Senin, September 01, 2008

Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Banjar (Bag. 8)


D. PERANG BANJAR (1859-1905)

Perang Banjar adalah merupakan satu cetusan di dalam rangkaian perjuangan bangsa Indonesia menolak penjajahan dari bumi Indonesia. Perang ini merupakan salah satu mata rantai sejarah perang kemerdekaan utamanya pada abad ke-19, seperti peristiwa – peristiwa yang hampir bersamaan kasusnya di daerah – daerah lain di Indonesia, misalnya di Minangkabau dengan perang Paderinya, di Jawa dengan perang Diponegoro-nya, perang Bali, perang Aceh dan sebagainya. Perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah telah terjadi sejak kedatangan bangsa asing yang ingin menjajah Indonesia dengan berbagai dalih yang dilakukannya demi untuk mengeruk keuntungan dari tanah jajahannya. Pertentangan pertama antara Belanda dengan kerajaan Banjar, dalam hal ini Penambahan Marhum di satu pihak dan Belanda di lain pihak telah terjadi pada tanggal 14 Februari tahun 1606 dengan terbunuhnya nakhoda kapal Belanda Gillis Michielzoon beserta anak buahnya di Banjarmasin. Dalam rangka pembalasan dan memamerkan kekuatan beberapa kapal Belanda pada tahun 1612 secara mendadak telah menyerang dengan melakukan penembakan dan pembakaran di daerah Kuin. Dengan demikian pusat pemerintahan kerajaan Banjar terpaksa dipindahkan ke Martapura, ke kraton baru yang terkenal dengan sebutan Kayu Tangi. Pertikaian bersenjata menghangat lagi pada tahun 1638, dimana di Banjar Anyar telah terbunuh 64 orang bangsa Belanda di dalam satu penyergapan. Untuk pembalasan terhadap ini Belanda mengirim 2 buah kapal menuju Banjarmasin dan Kotawaringin. Mereka menahan perahu- perahu rakyat dan mengadakan penganiayaan kejam sesuai dengan instruksi dari Batavia, membunuh dan menyiksa tanpa pandang bulu, baik laki-laki maupun wanita atau anak-anak suku Banjar, tanpa perikemanusiaan.

132 Abdurrahman, “Studi…, op.cit., hal. 109.

Kekejaman ini tidak mudah dilupakan oleh rakyat di Kerajaan Banjar, dan sejak tahun 1600 sampai abad ke-18, walaupun telah ada perjanjian, selalu terjadi pertempuran-pertempuran antara orang-orang Banjar melawan Portugis, Belanda dan Inggeris. Ketika Sultan Muhammad meninggal dunia pada tahun 1761, ia meninggalkan 3 (tiga) orang anak yang belum dewasa, yaitu Pangeran Rahmat, Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir. Karena ketiga orang anak Sultan Muhammad itu belum dewasa, maka tahta kerajaan kembali ke tangan Mangkubumi, yaitu Sultan Tamjidillah, atau Pangeran Sepuh, dan pelaksanaan pemerintahan dikuasakan kepada anaknya Pangeran Nata. Dengan jalan menyuruh membunuh kedua kemenakannya, yaitu Pangeran Rahmat dan Pangeran Abdullah, Pangeran Nata berhasil memindahkan kekuasaan pemerintahan kepada dinastinya dan menetapkan Pangeran Nata sebagai Sultan yang pertama sebagai Penambahan Kaharudin. Pangeran Nata Dilaga yang Menjadi raja pertama dinasti Tamjidillah dalam masa kejayaan kekuasaannya, menyebutkan dirinya Susuhunan Nata Alam pada tahun 1772. Anak Sultan Muhammad (almarhum) yang bernama Pangeran Amir, atau cucu Sultan Tahmidillah melarikan diri ke Pasir, dan meminta bantuan pada pamannya yang bernama Arung Tarawe. Pangeran Amir kemudian kembali dan menyerbu Kerajaan Banjar dengan pasukan Bugis yang besar, dan berusaha merebut kembali tahtanya dari Susuhunan Nata Alam. Karena takut kehilangan tahta dan kekuatiran jatuhnya kerajaan di bawah kekuasaan orang Bugis, Susuhunan Nata Alam meminta bantuan kepada VOC. VOC menerima permintaan tersebut dan mengirimkan Kapten Hoffman dengan pasukannya dan berhasil mengalahkan pasukan Bugis itu. Sedangkan Pangeran Amir terpaksa melarikan diri kembali ke Pasir. Beberapa waktu kemudian Pangeran Amir mencoba pula untuk meminta bantuan kepada para bangsawan Banjar di daerah Barito yang tidak senang kepada Belanda, karena di daerah Bakumpai/Barito diserahkan Pangeran Nata kepada VOC. Dalam pertempuran yang kedua ini Pangeran Amir tertangkap dan dibuang ke Sailan. Sesudah itu diadakan perjanjian antara kerajaan Banjar dengan VOC, dimana raja-raja Banjar memerintah kerajaan sebagai peminjam tanah VOC. Dalam tahun 1826 diadakan perjanjian kembali antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Adam, berdasarkan perjanjian dengan VOC yang terdahulu, berdasarkan perjanjian ini, maka Belanda dapat mencampuri pengaturan permasalahan mengenai pengangkatan Putera Mahkota dan Mangkubumi, yang mengakibatkan rusaknya adat Kerajaan dalam bidang ini, yang kemudian menjadikan salah satu penyebab pecahnya Perang Banjar.

Perjanjian itu terdiri atas 28 pasal dan ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826 atau 26 Ramadhan 1241 H. Selain Sultan Adam Al Wasik Billah, perjanjian itu juga ditandatangani oleh Paduka Pangeran Ratu, Pangeran Mangkubumi, Pangeran Dipati, Pangeran Ahmad dan disaksikan oleh para Pangeran lainnya. Perjanjian inilah yang menjadi dasar hubungan politik dan ekonomi antara Kerajaan Banjar dengan pemerintah Belanda di Batavia. Dalam perjanjian tersebut Kerajaan Banjar mengakui suzerinitas atau pertuanan Pemerintah Hindia Belanda dan menjadi sebuah Leenstaat, atau negeri pinjaman. Berdasarkan perjanjian ini maka kedaulatan kerajaan keluar negeri hilang sama sekali, Kekuasaan ke dalam tetap berkuasa dengan beberapa pembatasan dan Residen berperan sebagai agen politik Belanda.

Isi perjanjian 1826 itu antara lain adalah :

a. Kerajaan Banjar tidak boleh mengadakan hubungan dengan lain kecuali hanya dengan Belanda.

b. Wilayah Kerajaan Banjar menjadi lebih kecil, karena beberapa wilayah menjadi bagian dibawah pemerintahan langsung Belanda. Wilayah-wilayah itu seperti tersebut dalam Pasal 4 : - Pulau Tatas dan Kuwin sampai di seberang kiri Antasan Kecil. - Pulau Burung mulai Kuala Banjar seberang kanan sampai di Pantuil, - Mantuil seberang Pulau Tatas sampai ke Timur Rantau Keliling dengan sungai-sungainya Kelayan Kecil, Kelayan Besar dan kampung di seberang Pulau Tatas. - Sungai Mesa di hulu kampung Cina sampai ke darat Sungai Baru sampai Sungai Lumbah, - Pulau Bakumpai mulai dari Kuala Banjar seberang kiri mudik sampai di Kuala Anjaman di kiri ke hilir sampai Kuala Lupak, - Segala Tanah Dusun semuanya desa-desa kiri kanan mudik ke hulu mulai Mangkatip sampai terus negeri Siang dan hilir sampai di Kuala Marabahan, - Tanah Dayak Besar Kecil dengan semua desa-desanya kiri kanan mulai dari Kuala Dayak mudik ke hulu sampai terus di daratan yang takluk padanya, - Tanah Mandawai, - Sampit, - Pambuang semuanya desa-desa dengan segala tanah yang takluk padanya, - Tanah Kotawaringin, Sintang, Lawai, Jelai dengan desa-desanya. - Desa Tabanio dan segala Tanah Laut sampai di Tanjung Selatan dan Timur sampai batas dengan Pagatan, ke utara sampai ke Kuala Maluku, mudik sungai Maluku, Selingsing, Liang Anggang, Banyu Irang sampai ke timur Gunung Pamaton sampai perbatasan dengan Tanah Pagatan, - Negeri-negeri di pesisir timur Pagatan, Pulau Laut, Batu Licin, Pasir, Kutai, Berau semuanya dengan yang takluk padanya.

c. Penggantian Pangeran Mangkubumi harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda.

d. Belanda menolong Sultan terhadap musuh dari luar kerajaan, dan terhadap musuh dari dalam negeri.

e. Beberapa daerah padang perburuan Sultan yang sudah menjadi tradisi, diserahkan pada Belanda. Padang perburuan itu, meliputi :

- Padang pulau Lampi sampai ke Batang Banyu Maluka,

- Padang Bajingah,

- Padang Penggantihan,

- Padang Munggu Basung,

- Padang Taluk Batangang,

- Padang Atirak,

- Padang Pacakan,

- Padang Simupuran,

- Padang Ujung Karangan.

Semua padang perburuan itu dilarang bagi penduduk sekitarnya berburu manjangan.

f. Belanda juga memperoleh pajak penjualan intan sepersepuluh dari harga intan dan sepersepuluhnya untuk Sultan. Kalau ditemukan intan yang lebih dari 4 karat harus dijual pada Sultan. Harga pembelian intan itu, sepersepuluhnya diserahkan pada Belanda. Gambaran umum abad ke-19 bagi kerajaan Banjar, bahwa hubungan kerajaan keluar sebagaimana yang pernah dijalankan sebelumnya, terputus khususnya dalam masalah hubungan perdagangan internasional. Tetapi kekuasaan Sultan ke dalam tetap utuh, tetap berdauat menjalani kekuasaan sebagai seorang Sultan.

1. Situasi Politik Abad ke-19

Abad ke-18 diakhiri dengan pemerintahan Sultan Tahmidullah II yang dikenal dengan gelar Susuhunan Nata Alam. Sultan ini meninggal tahun 1801, dan diganti oleh puteranya Sultan Suleman al Mutamidullah (1801-1825). Sultan Nata dikenal sangat licik menghadapi Belanda, Sultan ini berhasil mengelabui Belanda, sehingga tidak memperoleh keuntungan dari perjanjian yang dibuatnya, bahkan mengalami kerugian. Selama Sultan Nata, Kerajaan Banjar dapat mempertahankan kedaulatan ke dalam dan keluar. Akhirnya Belanda meninggalkan Banjarmasin tahun 1809. Abad ke-19 dimulai dengan pemerintahan Sultan Suleman al Mutamidullah. Setelah Sultan dilantik, Belanda mengadakan perjanjian dengan Sultan pada 19 April 1802. Perjanjian hanya mengingatkan kembali bahwa Kerajaan Banjar telah diserahkan kepada pemerintah Belanda seperti Perjanjian 1787. Dalam perjanjian itu ditambahkan bahwa Sultan berusaha menangkap dan menghukum potong kepala orang-orang Dayak yang telah melakukan pemotongan kepala. Hukuman potong kepala terhadap orang Dayak itu harus dilakukan dimuka loji Belanda. Selebihnya dalam perjanjian itu pemerintahan Belanda mengharapkan agar Sultan dapat memelihara kebun-kebun lada agar hasil lada menjadi lebih baik. Sebelum Belanda meninggalkan Banjarmasin tahun 1809, Belanda kembali membuat perjanjian dengan Sultan. Perjanjian ini hanya lebih menitikberatkan pada usaha pemeliharaan kebun lada, agar lada dapat berproduksi sebagaimana diharapkan oleh Belanda. Dalam perjanjian itu Belanda tetap mengakui kedaulatan Sultan dan tidak menyinggung tentang masalah pemerintahan termasuk hubungan dagang ke luar negeri. Dengan demikian selama Sultan Suleman al Mutamidullah kerajaan Banjar tetap mempunyai kedaulatan secara utuh ke dalam dan luar. Belanda meninggalkan Banjarmasin sebelum Belanda menyerahkan Batavia kepada Inggeris. Dalam perebutan kekuasaan dan perebutan jalan perdagangan di Laut, Belanda kalah menghadapi Inggeris dan pada tahun 1811 Belanda menyerahkan Batavia kepada East India Company (EIC) kompeni perdagangan Inggeris. East India Company (EIC) mengadakan pernjanjian persahabatan dengan kerajaan Banjar. Dalam perjanjian itu EIC Inggeris tidak menyinggung masalah kedaulatan pemerintahan Sultan tetapi lebih banyak masalah perdagangan. EIC Inggeris, menduduki beberapa daerah yang dulu pernah diduduki Belanda seperti pulau Tatas, Kuin, Pasir, Pulau Laut, Pagatan, Bakumpai. Selanjutnya EIC Inggeris mempertahankan dan melindungi hak-hak Sultan dan kekuasaan Sultan begitu pula hak milik Sultan terhadap serangan orang Eropah lainnya dan terhadap musuh bangsa Asia. Perjanjian itu selain Sultan juga ditanda tangani oleh para bangsawan kerajaan lainnya yaitu : Pangeran Panambahan Adam. Pangeran Aria Mangku Negara, Pangeran Kasuma Wijaya dan Pangeran Achmad, sedangkan dari pihak EIC Inggeris diwakili oleh Commissioner D. Wahl. Kalau Sultan Tahmidullah atau Panambahan Adam menjadikan Martapura sebagai ibu kota kerajaan dengan keratonnya yang diberi nama Bumi Kencana,maka Sultan Suleman memindahkan keraton kerajaan ke Karang Intan. Kubur Sultan Suleman juga terletak di Karang Intan. Perjanjian antara Belanda dan Inggeris memutuskan bahwa Belanda diperbolehkan kembali menduduki bekas kekusaannya dan dengan perjanjian ini EIC (Inggeris) terpaksa melepaskan kembali Batavia pada tahun 1816. Kerajaan Banjarpun ditinggalkan EIC Inggeris pada tahun tersebut dan kembali Belanda menanamkan kuku penjajahannya dengan cara kembali membuat perjanjian dengan Sultan. Untuk menanam pengaruh Pemerintah Belanda membuat perjanjian dengan Sultan Suleman al Mutamidullah pada tahun 1818 dan tahun 1823. Perjanjian-perjanjian itu dibuat oleh Belanda

untuk lebih mengingatkan pada Sultan tentang keberadaan Belanda dalam wilayah Kerajaan Banjar.

Ada beberapa hal yang menarik dari perjanjian itu.

a. Kerajaan Banjar itu dahulu yaitu selama abad ke-17 dan pertangahan abad ke-18 mempunyai wilayah pengaruh yang cukup luas meliputi Kerajaan Berau, Kutai, Pasir, Dayak Besar, Sampit, Kotawarigin, Lawai. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa daerah-daerah itu berada dalam wilayah pendudukan Belanda.

b. Orang bukan bangsa Banjar adalah orang asing, seperti : Bugis, Makassar, Bali, Mandar, Jawa, begitu pula Cina Eropah dan Arab. Semua orang asing diperlakukan hukum Eropah oleh Belanda kalau mereka membuat tindak pidana.

c. Atas permintaan Belanda, Sultan berusaha menggalakkan tanaman kopi, dan lada. Kopi dan lada merupakan jenis komoditi ekspor yang andalan saat itu.

Sultan Adam Al Wasik Billah menggantikan Sultan Suleman al Mutamidullah pada tahun 1825 setelah Sultan Suleman meninggal dunia. Setelah sultan dilantik Belanda memperbaharui perjanjian dengan sultan yang baru. Perjanjian itu ditandatangani kedua belah pihak pada tahun 1826. perjanjian ini menjadi dasar bagi Belanda untuk berpijak ke langkar pengaruh yang lebih dalam untuk mencampuri urusan pemerintahan Sultan. Pada abad ke- 18 Eropah mengalami Revolusi Industri. Dengan dimulai Inggeris sebagai negeri yang mengalami revolusi akhirnya menjalar ke Benua Eropah lainnya. Kapal uap ditemukan dan Belanda pada pertengahan abad ke- 19 sudah menggunakan kapal uap sebagai pengganti kapal layar. Mula-mula kapal uap yang memakai roda berputar di bagian sisi kiri kananya, dan paling akhir memakai baling-baling biasa. Kapal-kapal uap ini memakai batu bara sebagai sumber energi yang di impor dari Eropah. Semakin banyak kapal uap yang menggunakan batu bara ini maka impor batu bara bertambah besar. Belanda memperoleh informasi bahwa di daerah Riam Kiwa ditemukan lapisan batu bara. Informasi ini menyakinkan Belanda dan sejak itu perhatian terhadap Kerajaan Banjar lebih intensif. Belanda menjalankan segala taktik dan strategi untuk memperoleh konsesi tambang batu bara di daerah Kerajaan Banjar ini. Sebagai langkah awal dari taktik memperoleh konsesi ini Belanda berhasil mengadakan perjanjian tahun 1845 itu menetapkan batas-batas wilayahnya Kerajaan Banjar. Wilayah ini dibanding dengan sebelumnya adalah lebih kecil tetapi seluruhnya meliputi daerah inti dari Kerajaan Banjar yang asli. Meskipun daerah ini paling kecil tetapi penduduknya paling padat.

Daerah Kerajaan Banjar ini terbagi sebagai berikut :

a. Daerah Banjarmasin terletak di sebelah kanan Sungai Martapura sampai dengan Sungai Kalayan, kemudian pinggir sebelah kanan Sungai Kuwin dan sepanjang Sungai Barito. Di daerah ini terletak keraton kerajaan Banjar yang mula-mula yang telah hancur karena serangan Belanda tahun 1612.

b. Daerah Martapura meliputi daerah Sungai Riam Kanan dan daerah Sungai Riam Kiwa.

c. Daerah Banua Ampat yang meliputi daerah Banua Halat, Banua Gadung, Parigi dan Lawahan-Tambaruntung. Di daerah Lawahan ini mengalir Sungai Muning.

d. Daerah Banua Lima yang meliputi daerah-daerah Negara, Amuntai, Alabio, Kalua dan Sungai Banar.133

Berdasarkan perjanjian tahun 1826 dan 1845 maka daerah Kerajaan Banjar tidak mempunyai jalan ke laut, karena semua daerah pesisir dikuasai oleh Belanda. Hal ini mempunyai dampak yang nyata bagi pola hidup Orang Banjar. Kalau dalam abad-abad sebelumnya Orang Banjar adalah bangsa pelaut yang secara rutin pelayarannya sampai ke Cochin Cina dan Brunai, dalam abad ke- 19 ketrampilan sebagai pelaut sudah banyak berkurang. Pada tanggal 28 September 1849 Gubernur Jenderal Rochussen datang ke Pengaron di dalam wilayah kerajaan Banjar untuk meresmikan pembukaan tambang batu bara Hindia Belanda pertama untuk meresmikan pembukaan tambang batu bara Hindia Belanda pertama di Indonesia, yang dinamakan Tambang Batu Bara Oranje Nassau. Melihat kenyataan bahwa tambang batu bara ini mendatangkan keuntungan yang banyak bagi Belanda, Belanda mempertajam permainan politiknya. Residen yang berkedudukan di Banjarmasin ditugaskan untuk memperoleh tenaga kerja dicari orang yang mempunyai hutang dan ini dilakukan dengan muslihat agar orang berhutang. Memang dalam hukum yang dianut dalam Kerajaan Banjar orang yang terhutang itu adalah setengah budak. Demikian pula untuk mendapatkan pajak-pajak dan uang cukai serta memindahkan ke tangan Belanda. Belanda merasa cukup dengan uang ganti yang dibayar oleh Belanda. Bagi golongan bangsawan dan para raja-raja yang besar jumlahnya perjanjian ini mengecilkan tanah apanase, hal ini berarti berkurangnya penghasilan, dan bertambahnya pajak yang mengikat rakyat. Bagi golongan menengah dan para saudagar besar dan para pedagang perjanjian ini tidak mengurangi kemakmuran mereka. Pada tahun 1860 sedikit sekali daerah-daerah di Nusantara yang tingkat kemakmurannya sangat tinggi dan merata seperti di Banjarmasin, dan diseluruh Nusantara jumlah orang yang naik haji ke Mekkah tidak ada yang sebanyak dari Banjarmasin.

133 M. Idwar Saleh, “Pepper Trade and The Rulling Class of Banjarmasin in the Seventeenth Century”, Makalah pada Seminar Dutch – Indonesian Historical Conference, Leiden, 1978, hal. 18.

Pada waktu Sultan Adam Al Wasik Billah menjadi Sultan, dia memerintah didampingi oleh Sultan Muda Abdurrahman, yaitu putera mahkota calon pengganti Sultan kalau Sultan mangkat. Untuk merukunkan keluarga diantara keturunan Tamjidillah dengan keturunan Sultan Kuning (Sultan Tahmidullah), maka Sultan Suleman al Mutamidullah sewaktu Sultan ini masih hidup, mengawinkan cucunya Sultan Muda Abdurrahaman dengan Ratu Antasari, adik dari Pangeran Antasari. Sayangnya isterinya ini meninggal sebelum melahirkan seorang putera. Dalam tahun 1817 lahirlah seorang putera Sultan Muda Abdurrahman dari seorang selir keturunan Cina Pacinan, Nyai Besar Aminah yang diberi nama Pangeran Tamjidillah. Sultan Muda Abdurrahman menghendaki agar Pangeran Tamjidillah diterima sebagai raja penerus keturunan kerajaan. Sultan Suleman dan Sultan Adam menolak usul ini sebab bertentangan dengan tradisi yang berlaku di dalam kerajaan. Untuk mencari keturunan yang sah, Sultan Muda Abdurrahman dikawinkan lagi dengan seorang bangsawan Ratu Siti, puteri Mangkubumi Nata. Tahun 1822 lahirlah putera yang dinanti-nantikan, diberi nama Pangeran Hidayatullah, 5 tahun lebih muda dari Pangeran Tamjidillah. Kedua putera Sultan Muda ini berlainan watak dan tingkah lakunya dan akan menimbulkan bibit pertentangan diantara keduanya. Pangeran Tamjidillah sangat menyenangi pergaulan dengan orang-orang Belanda, minum-minuman keras menjadi kebiasaannya. Pangeran Hidayat, seorang yang taat menjalankan ibadah agama dan sangat disenangi oleh kaum ulama. Malapetaka Kerajaan Banjar diawali dengan matinya secara mendadak Sultan Muda Abdurrahman pada tahun 1852. Sejak meninggalnya Sultan Muda Abdurrahman ini timbullah benih-benih pertentangan antara keluarga bangsawan dan merupakan salah satu faktor hancurnya Kerajaan Banjar. Sejak itu ada tiga golongan yang berebut kuasa dalam kerajaan, yaitu : a. Pangeran Tamjidillah, putera Sultan Muda Abdurrahman dengan Nyai Besar Aminah, seorang Cina Pacinan. Tingkah lakunya tidak disenangi para ulama dan bangsawan, karena senang bergaul dengan Belanda dan senang bermabuk-mabukan. Karena terbiasa membantu Pangeran Mangkubumi Nata berurusan dengan Residen, karena itu ia dikenal dikalangan orang-orang Belanda dan disenangi oleh kalangan tersebut. b. Pangeran Hidayatullah, putera Sultan Muda Abdurrahman dengan seorang bangswan Ratu Siti, puteri Pangeran Mangkubumi. Dia seorang yang taat beribadat, berakhlak terpuji dan disenangi kalangan luas kaum ulama dan masyarakat Banjar. c. Pangeran Prabu Anom, putera Sultan Adam Al Wasik Billah adik Sultan Muda Abdurrahman. Ibunya Ratu Komala Sari yang sangat besar pengaruhnya di kalangan Dewan Mahkota dan Sultan Adam. Ibunya sangat berambisi untuk menjadikan Pangeran Prabu Anom menjadi Putera Mahkota. Prabu Anom dikenal sebagai seorang yang bertindak sewenang-wenang dan tindakannya sering menyakitkan hati masyarakat.

Selain Sultan Muda Abdurrahman yang meninggal tahun 1852 juga Pangeran Mangkubumi meninggal lebih dahulu. Kehilangan kedua pejabat teras kerajaan ini merumitkan urusan politik kerajaan, disamping itu ada 3 kelompok yang bersaing memperebutkan kedudukan sebagai Sultan Muda dan Mangkubumi. Baik Sultan Suleman al Mutamidillah, maupun Sultan Adam Al Wasik Billah telah melihat pertentangan keluarganya yang terjadi semenjak Susuhunan Nata Alam (1761-1801) yang kemudian dengan perkawinan. Usaha ini juga dijalankan untuk menghadapi bahaya dari pihak luar khususnya Belanda yang senantiasa mendesak kekuasaan dan mempersempit ruang gerak Sultan. Belanda berusaha untuk selalu menghidupkan pertentangan keluarga sesuai dengan politik dan strategi penjajah divide et empera, pecah belah dan kuasai. Dari pertentangan dan perebutan kekuasaan ini Belanda akan memperoleh keuntungan. Pihak Belanda telah memperhitungkan bahwa dari ketiga kelompok yang bersaing ini, hanya dari Pangeran Tamjidillah-lah yang dapat diharapkan keuntungan itu, dan dari dialah diharapkan akan memperoleh konsesi tambang batu bara “Oranje Nassau”. Oleh karena itu, Residen van Hengst di Banjarmasin (1851-1953), Residen Belanda yang berkedudukan di Banjarmasin mengusulkan pada Pemerintah Belanda di Batavia agar Pangeran Tamjidillah diangkat sebagai Sultan Muda. Dalam bulan April 1853, Sultan Adam telah mengirim utusan ke Batavia untuk minta diberikan keadilan terhadap permintaannya menjadikan Pangeran Hidayat sebagai Sultan Muda dan Pangran Prabu Anom sebagai Mangkubumi dan menolak pengangkatan Pangeran Tamjidillah. Permintaan ini ditolak oleh Belanda, bahkan utusannyapun tidak diterima secara resmi. Yang dilakukan Belanda hanya mengganti Residen van Hengst dengan Residen A. van der Ven. Tidak ada pilihan lain dari Sultan Adam, selain membuat “Surat Wasiat” yang hanya dibuka dan dibaca bila Sultan meninggal.

Isi surat wasiat (testamen) itu antara lain :

a. Sultan Adam Al Wasik Billah memberi gelar kepada Pangeran Hidayatullah dengan gelar Sultan Hidayatullah.

b. Sultan Adam Al Wasik Billah mengangkat Pangeran Hidayatullah menjadi penguasa agama, mewariskan semua tanah ke sultanan dan semua padang perburuan.

c. Sultan Adam Al Wasik Billah memerintahkan kepada seluruh rakyat untuk mentaati hal ini, dan jika perlu mempertahankannya dengan kekerasan.

Surat wasiat ini ditambah lagi dengan tiga ayat tambahan yang berbunyi :

a. Pangeran Hidayatullah menggantikan Sultan Adam Al Wasik Billah bila ia meninggal dunia, dan memerintahkan rakyat dengan penuh keadilan, dan benar-benar mengikuti perintah agama Islam.

b. Sultan Adam Al Wasik Billah memerintahkan kepada semua Pangeran lainnya untuk mengikuti Pangeran Hidayatullah sebagai sultan, dan mengutuknya sampai anak cucunya bila hal ini dilanggar.

c. Perintah yang sama kepada para haji, ulama dan tetuha kampung.

Pada tanggal 8 Agustus 1852 Pangeran Tamjidillah diangkat menjadi Sultan Muda oleh Pemerintah Belanda, disamping tugasnya sebagai Mangkubumi, dan ia bertempat tinggal di Banjarmasin. Terhadap pengangkatan ini Sultan Adam telah melaporkan kepada Pemerintah Belanda di Batavia tentang tindakan ketidakadilan ini, tetapi tidak diperhatikan oleh Belanda. Ratu Komala Sari, permaisuri mengajukan puteranya Pangeran Prabu Anom sebagai Mangkubumi, yang juga ditolak oleh Belanda. W.A. van Rees dalam De Bandjermasinsche Krijg melukiskan sebagai berikut : “Menurut adat yakni menurut norma-norma hukum yang umum dimana-mana pengganti raja berdasarkan garis keturunan yang lurus, tidak ada orang lain yang berhak dapat menjadi pengganti raja selain Hidayat. Tamjidillah walaupun anak yang lebih tua dari Hidayat, tetapi ia adalah darah campuran tidak “tutus” yang tidak akan mungkin memangku sebagai sultan selama masih ada turunan yang berhak menurut undang-undang. Selain dari hak turun temurun yang tidak dapat diganggu gugat, tampaknya Hidayat mendapat anugerah untuk menduduki kedudukan yang paling tinggi itu dari sifatnya yang wajar. Sejalan dengan kesetiaan taat bertakwa menjalankan ibadah agama, Hidayat adalah pencinta tanah air (patriot) yang bernyala-nyala, suka memberikan pertolongan dan seorang budiman, sehingga dihormati oleh tiap-tiap orang, juga oleh Sultan Adam” 134Situasi makin bertambah buruk sehingga menyulitkan pemerintah Belanda sendiri, akhirnya Belanda merubah sikapnya dengan mengangkat Pangeran Hidayat sebagai Mangkubumi pada 9 Oktober 1856. Dalam surat pengangkatannya tertulis sebagai berikut : “Hadjrat Annabi Salalahu alaihi wassalam seribu dua ratus tudjuh poeloeh tiga pada kesembilan hari boelan Sjafar kepada hari Chamis djam poekoel sepoeloeh pagi-pagi.” Mendjadi hadjrat Almasih kesembilan hari boelan Oktober tahoen seriboe delapan ratoes lima poeloeh enam maka desawa itoelah sahaja Pangeran Hidayat Allah jang dengan permintaan Sri Padoeka Toean Sultan Adam Al Wasik Billah yang mempoenyai tahta keradjaan Bandjarmasin beserta moefakatan dengan Sri Padoeka Toean van de Graaf Residen Bandjarmasin jang memegang koesa atas tanah sebelah selatan dan timoer poelaoe Borneo soedah terima oleh Sri Paduka Jang Dipertoen Besar Gurnadoer Djenderal dari tanah Hindia Niderland jang bersemajang di Betawi. Mendjadi Mangkoeboemi di Keradjaan Bandjarmasin bepersembahan soerat persoempahan ini dichadirat Goebermin Hindia Nederland pada menjatakan: Ha Mim Allah wal Rasoel”

134 Gusti Mayur, Perang Banjar, CV. Rapi, Banjarmasin, 1979, hal. 10.

Surat pengangkatan itu dilanjudkan dengan sumpah kesetiaan kepada Sultan, Sri Paduka Tuan Sultan Banjarmasin, dan kesetiaan kepada Goebernemin Hindia Nederland. Pengangkatan Pangeran Hidayatullah sebagai Mangkubumi dilakukan oleh Belanda setelah sebelumnya Belanda dengan licin menekan Sultan menandatangani persetujuan pemberian konsesi tambang batu bara kepada Belanda 30 April 1856. Pangeran Hidayat menyadari bahaya pemberian konsesi tambang batu bara ini, tetapi dia tak berdaya menghadapinya apalagi setelah Belanda menempatkan serdadunya di pusat-pusat tambang batu bara mereka. Selain menetapkan Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan Muda, pengangkatan Pangeran Hidayat sebagai Mangkubumi, Belanda juga menahan Pangeran Prabu Anom di Banjarmasin bertempat tinggal di rumah menantunya Pangeran Syarif Hussein. Daerah itu sekarang menjadi Kampung Melayu. Oleh karena tindakan Belanda ini, Sultan Adam yang sudah tua dan hampir putus asa oleh hal-hal tersebut di atas telah membuat testamen yang diberikan kepada Mangkubumi Pangeran Hidayat, Kadhi di Martapura dan Kadhi di Amuntai. Situasi ini menyebabkan dia sakit. Sebelum dia meninggal dia minta dibawa kembali ke Martapura dan minta dikuburkan di sana. Pada tanggal 30 Oktober 1857 Sultan Adam sakit keras, maka dia dibawa ke Martapura dan meninggal tanggal 1 November 1857. Sebelum Sultan Adam Al Wasik Billah mangkat, Pangeran Tamjidillah mengirim surat rahasia kepada Gubernur Jenderal Rochussen, melalui Residen di Banjarmasin. Isi surat itu bahwa ia akan mengusahakan segala kemungkinan supaya kelak tanah konsesi tambang batu bara Oranje Nassau menjadi milik Pemerintah Hindia Belanda. Selanjutnya dikatakannya bahwa dia akan melaksanakan segala keinginan yang dikehendaki oleh Pemerintah Hindia Belanda di Betawi asal ia akan mengganti ayahnya sebagai sultan di Kerajaan Banjar, apabila Sultan Adam wafat. Pemerintah di Betawi menyetujui usul itu. Ketika Sultan Adam Al Wasik Billah meninggal pada tanggal 1 November 1857 karena sakit, tanpa sepengetahuan Dewan Mahkota, yaitu sesudah dua hari pemakaman almarhum Sultan, pemerintah Belanda menobatkan Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan. Prabu Anom putera Sultan Adam dengan Ratu Komala Sari ditangkap oleh Belanda, karena menurut pertimbangan Belanda kalau Pangeran Prabu Anom berada di Banjarmasin akan membahayakan, dan dia dibuang ke Jawa.135 Pengangkatan Sultan Tamjidillah itu membuat kalangan kaum bangsawan merasa tidak puas, karena pengangkatan ini sangat melanggar tradisi Istana, melanggar surat wasiat Sultan Adam Al Wasik Billah, disamping, tingkah laku Sultan Tamjidillah yang sejak semula tidak disenangi oleh kaum bangsawan dan rakyat Banjar. Sultan lebih mendahulukan kepentingan pemerintah Belanda dari kepentingan dan nasib rakyat. Kebiasaan minum-minuman keras sangat menjengkelkan kalangan agama dan kaum ulama. Antara Sultan dengan Mangkubumi Pangeran Hidayatullah yang berkedudukan di Martapura tidak terdapat kerjasama dan saling curiga mencurigai. Dalam situasi demikian Sultan Tamjidillah mencoba memikat Mangkubumi Pangeran Hidayatullah dengan cara mengawinkan puterinya puteri Bulan dengan putera Mangkubumi, Pangeran Amir. Perkawinan politik ini dimaksudkan agar terjadi keakraban dan dapat menghasilkan kerjasama dalam pemerintahan kerajaan. Namun usaha ini tidak menghasilkan apa-apa, bahkan kecurigaan makin menjadi lebih tebal, sebab sejak kecil sudah dipupuk dengan rasa benci satu sama lain. Apalagi siasat dari Sultan Tamjidillah untuk menjatuhkan Mangkubumi dengan cara tipu muslihat makin mengeruhkan suasana. Tindakan pertama yang menyakitkan hati rakyat setelah pengangkatan Pangeran Tamjidillah menjadi Sultan tanggal 3 November 1857, ialah (4 November 1857) Residen mengizinkan dengan bantuan serdadu yang ada di Martapura untuk menangkap Pangeran Prabu Anom, pamannya sendiri. Pangeran Prabu Anom pergi ke Martapura lari dari tahanannya di Banjarmasin karena mengurusi pemakaman ayahnya Suldan Adam al Wasik Billah. Alasannya dan tuduhan yang dikenakan pada dirinya ialah bahwa Pangeran Prabu Anom membahayakan tahta, tetapi penangkapan itu tidak berhasil. Rakyat menjadi saksi atas tindakan Sultan baru ini dalam usahanya menangkap pamannya Pangeran Prabu Anom. Lima hari setelah pemakaman Sultan Adam Al Wasik Billah yang sangat dicintai rakyat, keraton Martapura ditembaki serdadu Belanda untuk menangkap anak raja. Prabu Anom akhirnya ditangkap dengan tipu muslihat pada permulaan tahun 1858 dan di buang ke Jawa. Rakyat umum berpendapat, seperti kata Residen J.J. Meijer kemudian, bahwa dengan pengangkatan Pangeran Tamjidillah menjadi Sultan yang ke-13 akan timbul bermacam bala bencana karena kelahirannya dan perbuatannya sama sekali bertentangan dengan adat tradisi yang berlaku dan bertentangan dengan agama Islam. Dia lahir dari tindakan di luar nikah menurut agama Islam.

135 A.Gazali Usman, “Pangeran Hidayatullah”, dalam Kalimantan Scientie, No. 17, Tahun VII, Banjarmasin, 1988, hal. 4.

Pengangkatan Pangeran Tamjidillah itu diteruskan walaupun bertentangan pula dengan kehendak kaum ulama, para kaum bangsawan serta harapan-harapan rakyat kecil. Dalam tahun 1858 perasaan tidak puas rakyat ini menjadi lebih besar, karena pemerintahan makin lama makin kacau dan tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Pemerintahan penuh dengan fitnah dan banyak yang suka mengambil muka menjilat raja. Ketidak puasan terhadap Sultan Tamjidillah dan campur tangan Belanda terhadap pemerintahan kerajaan Banjar menimbulkan keresahan dan ketegangan dalam masyarakat, dan hal inilah yang ikut melahirkan gerakan-gerakan Muning, yakni sebuah gerakan sosial masyarakat tani yang kemudian menjadi motor dalam Perang Banjar (1859-1905). Residen Belanda tidak menginsafi dan menyadari perasaan kebanyakan para bangsawan dan rakyat, perasaan yang membara laksana api didalam sekam terhadap penjajah Belanda.136 Tindakan-tindakan kebijaksanaan sehingga yang telah diambil pada tanggal 28 Oktober 1858 yaitu perkawinan antara putera Mangkubumi dengan puteri Sultan adalah salah satu usaha yang telah dijalankan untuk menentramkan suasana. Pada tanggal itu pula telah diumumkan pernyataan pemberian kekuasaan pelaksanaan (uitvoerende macht) kepada Mangkubumi Pangeran Hidayatullah sesuai dengan pasal 13 perjanjian 4 Mei 1828. Begitu pula pada Pengeran Aria Kasuma, saudara Sultan Tamjidillah atau usul Mangkubumi Pangeran Hidayatullah telah diangkat menjadi Pangeran Adipati yang memerintah di Banua Lima. Residen Belanda menduga dengan perkawinan dan pengumuman pemberian kekuasaan tersebut suasana hangat menjadi lebih dingin. Namun hakekatnya pemberian kekuasaan kepada Mangkubumi Pangeran Hidayatullah dan pengangkatan Pangeran Adipati Aria Kasuma hanya pengumuman kosong belaka, sebab Belanda tetap berdaya upaya memegang sendiri tampuk pemerintahan sedang adipati Pangeran Aria Kasuma walaupun dijadikan adipati di Banua Lima, tetapi tidak pernah datang di Amuntai sebagai tempat memegang kekuasaan. Banua Lima adalah dalam kerajaan Banjar yang meliputi : Negara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai, dan Kalua. Kedudukan Pangeran Hidayatullah menjadi lebih kuat karena mendapat dukungan dari segala lapisan, terutama kalangan bangsawan yaitu ketika Nyai Ratu Komala Sari, isteri almarhum Sultan Adam Al Wasik Billah dan tiga orang puteri beliau, Ratu Kasuma Negara, Ratu, Ratu Aminah dan Ratu Keramat memberi surat kuasa dan penyerahan Kerajaan Banjar kepada Pangeran Hidayatullah, dengan alasan bahwa keluarga istana tidak dapat membenarkan pengangkatan Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan sebab bertentangan dengan tradisi dan surat wasiat Sultan Adam Al Wasik Billah. Dengan dasar surat itu Pangeran Hidayatullah telah mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh kaum bangsawan dan pemuka rakyat di Martapura, diantaranya Pangeran Surya Mataram, Pangeran Wijaya Kusuma, dan Kiai Patih Guna Wijaya.

136 Gusti Mayur, op.cit., hal. 13.

Dua hari setelah rapat ini diadakan lagi rapat yang merundingkan rencana penyusunan kekuatan di Banua Lima. Disamping itu Pangeran Hidayatullah nampak diminta rakyat sebagai pemimpin yang sah dan sesuai dengan Sultan Adam Al Wasik Billah, bahwa dia sebagai orang yang berhak mendapat tahta kerajaan. Karena itu Pangeran Antasari berusaha keras membantu Pangeran Hidayat untuk menggerakkan rakyat melawan Belanda.137Pangeran Hidayatullah sebagai Mangkubumi telah memberi kepercayaan kepada Pangeran Antasari untuk menjalin kerjasama dengan Panembahan Muda Datu Aling pemimpin Gerakan Muning di daerah Muning. Untuk daerah Banua Lima yang dipimpin oleh Jalil, Mangkubumi Pangeran Hidayatullah sendiri langsung menanganinya. Jalil, tokoh Balangan yang memimpin rakyat didaerah Banua Lima dalam bulan September 1958 dengan terang-terangan memberontak tidak mau membayar pajak kepada Adipati Danu Raja, kepala daerah di Banua Lima. Pangeran Hidayatullah sebagai Mangkubumi diperintahkan menangkap Jalil, tetapi Mangkubumi Pangeran Hidayatullah setelah tiba di Amuntai bukan menangkap Jalil, tetapi justru menyusun kekuatan dan memperkuat kedudukan Jalil. Jalil diberi gelar Kiai Adipati Anom Dinding Raja. Sebagai tindak lanjut dari pemberian gelar ini, Mangkubumi mengukuhkan jabatan tersebut dengan memberikan tanda kebesaran kerajaan berupa bendera kuning, payung kuning, sebuah tombak balilit dan sebuah pedang.138 Dengan demikian Jalil telah menjadi pengikut Mangkubumi Pangeran Hidayatullah. Setelah kejadian itu Pangeran Hidayatullah sering pula mengadakan rapat rahasia bersama-sama pemimpin gerakan yang menentang Belanda. Ia juga sering pergi ke daerah pertambangan batubara Belanda di Mangkau dan Kalangan. Kegiatan Pangeran Hidayatullah telah diketahui oleh Belanda berdasarkan laporan dari Akhmad bahkan Gerakan Muning sebenarnya bersumber dari Mangkubumi Pangeran Hidayatullah, dan Sultan Kuning sebagai raja di Muning adalah atas perintah Pangeran Hidayatullah. Pangeran Hidayatullah sebagai pewaris tahta yang sah dan terikat dengan surat wasiat Sultan Adam al Billah telah diikuti Belanda. Sebab taktik itu disamping bersifat tertulis dan rahasia, juga dilakukan secara lisan yang bagi rakyat Banjar keduanya sama kuatnya. Di Masjid Batang Balangan Amuntai ditempatkan pengumuman yang menyebutkan bahwa rakyat Kesultanan Banjar sebagai domba-domba dan sultan sebagai harimau pemeras.

137 Tamny Ruslan, “Gerakan Muning: Gerakan Sosial di Dalam Perang Banjar”, Tesis pada Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1981, hal. 76.

Dinyatakan pula hanyalah di Banua Lima sajalah hukum Islam yang berjalan dengan sempurna, sedangkan di lain tempat sudah kabur. Pangeran Hidayatullah dan Surya Mataram dinyatakan sebagai pelindung hukum dan agama, dan agar rakyat mengadu kepada mereka apabila mendapat kesulitan. Pengumuman ini dibubuhi cap Pangeran Singasari, saudara almarhum Sultan Adam Al Wasik Billah dan dibacakan pula oleh Penghulu Abdul Gani di hadapan khalayak ramai yang berkumpul di masjid Amuntai.139Bulan April 1859 adalah bulan yang paling panas suhu politiknya dalam seluruh wilayah kerajaan Banjar. Sultan Tamjidillah bersama pihak Belanda; Pangeran Hidayat, Pangeran Antasari dan rakyat saling beradu siasat untuk memperoleh kemenangan.

Hal ini terlihat dari fakta dibawah ini :

a) Tanggal 2 April 1859 Sultan Tamjidillah melaporkan situasi kerajaan kepada Residen, bahwa Gerakan Muning bersumber dari Pangeran Hidayatullah yang menjabat sebagai Mangkubumi.

b) Tanggal 4 April 1859 atas desakan Sultan Tamjidillah Pangeran Hidayatullah sebagai Mangkubumi pergi ke Banjarmasin menemui Residen dikatakan sehubungan dengan tugasnya ke Banua Lima.

c) Tanggal 6 April 1859 Mangkubumi Pangeran Hidayatullah pulang ke Martapura dam menolak usul Residen untuk pergi ke Banua Lima dengan alasan karena saat itu bulan suci Ramadhan, bulan puasa.

d) Minggu kedua bulan April 1859 terjadi banyak surat menyurat antara Sultan Tamjidillah dengan Mangkubumi Pangeran Hidayatullah, antara lain tentang penangkapan Pangeran Antasari, Jalil, Datuk Aling, Sultan Kuning dengan anak buahnya : Pangeran Mangku Kesuma Wijaya, Bayan Sampit, Garuntung Manau, Khalifah Rasul, Panglima Juntai di Langit, Garuntung Waluh, Panimba Sagara, Pembelah Batung, Kindue Mui, Kindue Aji dan lain-lain.

e) Pada 11 April 1859 sebagai Mangkubumi Pangeran Hidayatullah bersama Pangeran Jaya Pemenang, Pangeran Antasari dan sejumlah anak raja pergi ke Pengaron . Perjalanan ini sangat mencurigakan pihak Belanda.

f) Karena kegagalan pihak Belanda untuk memaksa Mangkubumi Pangeran Hidayatullah ke Banua Lima, Residen meminta Qadhi Pangeran Penghulu Mohammad Seman ke Banua Lima. Residen heran ketika mendapat laporan bahwa dalam rombongan itu ikut pula Ratu Syarif Husin bersama Ratu Komala Sari permaisuri Sultan Adam almarhum, Ibu dari Pangeran Prabu Anom yang telah dibuang ke Jawa.

138 A.Gazali Usman, “Pangeran…, op.cit., hal. 6. 139 A.Gazali Usman, ibid., hal. 7.

g) Belanda dengan Sultan Tamjidillah sudah merencanakan penangkapan terhadap Pangeran Hidayatullah tetapi pembicaraan itu bocor dan diberitahukan oleh Pangeran Akhmid adik Sultan Adam (17 April 1859).

h) Pada tanggal 20 April 1859 , dua orang cucu Kiai Adipati Anom Dinding Raja menjumpai Pangeran Hidayatullah dirumahnya di Antalangu (Martapura). Mereka kemudian membawa perintah Pangeran Hidayatullah untuk Jalil gelar Kiai Adipati Anom Dinding Raja, yaitu agar penduduk Batang Balangan dan Tabalong segera turun ke Martapura sejumlah kira-kira 2.000 orang. Tetapi mereka tertangkap oleh Belanda. Pangeran Hidayatullah telah menyusun kesatuan kekuatan rakyat untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda secara menyeluruh. Pada bulan April 1859 Pangeran Hidayatullah mengunjungi kembali Muning tempat Gerakan Muning dibawah pimpinan Panembahan Muda Datuk Aling dan Sultan Kuning. Persiapan penyerangan hanya tinggal menunggu perintah saja menunggu waktu yang tepat. Pangeran Hidayatullah melarang mengadakan penyerbuan pada bulan April. Selain itu pangeran Hidayat memperhitungkan kekuatan Belanda dan kekuatan rakyat. Untuk itu perlu diimbangi dengan taktik perang secara menyeluruh. Pada pertengahan bulan April 1859, Sultan Kuning mengutus 4 orang utusan menghadap Pangeran Hidayatullah untuk meminta izin menyerang tambang batu bara Oranje Nassau di Pengaron. Kali ini Pangeran Hidayatullah telah mengijinkan apapun yang akan terjadi. Pihak Belanda telah mendapat informasi bahwa gerakan rakyat akan menyerang tempat-tempat strategis, karena itu Belanda menyiapkan dan memperkuat pos-pos pertahanannya dan minta bantuan dari Jawa.

2. Pemberontakan Banua Lima

Banua Lima merupakan sebuah propinsi dari Kerajaan Banjar yang meliputi daerah Amuntai, Alabio, Sungai Banar, Kelua dan Negara yang diperintah oleh seorang yang berpangkat Adipati saat itu dijabat Kiai Adipati Danuraja. Ayah Danuraja adalah seorang kelahiran dan penduduk asli Amuntai, bernama Karim. Karena jasa-jasanya pada kerajaan Karim diberi jabatan sebagai Pembakal dan dikenal sebagai Pembakal Karim. Kemudian Pembakal Karim kawin dengan salah seorang saudara perempuan Nyai Komala Sari, permaisuri Sultan Adam. Nyai Ratu Komala Sari juga penduduk asli Amuntai dan dari kalangan rakyat biasa, karena itulah setelah menjadi permaisuri diberi gelar Nyai di muka namanya.

Kedudukan Pembakal Karim menjadi lebih terhormat setelah menjadi ipar Sultan dan sebagai ipar Sultan, pembakal Karim diberi gelar Kiai Ngabehi Jaya Negara. Puteranya yang bernama Jenal hasil perkawinan Kiai Ngabehi Jaya Negara dengan ipar Sultan kemudian diberi gelar Kiai Tumenggung. Kemudian oleh Sultan kepada Kiai Tumenggung diberi jabatan Adipati untuk daerah Banua Lima yang kemudian bergelar Kiai Adipati Danuraja. Kiai Adipati Danuraja dan Kiai Ngabehi Jaya Negara-lah orang yang paling berkuasa dan memerintah di Banua Lima. Dalam menjalankan pemerintahan kedua orang anak beranak ini berbuat sewenang-wenang dan melampaui kewenangannya seperti menjatuhkan hukuman mati kepada seseorang yang bersalah yang semestinya adalah kewenangan Sultan. Tindakan lain yang menyakitkan hati rakyat Banua Lima adalah perbuatannya mengorganisir perampokan di daerah kebun lada penduduk dan mengorganisir penjualan budak ke kerajaan Pasir dan perampokan di sungai oleh keluarganya. Tindakan sewenang-wenang inilah yang menyebabkan pemnerintahan tidak disenangi rakyat Banua Lima, tetapi rakyat tidak berani melawan karena mereka keluarga Sultan. Yang berani melawan aadalah iparnya sendiri yang bernama Jalil. Dalam bulan Agustus 1854 Jalil melaporkan kejahatan yang dilakukan oleh Kiai Adipati Danuraja kepada Sultan tetapi laporannya tidak mendapat perhatian dari pihak kerajaan. Kebencian Jalil kepada Kiai Adipati Danuraja bukan saja karena Kiai Adipati ini melakukan tindakan yang sewenang-wenang, tetapi juga karena ayah Jalil dihukum mati oleh Kiai Adipati Danuraja. Pangeran Hidayat juga bermusuhan dengan Kiai Adipati Danuraja karena Pangeran Hidayatullah menuduh Kiai Adipati Danurajalah sebagai penyebab kematian ayahnya Sultan Muda Abdurrahman. Dalam usaha Mangkubumi Pangeran Hidayatullah untuk melemahkan kekuasaan Sultan Tamjidillah di Banua Lima, maka kekuasaan Kiai Adipati Danuraja harus dikeluarkan dari percaturan politik di Banua Lima. Jalil yang pada mulanya diberi gelar oleh Sultan Tamjidillah Tumenggung Macan Negara akhirnya berpihak pada Mangkubumi Pangeran Hidayatullah untuk menyingkirkan Kiai Adipati Danuraja. Jalil bertindak sebagai pelaksana dari kekuasaan Mangkubumi di Banua Lima dan menyusun kekuatan sebagai usaha menyingkirkan Kiai Adipati Danuraja. Dalam bulan September 1858 Kiai Adipati Danuraja melakukan penarikan pajak atau uang kepala kepada penduduk Batang Balangan. Dengan dipimpin oleh Jalil yang bergelar Tumenggung Macan Negara, rakyat menolak membayar uang kepala tersebut. Kiai Adipati melaporkannya kepada Sultan dan Sultan memerintahkan agar Jalil menghadap Sultan di Banjarmasin. Jalil tidak datang meskipun dua kali dipanggil Sultan. Wakil Kiai Adipati adalah Tumenggung Ngebehi Jaya Negara mengancam akan mengambil tindakan kekerasan kalau Jalil tetap menolak. Ancaman itupun gagal.

Salah seorang penduduk Banua Lima yang bernama Kuncir melaporkan kepada Sultan untuk menyanggupkan diri untuk melakukan tindakan membantu kerajaan menangkap Jalil. Kuncir beserta enam orang kawannya berangkat ke Batang Balangan untuk menangkap Jalil. Kiai Adipati berangkat dengan 2000 orang pasukannya untuk menghukum perbuatan Jalil yang melawan dan memberontak pada Kerajaan. Tindakan Kiai Adipati ini dicegah oleh Residen di Banjarmasin karena menyalahi Perjanjian tahun 1828. Dalam Perjanjian itu disebutkan bahwa pemberontakan dalam negeri adalah kewenangan Belanda untuk menumpasnya. Perintah residen untuk menghentikan ekspedisi menumpas Jalil ini diterima saat dia akan menyerang Batang Balangan. Kiai Adipati tunduk pada perintah Residen dengan penuh kejengkelan dan dia kembali ke Banjarmasin. Dalam masalah ini terlihat bahwa rakyat berpihak pada Jalil Tumenggung Macan Negara. Seluruh rakyat mengakui Mangkubumi Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Surya Mataram sebagai pelindung mereka dan sebagai pelindung hukum dan agama. Pengakuan ini diumumkan oleh Penghulu Amuntai Abdul Gani, di muka masjid Amuntai. Situasi politik di Banua Lima sangat mengkhawatirkan apalagi setelah Kiai Adipati Danuraja pergi ke Banjarmasin. Terjadi kekosongan pemerintahan, tetapi situasi tetap tenang karena Jalil Tumenggung Macan Negara dengan pasukannya bertindak memelihara keamanan sebagai pelaksana Mangkubumi Pangeran Hidayatullah. Melihat situasi yang buruk ini. Mangkubumi Pangeran Hidayatullah melaksanakan perintah Sultan dan pergi ke Amuntai. Sesampainya di Amuntai Mangkubumi bermalam di rumah Jalil dan menerima pengaduan rakyat khususnya tindakan dan perbuatan Kiai Adipati Danuraja. Kebencian rakyat terhadap Kiai Adipati yang pro Sultan mempermudah Mangkubumi untuk memperkuat pengaruh dan memperoleh pengikut. Tindakan yang dilakukan Mangkubumi sesuai dengan perintah Sultan untuk mengamankan situasi yang buruk ialah dengan memberi kepercayaan kepada Jalil Tumenggung Macan Negara dengan gelar dan pangkat Kiai Adipati Anom Dinding Raja, diberi atribut Mantri berupa sebuah pedang dan tombak “balilit”. Selanjutnya diperkuat dengan surat perintah agar ia bertindak atas nama Mangkubumi serta diberi sebuah cap Mangkubumi. Setelah selesai melantik Kiai Adipati yang baru, Mangkubumi kembali ke Martapura serta melaporkannya kepada Sultan. Situasi yang sudah berjalan aman tenteram dan tertib menjadi terganggu karena sikap dan keputusan Sultan yang bertentangan dengan keinginan dan aspirasi rakyat. Pada tanggal 28 Oktober 1858 Sultan mengangkat saudaranya Pangeran Aria Kesuma sebagai Kepala Banua Lima yang baru untuk menjalankan kekuasaan eksekutif dibawah Mangkubumi. Pengangkatan ini tidak sepengetahuan Mangkubumi, dan sikap ini dilakukan Sultan agar adiknya dapat mengawasi tindak tanduk Mangkubumi.Untuk mendiskreditkan peranan dan kekuasaan Jalil Kiai Adipati Anom Dinding Raja, pada tanggal 26 Januari 1859 Sultan mengangkat Danuraja sebagai Kepala Sungai Banar, dan anaknya Tumenggung Jaya Negara sebagai Kepala Sungai Tabalong Kanan dan Kiri. Semua pengangkatan ini tidak setahu dan seizin Mangkubumi. Pengangkatan ini bertentangan dengan ketentuan hak eksekutif Mangkubumi serta bertentangan dengan aspirasi rakyat yang menginginkan hilangnya pengaruh Danuraja dan di Banua Lima. Akibatnya Kiai Adipati yang baru, diangkat Sultan serta Danuraja tidak dapat menjalankan tugasnya dan tidak berani menduduki posnya yang baru, maka untuk daerah Banua Lima tidak terdapat penguasa eksekutif yang definitif sebab Kiai Adipati Anom Dinding Raja (Jalil) hanya pejabat yang mendapat restu Mangkubumi dan menjalankan kekuasaan atas nama Mangkubumi pula. Pada pertengahan bulan Maret 1859, penduduk daerah Para sampai Belimbing, Balangan dan Tabalong mengakui kekuasaan Jalil Kiai Adipati Anom Dinding Raja yang bertindak atas nama Mangkubumi. Situasi ini menunjukkan bahwa pengaruh Mangkubumi Pangeran Hidayat sangat besar, sedangkan pengaruh Sultan Tamjidillah tidak ada sama sekali. Sultan kehilangan kewibawaannya dan hal ini berarti suatu sikap rakyat menentang atau anti Sultan yang diangkat Belanda. Suasana ini akan segera berubah menjadi sikap anti Belanda, tetapi Belanda tidak menginsafinya. Ketika kapal perang Arjuna pada tanggal 3 Februari 1859 dari Batavia tiba di Banjarmasin dengan membawa pasukan tambahan, residen berpendapat bahwa tambahan kekuatan ini belum diperlukan sebab tidak ada gejala yang menunjukkan keresahan rakyat apalagi sikap pemberontakan. Seorang kaki tangan Sultan dari daerah Muning, yaitu Kiai Gangga Suta memberi informasi kepada Sultan bahwa perkembangan politik lebih hangat dan situasi lebih buruk pada bulan Februari 1859. Dari dua orang cucunya Kiai Gangga Suta memperoleh informasi bahwa Ratu Komala Sari dan anak-anaknya telah menyerahkan kekuasaan kepada pewarisnya Mangkubumi Pangeran Hidayat, sesuai dengan Surat wasiat Sultan Adam Al Wasik Billah. Setelah penyerahan seluruh Kerajaan itu, Mangkubumi Pangeran Hidayatullah mengadakan rapat-rapat kerajaan yang dihadiri oleh pejabat-pejabat kerajaan antara lain Pengeran Suria Mataram dan Pangeran Wiria Kesuma. Rapat ini bersifat rahasia. Rapat rahasia itu menghasilkan keputusan untuk menentukan sikap bersama untuk menghadapi kedatangan kapal perang Arjuna. Untuk menambah kekuatan dalam menghadapi situasi yang memburuk itu Mangkubumi Pangeran Hidayatullah menugaskan kepada Pangeran Suria Mataram untuk membantu Jalil dan mempersenjatainya dan mengirimkan sejumlah senapan dan meriam ke Amuntai. Untuk membuktikan situasi ini Sultan pergi ke Martapura ibukota Kerajaan. Sultan memperhatikan sikap rakyat terhadap Sultan, bahwa kedatangan Sultan tidak mendapat sambutan sebagaimana layaknya dan tidak ada ucapan salam untuk Sultan. Pasukan perahu penyambut Sultan pun tidak tampak. Begitulah situasi politik yang makin panas mulai pertengahan bulan Februari 1859.

KELUARGA PANEMBAHAN ALING ( DATU ALING ) Berasal dari kampung Pematang Kumbayau dan setelah gerakan perlawanan berkembang kampung tersebut dinamai Tambai Mekkah disekitar Lawahan sekarang didaerah Muning. ALING GELAR PANEMBAHAN MUDA SAMBANG (Sultan Kuning) NURAMIN (Ratu Keramat) KHALIFAH RASUL USANG (Kindu Mui) DULASA (PGR. SurianataSURANTI (Puteri Junjung Buih) Catatan : 1. Saranti (Puteri Junjung Buih) dikawinkan dengan Gusti Muhammad Said (in absensia) anak Pangeran Antasari setelah cerai dengan Dulasa. 2. Kumbayau dinamai Tambai Mekkah atau Serambi Mekkah.

(Bersambung)

Sumber : Sejarah

Tidak ada komentar: