Senin, September 01, 2008

Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Banjar (Bag. 6)


a. Pemikiran-Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari di Bidang Akidah Islam

Dalam kajian yang merupakan hasil Seminar Sehari tentang Pemikiran-Pemikiran Keagamaan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari di IAIN Antasari Banjarmasin tanggal 17 November 1988 dirumuskan bahwa Pemikiran-Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari itu meliputi :

- Pemikiran dalam bidang aqidah Islam,

- Pemikiran dalam bidang syari’at, dan

- Pemikiran dalam bidang da’wah Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dalam bidang Akidah Islam terlihat dengan jelas dalam usaha beliau untuk memurnikan akidah Islam dari kepercayaan lama yang dalam ajaran agama Islam termasuk bid’ah dhalalah.

Disamping itu beliau berusaha untuk menegakkan Ahlus sunah wal Jamaah dalam bidang akidah dengan melarang ajaran wujudiyah dan berhasil meyakinkan Sultan Nata lam bahwa aliran Wahdatul Wujud itu bertentangan dengan faham Ahlussunah wal Jamaah.

117 Menurut J. Eisenberger, Kroniek der Euider en Oosterafdeeling van Borneo, Lim Hwat Sing, Banjarmasin, 1936, hal. 16. 118 Abdurrahman, “Studi…, loc.cit.

Ada beberapa karya tulis yang dianggap sebagai sumber dalam menggali dan memformulasikan pemikiran-pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari di bidang akidah Islam, antara lain adalah :

1) Tuhfat al-Ragibin fi Bayani Haqiqat Iman al Mu’min Wama Yufsiduh min Riddat al Murtaddin

Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari hidup dalam abad ke- 18 dan awal ke-19 dalam wilayah Kerajaan Banjar yang sekarang menjadi wilayah Kalimantan Selatan. Meskipun agama Islam telah tersebar luas di kalangan masyarakat Kerajaan Banjar sejak abad ke- 16, tetapi sisa-sisa kepercayaan lama masih melekat dan hidup di kalangan masyarakat sampai abad ke-18 pada masa Syekh Muhammad Arsyad hidup. Bahkan sampai sekarangpun sisa-sisa kepercayaan lama itu masih ada di beberapa tempat tertentu. Kepercayaan itu bukan berasal dari agama Islam bahkan bukan membahayakan iman kaum muslimin yang mengerjakannya. Justru itu Syekh Muhammad Arsyad berusaha keras memberantasnya, demi memurnikan akidah Islam dari faham-faham bid’ah. Diantara upacara tradisional yang mendapat perhatian khusus dari Al Banjari dalam kitab Tuhfat al Ragribin adalah Upacara Menyanggar dan Membuang Pasilih. Upacara itu dilakukan dengan cara memberi sesajen atau ancak yang berisi bermacam wadai dan dipersembahkan untuk ruh-ruh gaib, hantu-hantu itu dapat memberikan pertolongan seperti menyembuhkan penyakit, membuang sial dan mengabulkan segala macam permintaan mereka. Komunikasi dengan ruh-ruh itu dilakukan oleh seorang dukun atau balian dengan cara kesurupan, dimana jasadnya dimasuki ruh halus yang telah menerima sesajen tersebut. Menurut Al Banjari kedua upacara itu, Menyanggar dan Membuang Pasilih hukumnya bid’ah dhalalah, bid’ah yang menyesatkan. Pelakunya harus segera bertobat.

Ada tiga kemungkaran menurut Al Banjari yang terdapat dalam kedua upacara itu :

1) Membuang-buang harta pada jalan yang diharamkan. Orang mubazir adalah teman syaitan dan Al Banjari merujuk kepada Al Qur’an surat Al Isra : 27.

2) Mengikuti syaitan dalam memenuhi segala permintaannya. Larangan mengikuti syaitan itu banyak sekali ditemukan di dalam Al Qur’an. Al Banjari merujuk beberapa ayat antara lain Al Baqarah : 208 ; Al-Nisa : 119 ; Fathir : 6, Yasin : 60.

3) Mengandung syirik dan bid’ah.

Sehubungan dengan ini Al Banjari memperinci hukum yang dikenakan kepada pelakunya sebagai berikut :

a. Bila diyakini bahwa tidak tertolak bahaya kecuali melalui kedua upacara itu yaitu dengan kekuatan yang ada pada upacaa itu, maka hukumnya kafir.

b. Bila diyakini bahwa tertolaknya bahaya adalah karena kekuatan yang diciptakan Allah pada kedua upacara itu maka hukumnya bid’ah lagi fasik, tetapi tetap kafir menurut para ulama.

c. Bila diyakini bahwa kedua upacara itu tidak memberi bekas baik dengan kekuatan yang ada padanya atau kekuatan yang dijadikan Tuhan padanya, tetapi Allah jua yang menolak bahaya itu dengan memberlakukan hukum kebiasaan dengan kedua upacara tersebut, maka hukumnya tidak kafir, tetapi bid’ah saja. Namun bila diyakini kedua upacara itu halal atau tidak terlarang maka hukumnya kafir.

Penjelasan yang menarik dalam Tuhfat al Ragribin itu tetang Upacara Menyanggar dan Membuang Pasilih itu yang berbentuk dialog. Untuk membenarkan perbuatan mereka itu, mereka mengatakan bahwa yang diberi makan itu adalah manusia-manusia yang gaib (tidak mati) pada zaman dahulu dari halnya raja-raja Banjar. Mereka diberi makan dengan bermacam makanan yang disajikan, sehingga tidak mubazir. Dengan ini kami minta ditolong supaya dapat mengatasi kesulitan yang dihadapi. Hal itu sama dengan memberi makanan kepada manusia yang hidup untuk minta bantuannya dalam kehidupan ini. Al Banjari menjawab bahwa alasan mereka itu sebagai berikut : Alasan seperti itu tidak berdasarkan keterangan Al Qur’an, Hadits atau pendapat para ulama, tetapi hanya berdasarkan mitos saja yang tidak bisa dipegang oleh umat Islam dalam keyakinannya. Justru karena itu tidak boleh dikerjakan meskipun sajen yang diberikan atau diletakkan dalam ancak di makan oleh manusia atau binatang, maka tetap hukumnya haram dan bid’ah karena mubazir dan bid’ahnya. Jika mereka beralasan bahwa dasarnya berasal dari mitos atau dari orang yang berhubungan dengan manusia gaib itu, maka kedua dasar itupun tidak beralasan dan tidak dapat diterima. Mitos tidak bisa disajikan dalil-dalil keyakinan, sedangkan yang menyarung atau menyusupi dukun tersebut adalah syaitan yang selalu membisikkan hal-hal yang negatif bagi agama. Sebab hanya malaikat dan syaitan yang menyarungi manusia. Malaikat selalu membisikkan yang baik-baik menurut agama, kebalikannya syaitan selalu membisikkan yang jahat atau bertentangan agama. Jika mereka mengatakan bahwa yang mereka beri makan itu syaitan juga, tetapi memberi makan kepada syaitan itu seperti memberi makan anjing, jadi suatu perbuatan yang mubah. Dijawab oleh Al Banjari bahwa alasan itu pun tidak logis, karena yang dikatakan itu tidak sesuai dengan yang ada dalam hati dimana mereka sangat menghendaki kepada syaitan-syaitan itu dengan bukti memberikan sesajen tersebut yang penuh dengan keindahan dan makanan-makanan istimewa. Upacara Manyanggar dan Membuang Pasilih hanyalah sebagai contoh yang disebutkan oleh Al Banjari dari sekian banyak upacara yang sifatnya tidak berbeda. Al Banjari menyerukan kepada pihak raja-raja dan para pembesar kerajaan agar menghilangkan upacara-upacara tersebut dari masyarakat Islam di dalam wilayah Kerajaan Banjar.

2) Al Qaw al-Mukhtasar fi’Alamat alMahd al’Muntashar

Risalah ini ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari pada tahun 1196 H sampai kini berbentuk manuskrip dalam pemeliharaan Ahmad Nawawi ibn al Haj Ibrahim al Qadhi Al Banjari al Kayutangi, sebagaimana tertera dikulitnya.

3) Kitab Parukunan

Dalam edisi yang diterbitkan oleh Dar Ihya al Kutub al Arabiyyah Mekkah-Mesir tahun 1912 tertulis bahwa kitab ini disusun oleh Mufti Jamaluddin ibnu Muhammad Arsyad Mufti Banjar, dan ditashih oleh Syekh Abdullah ibnu Ibrahim Langgar al Qadhi dan Syekh Abdurrasyid ibnu Isram Panangkalaan Amuntai Al Banjari, bahwa kitab ini ditulis oleh Fatimah binti Abdul Wahab Bugis, cucu Al Banjari. Tetapi karena tawadhunya, ditulis bahwa yang menyusun kitab ini adalah pamannya Syekh Jamaluddin ibn Al Banjari.

4) Parukunan Basar

Kitab ini merupakan versi lain dari Kitab Parukunan. Kitab inipun menurut beberapa penulis, juga ditulis oleh Fatimah binti Abdul Wahab Bugis. Semua kitab ini tertulis dalam bahasa Melayu-Banjar dan dengan huruf Arab Melayu, yang saat itu merupakan huruf yang dipakai dalam kalangan sangat luas diseluruh Kerajaan Islam di Asia Tenggara. Ketiga kitab terakhir ini berisi tentang konsep tentang iman, konsep tentang memfungsionalisasikan iman dalam kehidupan, pemurnian akidah, menegakkan ahlussunah wal Jamaah, konsep Faham ahlussunnah wal Jamaah secara luas. Kesimpulan yang dikemukakan oleh Tim Pengkajian Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari antara lain bahwa, pemurnian akidah dengan memberantas upacara-upacara tradisional yang membahayakan iman, sangat relevan untuk dikemukakan dan diusahakan dalam masyarakat Islam. Sebab sampai sekarang pelbagai praktik kehidupan semacam itu masih banyak berlangsung di tengah-tengah masyarakat Islam, yang kadang-kadang yang berlangsung dibawah pemahaman tertentu terhadap ajaran agama dan kepentingan pariwisata. Sebenarnya praktik irrasional semacam itu tidak hanya berdampak negatif terhadap pembangunan, sebab hal itu bisa melemahkan rasionalitas dan perilaku orang dalam menghadapi kehidupan.

b. Pemikiran-Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari Dalam Bidang Syari’at

Dalam bidang Syari’at sumber primer yang ditemukan adalah berupa hasil karya Al Banjari yang terdiri dari kitab :

- Kitab Sabilal Muhtadin Li al Tafaquh Fi Amr al Din. Isinya menguraikan masalah fiqih berdasarkan aliran mazhab Syafei. Al Banjari menyebutkan beberapa sumber kitab yang disajikan sumber pengambilan antara lain Kitab Nihayah, Kitab Tuhfah dan lain-lain. Kitab ini diterbitkan oleh penerbit Darul Ihya al Kutub al Arabiyah, terdiri dari dua juz.

- Kitab al Nikah. Isinya membahasa masalah perkawinan. Kitab ini diterbitkan oleh Maktabah al Haj Muharram Afandi pada tahun 1304 H, sesudah dicetak pertama kali oleh percetakan al Asitanah al Aliyah di Istambul. Sumber di atas semuanya berdasarkan Mazhab Syafei, masalah dan menjabarkanna banyak dikutip dari sumber-sumber ulama Syafiiah yang mutakhirin seperti Sarah Minhaj oleh Syaihul Islam Zakaria Anshari dan Nihayah oleh Syekh Jamal Ramli, Mugni oleh Khatib Syarbaini, Tuhfah oleh Ibn Hajar haitami. Kelebihan Al banri adalah dalam hal ketepatan memilih masalah yang penting untuk dijelaskan secara terurai, lengkap dan ditulis, yang selanjutnya disempurnakan dengan pemberian misal yang bersifat terapan dalam praktik kehidupan masyarakt umum. Bahkan kadang-kadang penjelasan seperti itu tidak ditemukan dalam kitab-kitab literatur berbahasa Arab.

Masalah-masalah itu seperti :

- Najis dan mensucikan.

- Cara mensucikan tempat/kain yang kena najis dengan air yang sedikit.

- Macam-macam hadas yang dibagi kepada tiga tingkatan.

- Pengertian air musta’mal.

- Kaifiat dan bentuk-bentuk larangan sewaktu qadha hajat.

- Anjuran membuat tempat qadha hajat.

- Mengeluarkan zakat buah-buahan, terutama mengenai hasil pertanian campuran beririgasi dan tadah hujan.

- Tentang wajib tidaknya zakat hewan ternak.

- Cara penyampaian zakat kepada fakir miskin.

- Tuntutan dan hukum menanam mayat.

- Penyelenggaraan mayat anak-anak keguguran.

- Ijab dan kabul dalam pernikahan.

Banyak diantara hasil temuan dari kajian pemikiran Al Banjari yang mempunyai relevansi aktual dan penting dalam masyarakat sampai sekarang, seperti:

- Di bidang thaharah, seperti pengertian air musta’mal dan kaifiat mencucikan muntanajis, tempat ataupun pakaian dengan air yang sedikit.

- Di bidang zakat, seperti zakat hasil pertanian yang digarap dengan teknis campuran antara sistem irigasi dengan tadah hujan, dan konsepsi tentang teknis pengeluaran zakat kepada fakir miskin. Menarik pula temuan pemikiran Al Banjari yang bersifat kontradiktif dengan praktik nyata yang masih berlaku sampai dewasa ini di kalangan masyarakat umum. Pemikiran tersebut adalah mengenai hukum kenduri yang disebutkan beliau makruh lagi bid’ah. Makruh lagi bid’ah itu berlaku baik bagi yang menyelenggarakan maupun orang yang datang memenuhi undangan kenduri tersebut.

c. Pemikiran-Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari di Bidang Da’wah Islamiyah

Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari memiliki kemampuan dan kelebihan dalam segala hal, mempunyai pemikiran-pemikiran yang gemilang sehingga adalah wajar kalau beliau mendapat penghargaan dan pengakuan dari seluruh kalangan masyarakat Kerajaan Banjar waktu itu lebih-lebih lagi pengakuan itu oleh masyarakat masa kini. Dalam bidang da’wah beliau dapat mengaplikasikan sebagai manifestasi dari pemikirannya mampu menjangkau kemasa depan, serta menyentuh berbagai aspek kehidupan secara mendasar. Hal ini memang relevan sekali dengan karakteristik da’wah yang memang luwes, elastis atau fleksibel.

Secara global ada tiga klasifikasi da’wah yang dikembangkan beliau, yaitu da’wah bil hal, da’wah dengan lisan dan da’wah dengan tulisan.

1) Da’wah Bil hal

Da’wah Bil hal iadalah aktivitas da’wah yang dilakukan melalui perbuatan nyata dengan berbagai macam bentuk kegiatan dan dampak positifnya dapat segera dirasakan, atau paling tidak hasil yang akan dicapai sudah tergambar dengan jelas.

Ada beberapa bentuk da’wah bil hal yang dapat dimasukkan yang telah dipraktikkan oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, yaitu :

- Kaderisasi ulama,

- Memurnikan ajaran agama,

- Melalui perkawinan, dan

- Integritas dengan penguasa dan masyarakat.

Dalam rangka kaderisasi ulama ini Al Banjari membangun sebuah perkampungan yang disebut Dalam Pagar. Perkampungan ini diperuntukkan khusus pengajian dan pengembangan Islam dengan membentuk kader ulama yang mampu menjalankan tugas da’wah ke seluruh pelosok wilayah Kerajaan dan bahkan ke luar daerah Kerajaan Banjar. Pengajian dilakukan secara terpimpin, dengan pengawasan yang ketat. Dalam dua dasawarsa, pertama Al Banjari bekerja keras melakukan kaderisasi ulama yang dapat diandalkan dan siap pakai. Mereka yang dipandang sudah mampu dan cukup ilmunya, disuruh pulang ke kampung halaman mereka masing-masing untuk mengajarkan agama atau berda’wah di sana. Proses kaderisasi dilakukan Al Banjari sampai beliau berusia 80 tahun. Memurnikan ajaran agama Islam dilakukan oleh beliau dengan cara yang bijaksana sehingga tidak terjadi keresahan di kalangan masyarakat. Pada waktu beliau kembali ke tanah air setelah 30 tahun menimba ilmu di kota suci Mekkah al Mukarramah, masyarakat Banjar masih kuat menganut kepercayaan lama berupa kepercayaan kepada animisme dengan melakukan beberapa upacara antara lain Upacara Menyanggar dan Membuang Pasilih. Upacara itu disertai dengan meletakkan sesajen atau ancak yang dipersembahkan kepada ruh-ruh halus, agar ruh halus tersebut mengabulkan keinginan mereka. Usaha ini berhasil dengan menyadarkan pelakunya, kembali kepada ajaran agama yang sebenarnya. Selain memurnikan ajaran agama dari pengaruh dan praktik kepercayaan animisme, juga dilakukan beliau membersihkan ajaran agama dari Faham aliran Wahdatul Wujud yang diajarkan oleh Syekh Abdul Hamid Abulung. Ajaran Wahdatul Wujud ini bertentangan dengan Faham Ahlussunah Wal Jamaah dan bertentangan dengan hukum Kerajaan. Al Banjari berhasil menghapuskan ajaran ini dengan cara bijaksana dengan melakukan perundingan dengan Syekh Abdul Hamid Abulung. Dengan secara arif dan penuh saling pengertian akhirnya Syekh Abdul Hamid Abulung menerima hukuan mati yang dijatuhkan kerajaan kepada beliau. Tindakan penuh kearifan yang dilakukan Al Banjari, akhirnya dapat menyelamatkan ajaran agama Islam dari Faham Wahdatul Wujud yang bertentangan dengan Ahlussunah wal Jamaah dan menyelamatkan kerajaan dari pertentangan umat karena adanya aliran yang berbeda itu. Pendekatan da’wah melalui perkawinan, ternyata kemudian sangat efektif penyebaran Islam, karena hasil keturunan beliau kemudian tersebar ke seluruh wilayah Kerajaan dan bahkan ke luar kerajaan dalam mengemban tugas da’wah Islam. Sebagian besar dari keturunan beliau dari sebelas orang isteri dan satu dari keturunan Cina, adalah ulama-ulama besar yang terpandang dan dihormati masyarakat luas. Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari berhasil menyatukan penguasa, golongan raja-raja dan masyarakat golongan jaba atas dasar ikatan agama Islam, sehingga tidak ada jurang pemisah antara ulama, bangsawan dan golongan jaba. Keberhasilan mendekati golongan bangsawan ini, menjadikan Sultan Tahmidullah atau Nata Alam menjadi sahabat dan murid beliau dan bahkan mendukung dan mendorong segala macam kegiatan da’wah yang dilakukan Al Banjari atas perintah Sultan Hamidullah, Muhammad Arsyad menuntut ilmu agama ke kota suci Mekkah selama 30 tahun. Penggantinya Sultan Tamjidillah yang ikut membiayai Muhammad Arsyad selama menuntut ilmu pengetahuan di Mekkah, dan akhirnya Sultan Tahmidullah atau Nata Alam yang berkuasa ketika Al Banjari kembali ke tanah air, akhirnya menjadi murid dan temannya. Sultan Tahmidullah pulalah yang memerintahkan agar Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari menyusun kitab yang kemudian diberi nama Kitab Sabilal Muhtadin, yang merupakan pegangan bagi seluruh rakyat kerajaan dalam melakukan ibadah. Integrasi beliau dengan masyarakat terwujud dalam bentuk kepeloporan beliau untuk mengolah tanah yang mati sehingga dapat berfungsi untuk dijadikan lahan pertanian yang subur. Salah satu cara yang dilakukan beliau adalah penggalian sungai untuk kepentingan irigasi persawahan yang dikemudian dikenal sebagai sungai Tuan.

2) Da’wah dengan Lisan

Pada da’wah dengan lisan adalah pola umum yang dilakukan para muballiq sebab paling mudah dan praktis, begitu pula teknis pelaksanaannya dan secara sekaligus dapat mencakup orang banyak. Pola ini pula yang dilakukan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dalam kegiatan pembinaan kader ulama dalam Majelis Ta’lim beliau di Dalam Pagar dalam wilayah Kerajaan Banjar. Bahkan sebelum pulang ketanah air beliau telah dipercaya memberi pelajaran di Masjidil Haram di bidang hukum Syafiiyah. Salah seorang muridnya adalah seorang golongan jin yang bernama Al Badakut al Mina, ikut bersama beliau ke tanah Kerajaan Banjar.

3) Da’wah dengan Tulisan

Kemampuan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang sangat istimewa adalah kemampuan dalam bidang mengarang, menyusun kitab-kitab agama, meliputi bidang syariat, tauhid atau ilmu ushuluddin dan bidang tasawwuf sebagaian besar dari kitab-kitab itu ditulis dalam bahasa Melayu. Beberapa dari kitab-kitab beliau itu masih dijadikan bahan pegangan untuk diajarkan kepada masyarakat luas, bahkan kitab Sabilal Muhtadin masih dijadikan kitab rujukan di Brunei Darussalam dan di seluruh kawasan Asia Tenggara. Hasil karya tulis inilah yang menjadi peninggalan Al Banjari yang paling berharga bagi seluruh masyarakat sampai kini. Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari telah menanamkan enam kerangka dasar yang berfungsi sebagai modal utama keberhasilan da’wah beliau.

Enam kerangka ini berperan sebagai strategi da’wah yang dijalankan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yaitu :

1) Da’wah harus diikuti dengan kealiman yang mantap dan penuh ketekunan menuntut ilmu.

2) Da’wah harus mempunyai orientasi yang jelas dengan memprioritaskan pembinaan kader ulama sesuai dengan hajat tuntutan masyarakat.

3) Da’wah harus mempunyai landasan wawasan yang luas di pelbagai segi kehidupan masyarakat yang dimanifestasikan dalam strategi da’wah bil hal.

4) Da’wah harus mampu mengayomi semua lapisan masyarakat sehingga tidak terjadi kesenjangan sosial antara golongan bangsawan dan golongan jaba dalam masyarakat Kerajaan Banjar.

5) Da’wah harus diwujudkan dengan penuh kearifan dan bijaksana sehingga mampu menyentuh peradaban manusia dengan melalui lidah, tulisan dan perbuatan.

6) Da’wah harus dijiwai dengan keikhlasan, penuh dedikasi yang tinggi tanpa pamrih sesuai dengan ajaran agama Islam. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sosok figur ulama yang sukar dicari tandingannya.

Corak pemikiran beliau sarat dengan pelbagai bidang kehidupan beragama, terutama yang bertemakan da’wah Islam, apalagi karya-karya tulis beliau yang bersifat monumental sangat berpengaruh di seluruh kawasan Asia Tenggara sampai kini.

6. Penerapan Hukum Islam

Hukum Islam memang merupakan hukum yang bersifat universal akan tetapi juga sebagai hukum yang sangat kontekstual sifatnya. Sebagai hukum yang universal hukum Islam sebagai hukum Allah yang berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah adalah tidak terikat pada tempat dan waktu. Hukum Islam adalah hukum yang berlaku di seluruh dunia. Islam pada berbagai kawasan tempat dan berlaku pada setiap kurun waktu dari masa ke masa. Tetapi berlakunya hukum Islam selalu mempertimbangkan kondisi dan situasi. Kondisi menyangkut keadaan tempat dimana hukum itu berlaku. Sedangkan situasi memacu kepada suasana dalam mana hukum itu berlaku. Pemikiran tradisional dari suatu masyarakat tertentu sangat mempengaruhi perkembangan hukum Islam. Dimana hukum syariat tidak dapat menyelesaikan suatu masalah, maka hukum adat muncul menggantikannya dan pada gilirannya pengadilan non syariah akan semakin meluas kewenangannya. Perkembangan sejarah dari suatu tempat akan banyak sekali menentukan penerimaan Hukum Islam dalam masyarakat yang bersangkutan. Penerapan hukum Islam di daerah Kerajaan Banjar adalah sejalan dengan terbentuknya Kerajaan Islam Banjar dan dinobatkannya Sultan Suriansyah sebagai raja pertama yang beragama Islam pada hari Rabu 24 September 1526. Terbentuknya Kerajaan Islam Banjar menggantikan Negara Daha yang beragama Hindu, dan merubah hukum yang berlaku dari hukum Hindu dengan hukum Islam. Disini terjadi transformasi secara mendadak dari kepercayaan Hindu/Budha berubah menjadi penganut ajaran Islam. Dari penelusuran sejarah kita menemukan adanya suatu data berupa keputusan penting yang pernah diambil oleh Sultan berkenaan dengan masalah agama, yaitu keputusan berpindah agama menjadi penganut ajaran Islam. Keputusan direalisasikan dalam bentuk nyata dengan didirikannya masjid yang dikenal sebagai Masjid Sultan Suriansyah yang sekarang terletak di Kuwin. Sebelum kerajaan Banjar terbentuk, Islam sudah lama masuk ke daerah ini, sehingga telah terbentuk sebuah masyarakat Islam di sekitar Kerajaan. Dengan dasar ini pula dapat diperkirakan bahwa penerapan hukum Islam dikalangan masyarakat berjalan dengan tenang tanpa ada ketegangan atau keresahan sosial, sehingga dengan mudah masjid dapat didirikan. Demikianlah gambaran tentang pertumbuhan Islam dan penerapan hukum Islam di kalangan masyarakat dalam Kerajaan Banjar sekitar abad ke-16. Yang menjadi dasar bagi perkembangan Islam selanjutnya. Pada abad 17 kita mencatat beberapa kejadian penting dalam perkembangan penerapan hukum Islam ini. Dalam abad itu seorang ulama Banjar yang bernama Syekh Ahmad Syamsuddiin Al Banjari menulis tentang Asal Kejadian Nur Muhammad dan menghadiahkannya tulisan itu kepada Ratu Aceh Sulthanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat (1641-1675). Kitab itu ditulis pada masa pemerintahan Pangeran Tapasena (Adipati Halid). Kitab itu tentang masalah tasawuf yang dipengaruhi ajaran Ibnu Arabi. Dengan demikian dalam abad ke- 17 dalam Kerajaan Banjar terdapat kecenderungan pesatnya perkembangan tasawuf sehingga melahirkan seorang ulama besar dalam bidang itu. Dari sisi lain dapat dilihat adanya hubungan timbal balik antara Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Banjar terutama penyebaran faham dan ajaran tasawuf. Hubungan antar dua kerajaan Islam ini dilanjutkan dengan dikirimkannya Kitab Fiqih Shirathol Mustaqim karya ulama besar Aceh Nurruddin ar Raniri yang ditulis pada tahun 1055 H. Kitab ini tersebar luas dalam wilayah Kerajaan Banjar sebelum sebelum Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari menyusun kitab Sabilal Muhtadin sebagai kitab Fiqih penggantinya Kitab Shirathol Mustaqin adalah kitab Fiqih berdasarkan mazhab Syafei. Menurut penilaian Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, kitab Sirothol Mustaqin itu adalah kitab Fiqih dalam mazhab Syafei yang terbaik dalam bahasa Melayu, karena uraiannya terambil dari beberapa buah kitab Fiqih yang terkenal lagi pula dicantumkan beberapa nash dan dalil. Karena itu kitab tersebut banyak memberi manfaat bagi kaum muslimim dalam Kerajaan Banjar. Dengan demikian sejak abad ke-16 dan 17 dan selanjutnya penerapan hukum Islam yang dianut berdasarakn Mazhab Syafei dan kitab Shirathol Mustaqim sebagai rujukan dalam menerapkan hukum Islam di kalangan masyarakat luas. Kendatipun demikian dalam Kitab Shirathol Mustaqin itu banyak yang kurang jelas, terdapat kata-kata dalam bahasa Aceh yang tidak dimengerti oleh orang Banjar. Disamping itu dalam beberapa bagian terdapat perubahan, berubah dari teks aslinya. dan pada tempat lain terdapat kata-kata yang hilang atau rusak hal ini disebabkan oleh para penyalin yang kurang menguasai masalahnya, sehingga sukar membedakan mana yang benar, sedangkan teks aslinya sudah sulit menemukannya. Menghadapi perkembangan hukum Islam seperti ini jelas sekali peranan yang dilakukan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang berhasil menulis Sabilal Muhtadin sebagai kitab Fiqih terbesar dan lebih lengkap untuk menggantikan Kitab Shirathol Mustaqin, sebagai rujukan dalam penetapan hukum Islam dalam wilayah Kerajaan Banjar. Perkembangan hukum Islam dalam abad ke- 18 dan 19 berkembang sangat pesat setelah Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari berhasil mengintensifkan da’wah melalui pembinaan kader ulama dalam perkampungan khusus. Dalam Pagar-Martapura. Selain pembinaan ulama yang tangguh dan tersebar luas di seluruh wilayah Kerajaan dan bahkan sampai ke luar kerajaan, juga keberhasilan beliau dalam menyusun beberapa kitab dalam usaha beliau untuk menerapkan hukum Islam dikalangan masyarakat luas. Kitab-kitab itu meliputi masalah syariat, ushuluddin dan tasawuf yang semuanya berhaluan Ahlussunah wal jamaah.

Dalam bidang Fiqih, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari telah menulis beberapa buah karya tulis diantaranya :

(1) Parukunan Basar, ditulisnya untuk menjadi bahan pelajaran orang yang baru mempelajari agama Islam. Uraiannya singkat dan materi yang dibicarakan hanya yang menjadi kewajiban dalam agama seperti Shalat dan janji, sedang zakat dan puasa hanya dibicarakan dengan singkat. Parukunan Basar telah di cetak ulang beberapa kali, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

(2) Fathul Jawad, sebuah kitab Fiqih dalam mazab syafei yang merupakan terjemahan dari tulisan Syekh Ibnu Hajar yang menguraikan dengan ringkas (matan) yang mencakup seluruh materi Fiqih, baik ibadah maupun muamalah. Namun sangat disayangkan sampai saat ini naskah asli maupun yang sudah dicetak belum ditemukan.

(3) Luqtatul Ajlan, adalah kitab yang khusus membicarakan tentang hukum yang menyangkut wanita seperti haid, hukum nifas dan istgihad. Risalah ini belum pernah diterbitkan masih berupa naskah.

(4) Kitabun Nikah, yang khusus menguraikan tentang Fiqih muamalah dalam bidang hukum perkawinan berdasakan mazhab Syafei. Kitab ini telah dicetak di Turki, yang isinya menerangkan pandangan Fiqih mazhab Syafei dalam hukum perkawinan. Uraiannya singkat karena kitab ini yang dijadikan pegangan dalam bidang perkawinan untuk seluruh wilayah Kerajaan dan sampai sekarang tetap dipergunakan, sebelum adanya Surat Edaran dari Pengadilan Agama R.I. tentang keseragaman ijab dari calon mempelai lelaki berbunyi : “Kuterima menikahi si pulan binti si pulan dengan mahar ...........” Sedangkan dalam Surat Edaran Pengadilan agama itu ijab itu harus berbunyi : “Kuterima nikahnya.............”. Dalam Kitabun Nikah pula ditentukan Istilah cina buta, yang dipergunakan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari untuk menggantikan kata “muhalil”, Orang yang telah melakukan talak tiga kali, mereka tidak boleh lagi kembali kecuali si bekas isteri kawin dengan orang lain. Setelah kawin dengan orang lain dan cerai, barulah diperbolehkan nikah kembali dengan bekas isterinya setelah genap masa idah. Supaya kawin dengan orang lain ini tidak lama, bekas suaminya mencarikan calon suami upahan. Inilah suatu tradisi yang berkembang dalam masyarakat yang dikenal dengan bacina buta .

(5) Kitabul Faraid, yang memuat hukum perwarisan berdasarkan mazhab Syafei dan ditambah dengan hasil ijtihad beliau sendiri seperti hukum harta perpantangan, dan kebolehan membagi harta warisan sama antara lelaki dan perempuan. Istilah harta perpantangan ini bukanlah merupakan penyimpangan dari hukum faraid yang ditetapkan dalam kitab-kitab fiqih. Istilah ini timbul karena adanya perbedan cara hidup masyarakat Arab dan masyarakat Banjar. Dalam hukum perkawinan bahwa isteri tidak bekerja, segala keperluan rumah tangga menjadi kewajiban suami. Sedangkan dalam masyarakat Banjar, isteri selalu membantu suami dalam mencari harta, bahkan kadang-kadang justru isteri yang bekerja, isteri sebagai kawan sekongsi dengan suami yang dikenal dalam hukum muamalah “Syirkatul Abdan”. Menurut ketentuan yang berlaku dalam Syirkatul Abdan kalau ada yang meninggal atau perkongsian itu dibubarkan (cerai) jumlah harta perkongsian itu dibagi dua, suami memperoleh separo dan isteri memperoleh separo pula. Kemudian yang separo yang dimiliki oleh yang meninggal dibagi lagi sesuai dengan ketentuan hukum faraid. Jadi ketentuan yang berlaku dalam masyarakat Banjar mengenai harta perpantangan adalah berdasarkan hukum dalam Syirkatul Abdan yang separo lagi dibagi kepada ahli waris yang meninggal sesuai dengan faraid.119 Pembagian harta warisan yang sama antara saudara perempuan dengan saudara lelaki atas persetujuan bersama, yang seperti ini dikenal dengan istilah “takharuj”, ialah pelepasan hak dari salah sorang atau beberapa orang ahli waris baik terhadap sebagian barang yang diwarisi atau terhadap seluruhnya. Contohnya : barang yang tidak dapat dibagi tiga, seperti tiga bersaudara mewarisi dari orang tuanya sebuah rumah, dua orang melepaskan haknya pada rumah itu dengan menerima gantian dengan sejumlah uang. Atau beberapa orang ahli waris menyerahkan seluruhnya haknya.

119 M. Asywadie Syukur, “Perkembangan Hukum Islam di Kalimantan Selatan”, Makalah pada Seminar Perkembangan Hukum Islam di Kalimantan Selatan, Fakultas Hukum Unlam, Banjarmasin, 1988.

(6) Kitab Sabilah Muhtadin, merupakan karya yang terbesar dan monumental yang terdiri dari dua jilid. Kitab ini baru menguraikan masalah ibadah sedangkan muamalah belum sempat dibicarakan, namun demikian kitab ini sangat besar andilnya dalam usaha beliau untuk menerapkan hukum Islam dalam wilayah Kerajaan Banjar sesuai dengan anjuran Sultan Tahmidullah yang memerintah saat itu. Dalam rangka menerapkan hukum Islam Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari adalah konseptor dan sekaligus mempelopori pembentukan lembaga Mufti dan Qadhi sebagai suatu bentuk lembaga peradilan menurut ketentuan hukum Islam dalam struktur Pemerintahan Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidillah yang bergelar Sunan Nata alam atau Panembahan Nata (1561-1801). Pembentukan lembaga ini dimaksudkan sebagai usaha melaksanakan ketentuan hukum Islam dalam masyarakat. Lembaga inilah kemudian yang menjadi cikal bakal bagi Pemerintah Belanda untuk daerah Kalimantan Selatan pada tahun 1937 dengan nama Kerapatan Kadhi dan Kerapatan Kadhi Besar, yang berlaku sampai sekarang. Pengaruh lebih jauh dari pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dalam hal penerapan hukum Islam ini secara konkret ketika Sultan Adam Al Wasik Billah (1825-1857) yang pada masa mudanya adalah murid Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari menetapkan suatu ketetapan hukum yang dikenal sebagai Undang-undang Sultan Adam. Dalam penyusunan Undang-Undang ini peranan dari kelompok alim ulama sangat besar sekali. Bahkan dari salah satu pasal dari undang-Undang itu dengan tegas menyatakan sekalian kepala jangan ada yang menyalahi fatwa Haji Jamaluddin (pasal 31). Haji Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari adalah Mufti Kerajaan, dan beliaulah yang namanya dipergunakan dalam penulisan kitab Parukunan Besar yang dikenal sebagai Parukunan Haji Jamaluddin. Dapatlah dikatakan bahwa Undang-undang Sultan Adam merupakan hukum tertulis yang jelas untuk menerapkan Hukum Islam di kalangan warga dalam Kerajaan Banjar. Tentang hak pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah (land tenure) Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari telah menjelaskan ketentuannya dalam Kitab Fathul Jawad, yang isinya memuat ketentuan fiqih yang diantaranya “ahyaul mawat”. Ketentuan ini sudah berkembang dalam masyarakat Kerajaan, sehingga ketika Sultan Adam menetapkan Undang-undang Sultan Adam, ketentuan yang berkembang dalam masyarakat itu dimuat dalam undang-undang. Dalam pasal 28 dari Undang-undang Sultan Adam dijelaskan bahwa tanah pertanian yang subur di daerah Halabiu dan Negara adalah dibawah kekuasaan Kerajaan, karena itu tidak boleh seorangpun melarang orang lain menggarap tanah tersebut kecuali memang di atas tanah itu ada tanaman atau bukti lainnya bahwa tanah itu sudah menjadi milik penggarap yang terdahulu. Ketentuan ini memang sesuai dengan ketentuan fiqih Islam yang menyatakan bahwa tanah liar atau tanah yang belum digarap adalah dibawah kekuasaan Kerajaan dan siapa saja yang menggarap ialah yang memilikinya. Pasal 29 diterangkan bahwa tanah yang sudah pernah digarap apabila ditinggalkan oleh penggarapnya dianggap hanya memiliki prioritas terhadap tanah itu selama dua musim atau 2 tahun, dan kalau tanah itu ditelantarkan siapa saja boleh menggarapnya dan memiliki tanah itu. Dalam fiqih ketentuan ini disebut “hakuttahjir”. Pasal 17 diterangkan bahwa setiap penjualan, penyewaan, peminjaman dan penggadaian terhadap tanah hendaknya secara tertulis. Serangkap ditangan yang berkepentingan dan satu rangkap lagi ditangan hakim dan hakim berkewajiban mencatat peritiwa itu. Ketentuan ini tampaknya bersumber dari ayat 282 Surah al-Baqarah. Pasal 23 diterangkan bahwa gugatan terhadap tanah yang terjadi sebelum diberlakukannya Undang-undang Sultan Adam, gugatan itu bisa diajukan sebelum sampai dua puluh tahun dan kalau lebih dua puluh tahun, hilanglah hak untuk menggugat. Pasal 26 diterangkan bahwa tanah atau kebun yang sudah dijual atau dibagi oleh ahli waris, masih bisa digugat sebelum berlaku penjualan atau pembagian itu sepuluh tahun. Pasal 27 diterangkan bahwa orang yang menang dalam perkara tidak boleh menuntut sewa tanah selama tanah itu berada di tangan yang tergugat. Ketiga pasal yang terakhir ini meskipun tidak bersumber dari Kitab fiqih, namun agama Islam memberikan wewenang kepada setiap penguasa atau raja untuk menentukan yang mana yang baik demi terjaminnya keadilan dan ketertiban.120

7. Undang-Undang Sultan Adam 1835

Undang-undang ini dikeluarkan oleh Sultan Adam Al Wasik Billah (1825-1857) setelah dia memerintah selama 10 tahun dari tahun penobatannya. Undang-Undang Islam dalam bidang politik sebagai proses perkembangan hukum Islam dalam Kerajaan Banjar. Sebagai seorang Sultan, dia dikenal sebagai Sultan yang keras dalam menjalankan ibadah dan dihormati oleh rakyat. Dia pula salah seorang sultan yang sangat memperhatikan perkembangan agama Islam.

120M. Asywadie Syukur, ibid.

Sultan Adam adalah putera dari Sultan Sulaiman Saidullah yang memerintah sebelumnya dan cucu dari Sultan Tahmidullah yang dikenal pula dengan gelarnya Susuhunan Nata alam. Ibunya Nyai Intan Sari. Dalam Managib Sultan Adam Al Wasik Billah disebutkan bahwa dia dilahirkan pada tahun 1785.

Sultan Adam mempunyai 5 saudara sekandung yaitu :

1) Sultan Adam

2) Pangeran Mangkubumi Nata

3) Ratu Haji Musa

4) Pangeran Perbatasasi

5) Pangeran Hasir

6) Pangeran Sungging Anum.

Disamping itu di masih mempunyai 13 orang saudara sebapa sehingga dia bersaudara sebanyak 19 orang. Pendidikan awal yang diperoleh Sultan waktu mudanya adalah pendidikan agama yang kemudian sangat mempengaruhinya kemudian. Diperkirakan bahwa dia banyak belajar agama dari ulama besar Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari (1710-1812) mengingat Syekh ini bersahabat dengan kakeknya Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidillah. Selain itu Syekh Muhammad Arsyad kawin dengan saudara sepupu dari Sultan Adam Ratu Aminah binti Pangeran Thaha bin Sultan Tahmidullah. Setelah Syekh Muhammad Arsyad meninggal dia berguru dengan Mufti H. Jamaluddin putera dari Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.

Pada umur 25 tahun Sultan Adam dikawinkan dengan Nyai Ratu Kumala Sari dan dari perkawinan ini dia memperoleh 7 orang anak :

1) Ratu Serip Husin Darmakesuma

2) Ratu Serip Kesuma Negara

3) Ratu Serip Abdullah Nata Kesuma

4) Pangeran Asmail

5) Pangeran Nuh

6) Ratu Anum Mangkubumi

7) Pangeran Prabu Anum

Selain permaisuri Nyai Ratu Kumala Sari, Sultan Adam juga pernah mempunyai isteri-isteri, sesuai dengan hukum Islam boleh beristri sampai empat orang yaitu :

a. Nyai Endah yang melahirkan Pangeran Mataram

b. Nyai Peah yang melahirkan Ratu Jantera Kesuma

c. Nyai Peles yang melahirkan Pangeran Nasruddin

d. Nyai Salamah yang melahirkan Ratu Ijah.

Dengan demikian Sultan Adam mempunyai 11 orang putera. Pada masa pemerintahan Sultan Adam Kerajaan Banjar mengalami proses perubahan dalam tata kehidupan bernegara dan bermasyarakat sebagai akibat dari masuknya pengaruh kolonialisme Belanda dan masuknya kebudayaan asing, khususnya agama Kristen. Untuk menggalang pengaruh budaya Barat dan memperkokoh kesatuan kerajaan dan kesatuan serta keutuhan rakyat Banjar, Sultan mengeluarkan Undang-Undang pada 15 hari bulan Muharram 1251 H atau tahun 1835. (Bersambung)


Sumber : Sejarah

Tidak ada komentar: