata-kaa hulul (Tuhan turun ke dalam diri manusia) yang diajarkan dan dipertahankan oleh Husein bin Mansyur Al Hallaj). Prinsip pokok falsafahnya seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi : “Maha Suci Tuhan Yang Menciptakan segala sesuatu, yang Dia sendiri adalah zat sesuatu itu”, merupakan prinsip kesatuan wujud. Faham Wahdatul Wujud Ibnu Arabi sampai kepada kesimpulan Faham “Wihdatul Adyan”. yakni bahwa “Dia adalah sesuatu yang disembah adalah salah satu dari tempat Tuhan menyingkapkan Dirinya. Inilah yang dimaksudkan Ibnu Arabi dengan agama cinta, agama universal atau jiwa agama besar.97Kalau Syekh Ahmad Syamsuddin Al Banjari, riwayat hidupnya dan bahkan makamnya tidak diketahui, sedangkan Syekh Muhammad Nafis makamnya sempat diragukan tempatnya, maka makam Syekh Abdul Hamid Abulung makamnya jelas tempatnya. Beliau dimakamkan di desa Abulung-Sungai Batang Martapura-Kabupaten Banjar.
97 Gusti Abdul Muis, “Tasawuf Sunni”, Makalah Seminar Pengajian Tasawuf di Kalimantan,
d. Datu Sanggul
Tokoh sufi yang keempat yang pernah hidup dalam masa Kerajaan Banjar adalah Datu Sanggul. Datu Sanggul adalah nama panggilan sedangkan nama sebenarnya tidak diketahui dengan jelas. Menurut penuturan beberapa tetua dari desa Tatakan (Kecamatan Tapin Selatan-Kabupaten Tapin), bahwa Datu Sanggul itu adalah seorang pendatang dari
98 Abdurrahman, Sejarah…, op. cit.
Sebagai sumber sejarah cerita seperti ini besar sekali artinya dan harus dikaji lebih mendalam dengan memperbandingkan dengan sumber-sumber lain dan dengan multi analisa untuk dapat memahami apa sebenarnya yang terjadi dibalik cerita itu. Tetapi yang jelas Datu Sanggul adalah tokoh seorang sufi yang pernah hidup dalam Kerajaan Banjar sezaman dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.
4. Faham Ahlussunah Waljamaah di Kerajaan Banjar
Secara umum yang dimaksud dengan Faham ahlussunnah Wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengamalkan apa yang telah diamalkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Orang-orang yang mengamalkan segala ajaran Nabi Besar Muhammad saw disebut ahlussunah karena mereka berpegang teguh dan mengikuti sunnah Nabi saw. Mereka juga disebut al Jama’ah karena bersatu di atas alhaq atau kebenarannya. Mereka tidak berselisih dalam agama. Mereka berkumpul pada imam al haq dan mereka juga mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan para salaf.
99 Nashir Abdul Karim Al-Aql, Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlussunah wal Jamaah, Gema Insani Press,
Secara umum disebut sebagai Kaum Sunni, kependekan dari Ahlussunah wal Jamaah, orang-orangnya di sebut Sunniyan. Pada masa Kerajaan Banjar i’tiqad Ahlussunah wal Jamaah merupakan i’tiqad yang dipegang teguh dan dikukuhkan kemudian dalam Undang-undang Sultan Adam, seperti yang tertera dalam Perkara pertama dari undang-undang itu : “Adapun perkara yang pertama aku suruhkan sekalian ra’yatku laki-laki dan bini-bini beratikat ahlal sunat waljamaat dan jangan ada seorang ber’itiqad lain dari i’tiqad ahlal sunat waljamaah kusuruh bapadah kapada hakimnya dan hakim itu mamariksa lamun banar salah i’tiqad yang betul lamun anggan inya dari pada tobat bapadah hakim itu kayah diaku”. Pasal ini jelas sekali ketetapannya bahwa bagi setiap penduduk dalam wilayah Kerajaan Banjar laki-laki atau perempuan untuk berpegang pada i’tiqad Ahlussunah wal Jammah. I’tiqad ini adalah ajaran atau faham yang dirumuskan oleh Imam Abu Hasan al Asy’ari dan Imam Abu Mansur al Maturidi. Dalam bidang syariat jelas Kerajaan Banjar berpegang pada Mazhab Imam Syafei. Jadi Ahlussunah wal Jamaah yang menjadi pegangan dalam masa Kerajaan Banjar adalah i’itiqadnya menurut rumusan Hasan al Asy’ari dan Abu Musa al Maturidi, sedangkan dalam bidang fiqih atau bidang syariat berpegang pada mazhab Imam Syafei. Hal ini terlihat dalam ketegaran hukum yang diberlakukan bagi rakyat dalam wilayah Kerajaan, dalam perkara
5. Riwayat Hidup Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
Dari kurun waktu masa hidup beliau sebagaimana tercatat pada berbagai riwayat hidup kita dapat membaginya dalam tiga babakan :
a. Masa kecil dan menuntut ilmu di kampung halaman selama kurang lebih 30 tahun. Pada masa ini masih belum ada karya beliau yang dapat ditonjolkan baik bagi perkembangan agama Islam pada umumnya dan perkembangan hukum Islam pada khususnya. Sebagian besar hidup beliau dilakukan di lingkungan istana.
b. Masa menuntut ilmu ditanah suci (Mekkah dan Madinah) kurang lebih 35 tahun lebih banyak berupa usaha pendalaman dan pengkajian berbagai bidang ilmu termasuk ilmu hukum Islam. Sekalipun beliau berada di tanah suci hubungan dengan daerah rupanya tidak pernah putus seperti umpanya terbukti dengan diskusi beliau kepada guru-gurunya mengenai masalah sembahyang Jumat dan pungutan pajak yang dilakukan oleh Sultan. Namun sayangnya data mengenai hal tersebut tidak pernah diketemukan lagi.
c. Masa penerapan ilmu yang mencakup tidak kurang dari 40 tahun (perhitungan tahun umumnya dilakukan orang menurut tahun hijrah) sebagai masa yang mempunyai pengaruh besar bagi perkembangan hukum Islam didaerah ini.
101Beliau dilahirkan dari seorang ayah Abdullah dan ibu Siti Aminah di desa Lok Gabang, sebuah desa dalam wilayah kerajaan Banjar, 12 km dari Martapura pada tahun 1710 M, atau 15 Safar 1122 H., pada masa pemerintahan Sultan Hamidullah (1700-1734) yang bergelar Sultan Kuning. Karena budi pekertinya yang baik dan menunjukkan tanda-tanda kecerdasannya, beliau dipelihara oleh Sultan sebagai anak angkat. Oleh Sultan, Mohammad Arsyad dikirim ke Mekkah untuk memperdalam pengetahuan agama, dan belajar di
101 Abdurrahman, Sejarah..., op.cit. 102 A. Gazali Usman, op.cit., hal. 56.
Syayid Abu Bakar ini kemudian menyebarkan agama Islam di Brunei Darussalam,
103 Muhammad Shagir Abdullah, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary Matahari Islam, Yayasan Pendidikan dan Dakwah Islamiyah, Al Fatanah, Kuala Mempawah, 1983, hal. 8. 104 Muhammad Shaghir Abdullah, op.cit., hal.6.
Dalam perjalanan pulang ke tanah air, beliau sempat singgah ke Jakarta dan melakukan pembetulan arah kiblat beberapa masjid dan ini terjadi pada masjid Jembatan Lima menurut memori yang dibuat pada tanggal 4 Safar 1186 H bersamaan dengan 7 Mei 1772.106 Beliau baru sampai ke Kerajaan Banjar, tanah air beliau Martapura pada bulan Ramadhan 1186 H atau Desember 1772. Sehingga ada sekitar tujuh bulan berkeliling baru sampai di
105 Yusuf Khalidi, Ulama Besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al Banjari, Al Ihsan,
Karangan itu antara lain ialah :
(1) Ushuluddin, yang berisi sifat-sifat Tuhan semacam pelajaran Sifat Dua Puluh yang umum sekarang.
(2) Luqthatul ‘Ajlan, berkenaan dengan sifat perempuan yang mengalami masa haid yang bertalian dengan masalah ibadah.
(3) Kitab Faraidh, yang berhubungan dengan masalah warisan dan cara pembagiannya.
(4) Kitabunnikah, berisi tentang pengertian tentang wali dan bagaimana cara akad-nikah.
(5) Kitab Tuhfaturraghibien, berisi penjelasan menurut para Ahlussunah wal Jamaah untuk menghapus kebiasaan yang menyebabkan orang tergelincir kearah syirik dan murtad.
(6) Qaulul Mukhtashar, berisi tentang penjelasan tanda-tanda akhir zaman dan tanda-tanda datangnya Imam Mahdi.
(7) Kitab Kanzul Ma’rifah kitab yang membahas masalah Tasawuf.
(8) Sabilul Muhtadin Lit-Tafaqquh Fi Amriedien, Kitab Fiqih dalam bahasa Melayu, huruf Arab yang sangat mendalam disertai berbagai masalah-masalah sulit.
Kitab Sabilal Muhtadin, ditulis atas permintaan Sultan Tahmidullah (Pangeran Nata Dilaga, Nata Alam) bin Sultan Tamjidillah. Kitab tersebut ditulis pada tahun 1193 H dan selesai pada tahun 1195 H (1779-1780), baru dicetak untuk pertama kali dengan serempak pada tahun 1300 H (1882 M) di Mekkah, Istambul dan Kairo. Kitab ini sangat terkenal di seluruh Asia Tenggara seperti Philipina, Malaysia, Singapura, Thailand, Indonesia, Brunei Darussalam, Kampuchea, Vietnam dan Laos, karena kaum Muslimin di daerah-daerah tersebut masih menggunakan bahasa Melayu.108Menurut Pengetua Pusat Sejarah Negara Brunei Darussalam YDM Pehin Orang Kaya Amar Diraja Dato Seri Utama Dr. Awang H.M. Jamil Al Sufri, yang disertai oleh stafnya Dayyangku Hajjah Rosnah binti Pengiran Bakar dan Dayyang Jamaliah binti H. Abdul Latif, menjelaskan bahwa Kitab Sabilal Muhtadin sampai sekarang dipakai di Negara Brunei Darussalam untuk orang belajar Fiqih dan penyebar agama Islam di Brunei adalah cucu dari Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, dan buyut beliau menjadi penyebar Islam di Philipina.109Cucu Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, Ustadzah Fatimah telah menyusun Kitab Perukunan Besar, yang berisi cara-cara ibadah, rukun sembahyang, puasa. Kitab ini tersebar sampai sekarang di seluruh
107 Abu Daudi, ibid., hal. 45. 108 M. Asywadie Syukur, Kitab Sabilal Muhtadin, PT. Bina Ilmu,
Selain itu dari penelitian yang dilakukan oleh IAIN Antasari Banjarmasin menyebutkan masih ada lagi karya tulis Syekh Arsyad yang berjudul “Fathul Rahman bin Syarh Risalat al Ruslan” sebagai komentar tulisan Syekh Zakaria al Anshari.110 Di samping tulisan langsung masih ada lagi tulisan yang dibuat oleh keturunan beliau, Abdurrahman Shidiq dalam tulisan beliau111 menyebutkan bahwa salah seorang cucu beliau Fatimah binti Syarifah binti H. Abdul Wahab Bugis binti Maulana Syekh Muhammad Arsyad lebih tepat saudara sebapa dari Mufti H. Muhammad Arsyad yang kemudian menjadi guru perempuan dan menterjemahkan suatu kitab Melayu tentang fiqih yang dinamakan “Perukunan Besar” yang dicetak penerbit Mekkah Nursyarafah dan dinamakan Parukunan Jamaluddin.
113Dilihat dari tulisan-tulisan beliau tersebut maka karya tulisnya diarahkan pada empat sasaran, yaitu :
(1) Karya yang ditujukan kepada orang awam yaitu semacam pelajaran praktis. Hal ini tampak seperti ditulisnya ajaran-ajaran beliau oleh Fatimah binti Abdul Wahab Bugis dengan nama “Parukunan Basar” yang kemudian disebut sebagai “Parukunan Jamaluddin” sebagai pelajaran ibadah orang awam.
(2) Karya-karya yang ditujukan untuk orang yang terpelajar dan karenanya disusun dengan menggunakan dalil-dalil yang terperinci dan pendapat para ulama. Sebagai contoh dalam hukum ialah kitab “Sabilal Muhtadin” dan kitab “Luqthatul Ajlam” walaupun antara dua kitab tersebut terlihat adanya beberapa duplikasi.
(3) Karya-karya yang diajukan kepada orang alim yang menguasai bahasa Arab. Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab misalnya “Hasyiah Fathil Jawaad” yang merupakan komentar dari kitab “Fathul Jawaad” yang ditulis oleh Syekh ibn Hajar al Haitami. Adanya tulisan seperti ini menunjukkan keterlibatan beliau seperti lazimnya ulama masa itu untuk meringkas, memperluas, memberi komentar atau catatan pinggir terhadap kitab-kitab ulama pendahulunya.
110 IAIN Antasari, “Laporan Hasil Seminar Sehari Pemikiran-Pemikiran Keagamaan Syekh Muhammad
(4) Karya-karya yang ditujukan kepada para pejabat petugas agama sebagai petunjuk pelaksanaan secara teknis, seperti misalnya “Kitabun Nikah” dan “Kitabul Faraidh” yang merupakan petunjuk teknis menyelenggarakan pernikahan dan pembagian waris di kalangan umat Islam. Ciri khas dari karya ini adalah pendek, tegas dan tidak mencantumkan dalil-dalil atau pendapat ulama yang dijadikan referensi.
114Tidak semua karya tulis beliau dapat diketemukan lagi pada masa sekarang dan masih ada pula yang diperdebatkan lain seperti kitab Tahfatur Raghibin. Diantara karya-karya beliau tersebut alah Kitab Hukum Islam/Fiqih yang berjudul Sabilal Muhtadin fi afaqquhi fi amri din yang menurut pengantarnya ditulis atas permintaan Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidillah. Kitab ini mulai ditulis pada tahun 1193 H (1779 M) yang berisi uraian mengenai masalah fiqih bidang ibadat. Diperkirakan menurut rencana semula sebagaimana dapat kita tangkap pada bagian pendahuluannya kitab ini paling tidak akan terdiri atas 4 bagian sebagaimana lazimnya kitab-kitab fiqih yang beredar pada masa lampua yaitu bagian ibadah, muamalah, munakahat dan jinayat. tetapi sampai akhir hayat beliau yang rampung dan beredar terdiri atas 2 jilid besar dan hanya membicarakan tentang ibadah semata. Mungkin beliau hanya mencukupkan uraiannya sampai di
(1) Untuk isi pengajarannya yang disampaikan secara lisan fatwa dan penyelesaian kasus yang beliau berikan umumnya diingat dan atau dicatat oleh para murid atau orang yang meminta fatwa/pendapat tersebut. Mungkin dalam persoalan semacam inilah yang kemudian dicatat/ditulis dalam kitab Parukunan Jamaludin dan Parukunan Abdurrasyid. Sedang selebihnya hidup sebagai pendapat umum di kalangan masyarakat Banjar.
114 Abdurrahman, “Studi…, op.cit., hal. 77; M. Asywadie Syukur, loc.cit.
(2) Untuk hal-hal yang bersifat luar biasa umumnya sudah tercatat dalam sejarah Islam di Kalimantan Selatan sebagai sesuatu yang sudah populer seperti misalnya tindakan beliau membetulkan arah kiblat Masjid Luar Batang dan Masjid Jembatan Lima Jakarta, tindakan beliau untuk memfasakh perkawinan anak beliau Syarifah dengan Usman karena beliau sudah mengawinkannya dengan Abdul Wahab Bugis di Tanah Suci, fatwa hukuman mati yang diberikannya terhadap H. Abdul Hamid Abulung yang menganut tasawuf aliran wahdatul wujud, dan lain sebagainya.
Pembentukan Pusat pendidikan dan pengembangan agama Islam yang dimaksudkan sebagai penyiapan kader-kader ulama terutama dikalangan keturunan beliau sendiri. Setelah perkawinan beliau dengan Ratu Aminah, cucu Sultan Tamjidillah bin Sultan Tahmidillah oleh Sultan kepada beliau diberi sebidang tanah yang kemudian dibuka sebagai pusat kegiatan pendidikan yang kemudian dikenal sebagai daerah “Dalam Pagar”. Disinilah unutk pertama kali dikenal suatu pusat pendidikan Islam yang mirip sebagai pesantren pada masa sekarang walaupun pada masa itu kita belum mengenal adanya istilah Pesantren. Dari sinilah kemudian lahir sejumlah ulama besar dan terkenal yang kemudian menyebar keseluruh penjuru Kalimantan bahkan juga sampai ke luar Kalimantan seperti
115 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di
Pengaruh lebih jauh dari pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dalam bidang hukum muncul secara konkrit ketika Sultan Adam Al Wasik Billah yang memerintah di Kerajaan Banjar (1825-1857) yang diperkirakan pada masa mudanya pernah menjadi murid dari Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari menetapkan suatu ketentuan hukum yang sampai sekarang dikenal dengan nama “Undang-undang Sultan Adam” pada tanggal 15 Muharram 1251 (1835). Dalam penyusunan Undang-undang ini peranan dari kelompok ulama sangat besar sekali. Bahkan dalam salah satu pasal dari Undang-undang ini Sultan dengan tegas menyatakan sekalian Kepala jangan ada yang menyalahi fatwa Haji Jamaluddin (pasal 31) . Mufti Haji Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari adalah Mufti Kerajaan pada saat itu dan beliaulah yang namanya dipergunakan dalam penulisan kitab “Parukunan Besar” yang juga dikenal sebagai “Perukunan Haji Jamaluddin”. Hanya saja tidak diketahui apa sebenarnya fatwa Haji Jamaluddin yang tidak boleh disimpangi itu. Hal ini masih harus diteliti lebih jauh.118Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari wafat pada 6 Syawal 1227 H dalam usia 105 tahun bertepatan dengan 13 Oktober 1812. Dimakamkan di desa Kalampayan, hingga terkenal dengan sebutan Datu Kalampayan. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar