Senin, September 01, 2008

Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Banjar (Bag. 3)


4) Apanase Kerajaan dalam tahun 1826-1860

Sebagian wilayah tanah wilayah kerajaan diberikan sebagai apanase kepada keluarga raja tapi tidak selalu turun temurun. Sipemegang mendapat sebuah surat hadiah dari raja, yang disebut Cap, sebab segel raja dibubuhi pada surat tersebut. Dari sebuah apanase si pemilik dapat mengambil penghasilan resmi berupa : pajak pemberian (poll-tax), fitrah, zakat, hasil berbentuk natura seperti : minyak kemiri, madu, ikan basah dan ikan kering, rotan, lilin, daging rusa dan tanduk rusa, telur itik, kura-kura sungai, monopoli rotan dan pajak rotan, sewa sungai ikan (paiwakan) dan sewa tanah. Dari tambang intan, pemilik apanase tidak hanya memperoleh pajak yang umum, tapi dia juga mempunyai hak monopoli dalam pembelian intan. Setiap intan yang ditemukan sebesar 4 karat, harus dijual pada raja atau pemilik apanase. Rakyat dalam tanah apanase harus memberikan pelayanan pada pemilik apanase sebulan dalam tiap tahun sebagai tenaga kerja untuk apanase. Dia dapat menggantikannya dengan uang, jika dia mempunyai uang, besarnya f 7,- perkepala. Kalau si pemegang apanase tersebut meninggal, keturunannya meminta kepada raja ketetapan baru dan sebagai pemegang dia tidak boleh mengalihkan apanase tersebut kepada pihak ketiga. Kalau raja mangkat semua ketetapan apanase diperbaharui. Dari periode Sultan Adam, Sultan Adam telah memberikan tanah apanase kepada anaknya, cucu, saudara laki dan pada keluarga isterinya yaitu Kiai Adipati Danureja dari Banua Lima. Jika raja menganggap bahwa penghasilan dari apanase tidak cukup untuk si pemilik, raja dapat menghapuskan beberapa bagian dari kewajiban-kewajiban apanase pada raja, seperti kasus Ratu Dijah anak perempuan dari Sultan Adam. Jenis baru dari penghasilan apanase adalah tambang batubara. Perusahaan tambang batu bara Belanda memperoleh hadiah konsesi dari raja yang termasuk wilayah tanah apanase Mangkubumi Kencana. Dari konsesi ini dia memperoleh batu bara seharga f 10.000,- tiap tahun dari perusahaan Belanda. Berikut adalah tanah apanase yang diberikan oleh Sultan pada keluarga (tabel I), sedangkan Tabel II merupakan daftar penghapusan apanase oleh Belanda tahun 1863, tabel III tanah apanase yang dirampas Belanda tanpa ganti rugi.

Tabel 1 No. Name Residence Grade of kinship with Sultan Adam Location and income of the apanages annually other privileges 1 2 3 4 5

1. Ratu Aminah Banjarmasin daughter diamond mines of batu Babi, income sold custom ± f 5000,- 2. Ratu Salamah Martapura idem Benua Gadung f 600 diamond mines Gn. Kupang ... ? and Sungai Pamangkih f 900 3. Ratu Didjah Martapura idem Tabalong, Jambu Alay dan Amandit f 800,- Custom duties f 12.000,- Diamond mines Parupuk f ... ? 4. Pg. Surya Mataram son Tabalong, Pitap, Banua Bamban, Btg. Kulur, Banua Rambau, dan Padang f 10.000,- 5 Pg. Prabu Anom son Kelua, Amuntai, Sei Banar, alabio, Negara f 20.000,- income from duties f ... ? diamond mines of Lok Cantang f .... ? 1 2 3 4 5 6. Ratu Djantera Kesuma daughter Gantang, Amuntai, Sei Banar, Alabio, Negara f 20.000,- income from duties f ... ? diamond mines of Lok Cantang f...? 7. Sultan Muda Tamjid, crown prince & Mangkubumi Banjarmasin Grandson Paramasan 40 tail gold a f 75 a tail f. 3000,- Salary as Mangkubumi f. 12.000 8. Pg. Aria Kasuma Banjarmasin idem he had a share from Paramasan Amandit f....? 9. Pg. Wira Kasuma Banjarmasin idem Sungai Gatal f. 200,- 10. Hidayat Martapura idem had a share in the income of Alay Paramasan Amandit, Karang Intan, Margasari f. 5000,- diamond mines of Basung .....? 11. The 10 Children of Mangkubumi Martapura idem had share in the income of Alay Paramasan Amandit, Karang Intan, Margasari f. 5000,- 12. Pg. Kesuma Wijaya Krg. Intan brother Pamarangan Puaian and Paringin f. 180,- 13. Pg. Tasin Martapura idem Amawang f. 400,- 14. Pg. Singosari idem idem Wayau f. 2000,- 15. Pg. Hamim idem idem Jatuh f. 400,- 16. Children of Mangkubumi Nata Adam’s brother idem Nephews Income of the land Basung f. 3780,- Angkinang Kalahian f. 600,-

17. Pg. Antasari idem dist. nephew Mangkuah f. 400,- 18. Adipati Danuraja Amuntai Nephew of Rt. Kumala Sari Income of Balangan and 12 landscapes in its surroundinge f. 8000,- 19. Kiai Patih Guna Wijaya Martapura Adam official Sei Raya f. 180,-

Tabel II List of the abolished apanages Resolution of the Neth, Indies G.G Mo. 29. 1863, August, 18thNo. Name Location of the apanage Sum of Compensation monthly 1 2 3 5

1. Pg. Kartasari diamond mines Si Djalun in Karang Intan idem at Sei Rapat f.60,- Inherited from his father 2. Pg. Tasin Lanscape Amawang Sultan Soleiman ceded this land to his son, Pg. Tasin The cap was handed to Lurah Budjal, head of Amawang as his representative 3. Pg. Nasaruddin Tabudarat, Sei Gatal f.20,- , Margasari f.50,- Cap from Sultan Adam 4. Gt. Idjah Benua Kandangan, Sei Kudung, f.25 Idem 5. Pg. Abdullah, Pg. Moh. Seman Benua Paringin, Benua Pitap, Ratau, Batang Kulur, Tabalong, Bamban, f.150,- Inherited from their father Pg. Surya Mataram Cap from Sultan Adam 6. Gt. Sura, Gt.Lalang, Gt. Kasim Banua Paringin, Pamarangan, Paian, diamond mine Sie Asam (Karang Intan) f.155,- Sons of Pg. Kasuma Wijaya. Cap from Sultan Sulaiman 7. Pg. Moeksi, Pg. Jamal, Rd. Daud Benua Kalahiang diamond mines Saligsing (Gn. Kupang) Tampuang, Alat (Gn. Luwak) f. 45,- Cap. Sultan Adam 8. Pg. Suriawansa Diamond mine Kalabau Bungkuk (sie Rasung) f.20,- i d e m 9. Pg. Demang a. Diamond mine Anangi (Mataram) i d e m, b. Padang Pulai Babi, hunting field, f.20,- 1 2 3 5 10. Pg. M. Tambak Anyar Sei Ulu Banua. Balumbu, Djambak Badatu, Hadjar Badatu, Pihanin, Danau Manuk, Batantangan, Soengaloan. Diwata Besar. Sei Lapat, Panyubarangan, Bietin, Sambudjur, Lampur, Tumpang, Awang, Kalumpang, Luang, Hakurung, Danau Panggang, Banyu Irang, Ampang. Barabidja. Boenkoe Nasi, Batara Gangga, Bajayan and the surrounding rice tields, gold-diamond mines of Riam Kiwa, f....? He leased all the river in his holding to Haji Moh. Taip for f.2.700 a year. Yearly yield f.300 egs of river lortoise. 700 ducks eggs. 400 dried fish, 300 pipih fish. Got tonnage from the coal mine. Produce as was rice padi rattan. 11. Ratu Achmad Sei Pasipatan (Martapura) Binuang a bee tree (Padang Alalak) f....? Cap from Sultan Adam 12. Kiai Tumenggung Dipa Nata or Kiai Adipati Danuradja the villages Pasar Laut po-tase f. 60,- Sirap f.40 Pamarang f. 40,- Baru f. 80,- Panyambaran f. 8, Tanjung f,50, Bukit Damar : income of ½ thail 380 gantang rice river/lakes Danau Baganting, Kanta, Bilungka, Bangkal, Poelantan, Panggang, Bakang, Jadjoet, Sampoeng Banua, Sambung Dua, f.15,- The commission concluded that the sons of the Kiai could get compensation ; a. Kiai Warga Kasuma b. Kiaji Demang Nata Negara Cap from S. Adam According to the commission these lakes did not produce any thing. 13. Kiai Puspa Dirdja or Patih Guna Wijaya Sei Raya incomes yearly f.15,- f.200,- 1000 gantang padi 100 gantang rice Cap from S. Adam 1 2 3 5 14. Putri Nor Sei Taboek, Sei Daughter of. Pg.

Aboemboen, Sei Pamakuan, f. 15,- Marta Kasuma cap from Sultan Adam 15. Pg. Ibrahim had a land in Banjarmasin, f. 10,- 16. Pg. Djaja Pamenang Kp. Simpur, Asam, Sirih diamond mines of Oetan Padang, land Taluk Haur, f.500,- Apanage cap from S. Adam bought, cap from Sultan Adam. 17. Pg. Mangkubumi Paku Dilaga Sie Tabu Karsa, f. 16,- Inherited Apanage 18. Andin Kalung Sie Batang Banyu Mati and tributary Cap from S. Adam.

Tabel III : Confiscated apanages

Confiscated from : 1. Nyai Ratu Kumala Sari 2. Ratu Syarif Hosein Darma Kasoema 3. Ratu Kasoema Negara Resolution of Dutch Commissioner of the Southern and Eastern Departement of Borneo, no. 356 Jan, 1863, 22nd. 1. By the benefaction – act of S. Adam of 13th of Ramadhan, 1270 ceded to Nyai Ratu Kumala Sari : 1. Benua Tanah Abang 2. Benua Kusambi 3. Benua Lampihung 4. Benua Tabalung 5. Benua Batang Kulur 6. Benua Pitap 7. Benua Tandjoeng 8-10 Benua all the rivers in Alalak from Nyiur Tunggal till Cinta Poeri 11. Padang Tangkas 12. Danau Pagat 13. Leepak Basar 14. Diamond mines Paang Loembah 15. Diamond mines Galingging 16. Wawaran (at Alabioe) 17. Tanah Baloekoen

18. Tanah Arang-arang 19. Bukit Labuan Amas 20. Bukit Amas 21. Bukit Kiwa 22. Bukit Kanan 23. Bukit Pananggahan 24. Bukit Harugan 2. By the benefaction act of Sultan Adam on 4th Dzoelkaidah 1268 ceded to Ratu Sjarif Koesin Darmakasoema, the apanages : 1. Paramasan Alay 2. Benua Gambah 3. Benua Pisangan 4. Benua Tanah Abang 5. Benua Tanah Kosambi 6. Benua Lampihong 7. Diamond mines above Mataram, from Batang Badarah till the Sungai Kasi Mahar. 3. Ceded to Ratu Kasoema Negara by the benefaction of Sultan Adam of the 29th Dzolehyjah 1251 and the 9th of Sawal, 1270, the apanages : 1. Benua Gadung 2. Tambaruntung 3. Tanah Lobak 4. Benua Sei Paring 5. Pamangkih 6. Sei Alalak 7. Padang Bagenta Pamatang Danau 8. Diamond mines; Padang Gn. Kupang Sei. Soerian Sei. Pinang Batu Licin Batu Poetih 4. Ceded to Ratu Kramat (Or Ratu Syatif Abdullah Nata Kasoema) by; he benefaction act of Sultan Adam of the 20th Rabioel Awal 1263, the apanages :

1. Desa Ulin Amparia Jambu Amandit Balimau Kp. Tanah Baru Sei Jurutulis Idris (Kesarangan) Sei Kiai Mangoen di Poera There rivers : Kalumpang (Negara) Ambahai Basar ) at Pamanggis Ambahai Kecil ) Kalaan (Mangapar) 2. Rice field areas : The areas of the extuary of river Babirik both banks of Hanyu Rambya. 3. Diamond mines : Pinang Sei Bidu Tanah Poelantan Roban Bungkuk Mataram Bawah Tanah Padang Batang Poelan Doepa. This Ratu died childlees before the confiscation.

B. PERKEMBANGAN POLITIK DAN EKONOMI PERDAGANGAN

Gambaran suatu kota atau daerah tertentu, akan mencerminkan pola kemajuan yang telah dicapai, terutama kemajuan di bidang ekonomi. Keadaan kota Banjarmasin pada abad ke-17, menurut dinasti Ming, cukup maju digambarkan : “Bahwa mereka mempunyai kota dengan dinding kayu, salah satu sisi lain terletak berhadapan dengan sebuah pegunungan. Sebagian besar rakyat membuat rakit dari kayu dan mambangun rumah di atasnya, seperti juga yang terdapat di Palembang” 57Di kota Banjarmasin dan sekitarnya, berdiri perumahan-perumahan yang sebagian besar dindingnya terbuat dari bambu, ada juga yang terbuat dari papan. Rumah itu besarnya luar biasa, sehingga ada yang memuat 100 anggota keluarga untuk setiap rumah, disitu tiap keluarga mempunyai kamarnya sendiri. Biasanya didiami oleh keluarga sedarah, dan berdiri di atas tiang. Gambaran Groeneveld dan diperkuat oleh Valentijn, tentang kota Banjarmasin tersebut, memperjelas kemajuan yang telah dicapai kerajaan Banjarmasin dalam bidang perekonomian. Selain itu, dapat pula dilihat, bahwa yang dimaksud rumah betang atau rumah besar berdiri di atas tiang, sebagai rumah betang yang didiami oleh suku Ngaju, yang umum disebut golongan Dayak Biaju. Suku Ngaju, Maayan dan Bukit diikat berdasarkan kesatuan politis, sebagai rakyat yang mendiami kerajaan dari suku-suku itu memeluk agama Islam sejak abad ke-16 terutama suku Ngaju dan Oloh masih tinggal di pesisir. Mata pencaharian mereka ini adalah dagang. Perdagangan mereka dapat bersifat antara daerah dalam kerajaan Banjarmasin, ataupun dengan luar daerah (luar negeri). Sebagai kesatuan politis, suku-suku di kerajaan Banjarmasin disebut orang Banjar. Walau pun pengertian ini belum baku, namun kenyataan sejarah menunjukkan suatu kajian yang berlainan. Jika dikaji istilah Banjar maka Banjar baru berperan setelah Sultan Suriansyah resmi menjadikan Islam sebagai agama kerajaaan. Karena itu sungguh rasional, jika dikatakan Orang Banjar identik dengan orang Islam atau orang Melayu. Hal ini berlaku pada suku Bukit di daerah Piani Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Mereka tidak mau lagi disebut sebagai suku Bukit jika sudah memeluk agama Islam, tetapi disebut sebagai orang melayu atau orang Banjar. Orang Melayu adalah penduduk pesisir, yang mendukung pendirian kerajaan Banjarmasin dengan “mendaulat” Pangeran Samudera yang kemudian bergelar Sultan Suriansyah. Pada masa itu, dibawah pimpinan Patih Masih. Patih ini Penasihat utama Sultan Suriansyah. Dalam membahas politik perdagangan kerajaan Banjar pada abad ke-17, harus ditelusuri dari pertumbuhan kerajaan Banjarmasin sejak awal. Supremasi Demak dalam tahun 1526 adalah hal penting, mengingat peran Demak dalam penyebaran Islam. Dibawah Sultan Suriansyah batas kerajaan diperluas meliputi Tabalong, Batang Balangan, Alai dan Amandit, daerah-daerah ini semula dikuasai oleh Pangeran Tumenggung, paman Sultan Suriansyah yang telah menyerah kepadanya, dalam pertempuran di Sanghiang Gantung. Selama dekade pertama abad ke-17, secara praktis barat daya, tenggara dan timur Borneo membayar upeti pada kerajaan Banjarmasin.

57 W.P. Groeneveld, op.cit., hal. 106.

58 Kontak politik dari pantai Jawa terutama meliputi upeti dan kerajaan Banjarmasin terhenti sejak keruntuhan pantai utara Jawa dan tumbuhnya kerajaan Banjarmasin. Awal abad ke-17, kerajaan Pajang sebagai pengganti kerajaan Demak, tidak menerima upeti lagi dari Banjarmasin. Supremasi Jawa terhadap Banjarmasin, dilakukan lagi oleh Tuban pada tahun 1615. Pada tahun itu, Tuban berusaha menaklukkan Banjarmasin dengan bantuan Madura dan Surabaya, tetapi gagal karena mendapat perlawanan yang sengit. Nafsu untuk hegemoni atas Borneo dihilangkan oleh Sultan Agung Mataram (1613 – 1646), yang mengembangkan kekuasaan pemerintahan Jawa sesudah mengalahkan Jepara dan Gresik (1610), Tuban (1619), Madura (1924) dan Surabaya (1625).59 Walaupun demikian, ternyata pada tahun 1622 Mataram kembali merencanakan program penjajahannya. Nafsu penjajahan yang dimunculkan Mataram itu, bukan saja atas pelabuhan-pelabuhan pantai utara Jawa, tetapi juga kerajaan sebelah selatan, barat daya dan tenggara Borneo, dan Sultan Agung menegaskan kekuasaannya atas Sukadana tahun 1622. Seiring dengan hal itu, Panembahan mengklaim Sambas, Lawei, Sukadana, Kotawaringin, Pambuang, Sampit, Mendawai, Kahayan Hilir dan Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut, Satui, Asam-asam, Kintap dan Sawarangan sebagai vazal dari kerajaan Banjarmasin, hal ini terjadi pada tahun 1636. Klaim panembahan atas daerah-daerah tersebut, karena merasa telah memiliki kekuatan yang cukup untuk menghadapi serbuan dari kerajaan lain, utamanya dari pulau Jawa. Kekuasaan tersebut, terletak pada aspek militer atau angkatan perang yang cukup banyak dan ditunjang aspek ekonomi yang mulai maju di bidang perdagangan. Sejak tahun 1631 Banjarmasin bersiap-siap menghadapi serangan Mataram secara besar-besaran, tetapi karena kekurangan logistik, maka rencana serangan dari Mataram sudah tidak ada lagi. Menurut Goh Yoon Pong60 sesudah tahun 1637 terjadi migrasi dari Jawa secara besar-besaran sebagai akibat dari korban agresi politik Sultan Agung. Kedatangan imigran dari Jawa ini mempunyai pengaruh yang sangat besar dari sebelumnya, dan dapat dikatakan bahwa pelabuhan-pelabuhan Borneo menjadi pusat difusi kebudayaan Jawa. Disamping menghadapi rencana serbuan-serbuan dari Mataram, kerajaan Banjarmasin juga harus menghadapi kekuatan Belanda. Perkenalan pertama orang Banjar dengan Belanda terjadi ketika beberapa pedagang Banjar melakukan aktivitas perdagangan di Banten dalam tahun 1596. Akibat sikap Belanda yang sombong menyebabkan mereka tidak memperoleh lada di Banten tersebut.

58 Goh Yoon Pong, Trade and Politics in Bandjermasin 1700-1747, Disertation University of London, 1969, hal. 32. 59 Goh Yoon Pong, ibid., hal. 33.. 60 Goh Yoon Pong, ibid., hal. 34.

Atau dengan kata lain para pedagang di Banten tidak mau menjual lada kepada para pedagang Belanda. Sementara itu di pelabuhan Banten berlabuh dua buah jung dari kerajaan Banjarmasin yang dibawa pedagang-pedagang Banjar. Dua jung tersebut memuat lada yang merupakan “dagangan primadona” kerajaan Banjarmasin pada abad ke-17. Karena tidak memperoleh lada di Banten, maka Belanda merampok lada dari dua buah jung tersebut. Peristiwa ini, kesan awal orang Banjar terhadap Belanda, sebagai kesan yang buruk. Bagi Belanda sendiri, pertemuan dengan orang Banjar tersebut menambah informasi tentang asal-usul datangnya lada itu, sehingga timbul keinginan untuk mengetahui daerah Banjarmasin. Untuk itu, Belanda mengirim sebuah ekspedisi ke Banjarmasin pada tanggal 17 Juli 1607 dipimpin Koopman Gillis Michielzoon. Utusan dan seluruh anggotanya diajak ke darat, dan kemudian seluruhnya dibunuh, serta harta benda dan kapalnya dirampas.61Peristiwa pembantaian terhadap utusan Belanda dengan anggotanya di Banjarmasin itu, menyebabkan orang Belanda hingga tahun 1747, tidak berhasil tinggal lama di Banjarmasin dan dengan demikian terjaminlah kemerdekaan kerajaan Banjarmasin tersebut. Dalam tahun 1612 secara mengejutkan armada Belanda tiba di Banjarmasin rupanya suatu armada yang disiapkan untuk membalas atas terbunuhnya ekspedisi Gillis Michielzoon tahun 1607. Armada ini menyerang Banjarmasin dari arah pulau Kembang, menembaki Kuyin, ibukota kerajaan Banjarmasin. Penyerangan ini menghancurkan Banjar lama atau Kampung Kraton dan sekitarnya, merupakan istana Sultan Banjarmasin, karena itu Sultan Mustain Billah raja Banjarmasin ke-4, bergelar Marhum penembahan, memindahkan ibukota kerajaan Banjarmasin, dari Kuyin yang hancur ke Kayu Tangi atau Telok Selong, Martapura.62Meskipun ibukota kerajaan pindah ke Kayu Tangi, namun aktivitas perdagangan tetap ramai, di pelabuhan Banjarmasin. Hubungan dagang dengan bangsa asing tetap berjalan terutama dengan bangsa Inggris. Tahun 1615 Casirian David telah mendirikan faktory di Banjarmasin. Hubungan dagang dengan Belanda terputus, tetapi diteruskan dengan perantaraan orang-orang Cina. Selain orang Inggris sebagai pedagang, juga telah menetap di Banjarmasin pedagang Denmark, yang semuanya sangat ditakuti Belanda, karena menghancurkan perdagangannya. Tahun 1626, produksi lada Banjar sangat meningkat, sehingga VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie)63 berusaha untuk memperoleh monopoli lada, dan berusaha menghilangkan gabungan semua maskapai-maskapai dagang Belanda.

61 J.C. Noorlander, Banjarmasin en de Compagnie in de Tweede Helft der 18 de Eeuw, N. Dubbeldeman, Leiden, 1935, hal. 5. 62 Goh Yoon Pong, op.cit., hal. 36. 63 Pada tanggal 20 Maret 1602 didirikan VOC

Maskapai dagang disebut juga compagnie; dari kata inilah sebutan Kompeni untuk VOC yang populer di Indonesia. Status VOC adalah Badan Perdagangan, bukan pemerintah atau kekuasaan. Namun inilah awal dari kolonisasi kejadian tahun 1612 penyerbuan Belanda terhadap kerajaan Banjar. Belanda meminta maaf atas perbuatannya merampok kapal kerajaan Banjar yang dalam pelayaran perdagangan ke Brunai 4 Juli tahun 1626. Tetapi meskipun kesalahan dalam pertikaian antara kedua bangsa ini telah hapus, kontrak dagang antara kedua negara belum dapat diwujudkan, karena kapal-kapal Banjar diarahkan menekan harga Belanda, perdagangan kerajaan Banjar diarahkan ke Cochin Cina dan Makassar sehingga Belanda merasa dirugikan akibat perpindahan route dagang kerajaan Banjar itu. Ketika Demak jatuh ke bawah Pajang dan kemudian ke bawah Mataram, Kerajaan Banjar merasa terganggu karena Mataram berusaha untuk menyerbu Banjar. Lebih-lebih setelah Surabaya jatuh tahun 1625 keinginan Mataram menguasai Banjar pada tahun 1629 bertambah besar. Menguasai Banjarmasin berarti menguasai perdagangan lada, dan cara ini merupakan usaha Mataram tahun 1629 terhadap Batavia karena Mataram tidak memperoleh armada laut yang cukup kuat, sedangkan jung-jung Banjar cukup mampu menguasai, itulah pertimbangan Mataram untuk menguasai Banjarmasin. Abad ke-17, abad perkembangan kerajaan Banjarmasin sebagai negara Maritim, negara laut, akibat dari perpindahan route perdagangan, melalui Makassar, Banjarmasin, Patani, Cina atau Makassar terus ke Banten dan India.64 Selanjutnya B. Schrieke65 menjelaskan, Banjarmasin sebagai kerajaan dagang menggantikan kedudukan Gresik, setelah bandar-bandar di pantai utara Jawa dimusnahkan Sultan Agung Mataram. Schrieke sependapat dengan Goh Yoon Pong, bahwa semaraknya pelabuhan atau bandar di Banjarmasin disebabkan bantuan imigran-imigran Jawa yang menjadikan Banjarmasin sebagai pusat modal dan perkapalan mereka. Disamping lada sebagai ekspor andalan saat itu, juga pembuat jung-jung yang amat diperlukan bagi perdagangan dan pelayaran interinsuler.66Dalam perkembangan perdagangan abad ke-17 ini, golongan bangsawan menguasai seluruh perdagangan karena kekuasaan mereka dalam bidang politik dan pengusaha hak apanase yang menghasilkan komoditi ekspor saat itu. Di daerah pedalaman terdapat perkebunan lada yang dikuasai kaum bangsawan seperti di daerah Negara, Alai, Tabalong, sehingga Dijk67 menyebut Pangeran Anom atau Pangeran Suryanata sebagai : “Koning yan het pepergebergte” atau “raja dari pegunungan lada”.

(pemerintah) Belanda atas wilayah yang kemudian disebut Indonesia. Kolonisasi di Indonesia dilakukan oleh badan VOC, negara Belanda (Bataafse Republik dan kemudian kerajaan) dan Kerajaan Inggeris. 64 B.O. Schrieke, Indonesian Archipelago, Part One, The Hague, 1955, hal. 67. 65 B.O. Schrieke, ibid., hal. 30. 66 Willy, The Early Relation of England with Borneo to 1805, Bern, 1922, hal. 100. 67 L.C.D van Dijk, Neerlands Vroegste Betrekkingen met Borneo en Solo Archipel, Cambodja, Siam en Cochin-Cina, Amsterdam, 1862, hal. 48.

Kekuasaan para bangsawan ini sangat besar, karena mereka juga mempunyai pasukan sendiri dan budak-budak yang dipersenjatai. Kekuasaan pasar dan perdagangan, terletak pada wewenang syahbandar yang biasanya dijabat oleh orang asing. Dalam tahun 1625, jabatan syahbandar ini dijabat orang Gujarat Goja Babouw dengan gelar Ratna Diraja. Syahbandar memiliki wewenang dalam bidang perdagangan dan monopoli penjualan dan pembelian bangsa asing sangat tergantung padanya. Kompeni Belanda berusaha untuk memperoleh monopoli dengan Kerajaan Banjar, usaha ini untuk menekan perdagangan Banjar yang sampai ke Cochin-Cina. Tetapi ketika wakil Kompeni Belanda G. Corszoon tiba di Banjarmasin pada bulan Juli 1633, ternyata monopoli itu telah diberikan kepada Orang Makassar. Di sini terlihat siasat Sultan bahwa kedatangan Kompeni Belanda hanya digunakan sebagai tameng dari serbuan Mataram semata. Sultan tetap berprinsip bahwa perdagangan harus bebas. Untuk mengantisipasi sikap Sultan ini, Kompeni Belanda memamerkan armadanya dengan mendatangkan 6 buah kapal dalam bulan Januari 1634 tetapi sungai penuh dengan penghalang berupa batang kayu besar sehingga sulit masuk ke Banjarmasin, dan Sultan telah siap menghadapinya dengan 3.000 orang pasukan. Pertemuan antara Sultan dengan Pool pimpinan armada Belanda, bahwa Belanda akan diberi monopoli asal Belanda bersedia menjamin keamanan pelayaran Orang Banjar terhadap serangan orang Jawa dan Makassar. Perjanjian selanjutnya baru disepakati pada 4 September 1635. Sultan diwakili oleh Syahbandar Ratna Diraja Goja Babouw dan pertemuan diadakan di Batavia. Inilah kontrak dagang pertama yang diadakan Kerajaan Banjar dengan Kompeni Belanda. Kompeni Belanda di wakili oleh : Hendrik Brouwer, Anthonie van Diemen, Jan van der Burgh, Steven Barentszoon.

Dalam perjanjian antara lain disebutkan :

a. Banjarmasin tak akan menjual atau mengekspor ladanya selama di Banjarmasin masih ada orang-orang VOC ataupun kapal-kapalnya.

b. Peminjaman uang sejumlah 3.000 real kepada Sultan yang akan dibayar kembali dengan lada seharga 5 real sepikulnya.

c. Pinjaman ini yang dibelikan kepada picins dan barang-barang lainnya atas nama Sultan boleh diangkut tanpa bea oleh kapal-kapal VOC.

Pada awal abad-17, perdagangan di Banjarmasin dimonopoli orang-orang Cina. Besarnya volume perdagangan lada yang diangkut ke Cina, merupakan dorongan peningkatan penanaman lada. Jung-jung Cina mengangkat ke Banjarmasin barang-barang porselen, yang sangat laku di Banjarmasin sehingga rata-rata 12 buah jung Cina tiap tahun datang ke Banjarmasin. Pengaruh golongan Cina sangat besar dan menentukan perkembangan politik kerajaan Banjar. Bahkan Sultan, sering menggunakan golongan Cina untuk menghadapi lawan politik dalam negeri, maupun menghadapi politik perdagangan luar negeri.68Pesatnya perdagangan di Banjarmasin, mendatangkan dan menghasilkan kekayaan yang berlimpah ruah. John Andreas Paravicini utusan yang dikirim VOC untuk audiensi dengan Sultan Banjarmasin saat itu menulis laporannya tentang kraton Sultan di Kayu Tangi : “.....mula-mula barisan tombak berlapis perak, dibelakangnya barisan tombak berlapis emas. Anggota penyambut mengiringi saya dan tiba dibahagian pertama kraton, dengan diiringi dentuman meriam dan musik yang merdu. Kemudian diiringi lagi oleh pengawal mereah bersenjatakan perisai dan pedang. Setelah tiba dibahagian kedua kraton, disambut musik yang merdu serta diterima oleh pengawal yang lebih besar, dan diantarkan oleh pasukan pengawal biru kebahagian kraton yang merupakan ruang menghadap. Tidaklah dapat dilukiskan keindahan yang dipamerkan dalam upacara ini. Ruang menghadap yang dinding-dinding dan lantai-lantainya ditutup dengan permadani keemasan, juga piring-piring mangkok hingga tempat ludah dari emas. Tempat sirih dan bousette dari emas yang dihiasi yang tak ada bandingnya. Barisan pengawal pribadi Sultan. Selir-selir Sultan berhias emas intan yang mahal sekali, bangku indah yang tak terbanding, tempat pangeran-pangeran yang indah duduk, tempat duduk para pembesar kerajaan. Banyaknya alat kerajaan, pembawa senjata-senjata kerajaan dan lambang kerajaan, semuanya itu ditata, dihias dengan berlian yang mahal dan dihias dengan emas, dan akhirnya mahkota kerajaan Banjar yang terletak di samping Sultan, di atas bantal-bantal beledru kuning yang dihiasi denga rumbai-rumbai hingga membuat seluruhnya suatu pemandangan yang mengagumkan di dunia.69Dalam abad ke-17, jenis perdagangan adalah lada. Kerajaan Aceh misalnya, menguasai daerah lada di Sumatera Utara dan Sumatera Barat hingga Bengkulu dan sebagian besar pantai barat Semenanjung Malaka. Banten menghasilkan lada sendiri, kesultanan Petani di Pantai Timur Malaka juga berupaya menghasilkan tanaman lada, yang pada saat itu sangat laku di pasaran di kawasan Nusantara, yang dibeli oleh pedagang-pedagang Jawa, Cina dan Eropa.70 Demikian halnya dengan kesultanan Banjarmasin, mengandalkan lada sebagai komoditi ekspor. hal ini ditunjang dengan pemakaian dan pemanfaatan lada dunia, yang dalam abad ini sangat luar biasa di Eropa. Karena itu pula, perdagangan lada sangat mempengaruhi perkembangan politik kesultanan Banjar.

68 E.B. Kielstra, De Ondergang v/h Banjarmasinsche Rijk, Indisch Gids, 1892, hal. 133-134. 69 M.Idwar Saleh, Banjarmasin, Selayang Pandang Mengenai Bangkitnya Kerajaan Banjarmasin, Posisi, Fungsi dan Artinya Dalam Sejarah Indonesia Dalam Abad ke-17, Balai Pendidikan Guru, Bandung, 1958, hal. 55. 70 Prajudi Atmosudirdjo, Sejarah Ekonomi Indonesia Dari Segi Sosiologi Sampai Akhir Abad XIX, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, hal. 64-65.

Pokok pangkal pertikaian antar-keluarga kraton dan perebutan kekuasaan, pertikaian menghadapi Belanda semuanya bersumber dari sengketa penghasilan dari perkembangan perdagangan ini. Karena itu, perdagangan lada, disamping sumber kemakmuran dan kekayaan, juga menjadi sebab-musabab pertikaian dan keruntuhan pula. Jalur perdagangan kesultanan Banjarmasin sampai ke Cochin Cina, disamping perdagangan di seluruh Nusantara. Para pedagang yang ikut meramaikan perdagangan di kesultanan Banjarmasin terdiri dari : orang-orang Cina, Siam, Johor, Jawa, Palembang, Portugis, Inggris dan Belanda. Jenis-jenis bahan perdagangan yang diperdagangkan selain lada antara lain : emas, intan, cengkeh dan pala, mutiara, kamfer, bezoin, drakendoed, poreo, lilin, barang anyaman. Sedangkan barang-barang impor berupa : batu agiat merah, gelang, cincin, tembaga, batu karang, porselen, beras, candu, garam, gula, asam, kain dan pakaian. Diantara para pedagang tersebut, nampak sekali ketamakan orang-orang Belanda, yang ingin selalu monopoli perdagangan, dengan cara-cara bersaingan yang tidak sehat, sehingga persaingan dagang itu selalu diakhiri dengan permusuhan dan pemusnahan loji-loji, kapal-kapal seperti yang terjadi tahun 1638, 1694 dan 1707 terhadap loji-loji dan kapal-kapal yang dimiliki Belanda, Portugis dan Inggris. Persaingan dagang sangat ketat, karena selama abad ke-17 perdagangan bebas merupakan politik kerajaan yang dipegang teguh. Campur tangan kerajaan boleh dibilang tidak terlalu ketat terhadap dunia perdagangan, namun peranan syahbandar, sangat menentukan terhadap maju mundurnya perdagangan di pelabuhan, khususnya di kesultanan Banjarmasin. Mendekati tahun 1628, hasil lada yang diproduksi kesultanan Banjarmasin terus meningkat, sehingga pada saat itu Banjarmasin penghasil lada terbesar di Indonesia bagian tengah. Selain orang-orang Cina, lada diangkut pula ke Jepara, Makassar dan Batavia, yang merupakan daerah-daerah pemasaran lada. Ketika VOC menurunkan harga lada, pedagang Banjar memindahkan perdagangannya ke Cochin dan menyebabkan perdagangan kontinental menjadi ramai. Keberanian VOC menurunkan harga lada, seiring pula dengan kekuasaannya di pulau Jawa. Kompeni dagang Belanda ini, berupaya menjalanka taktik-taktik perdagangan, dan sedikit demi sedikit ikut pula mencampuri urusan-urusan istana. Hal ini terbukti pada tahun 1641, Malaka jatuh ke tangan VOC, yang sebelumnya dikuasai Portugis. VOC yang dimiliki oleh pedagang-pedagang Belanda ini, bersaing secara kotor dan berebut kekuasaan dengan sesama bangsa Eropa sendiri. Jatuhnya Malaka, menyebabkan terjadinya perpindahan pusat perdagangan ke arah Timur dengan pusat perdagangan Makassar, dan Makassar sebagai satu-satunya pusat perdagangan bebas di luar pengaruh VOC. Dan Banjarmasin sebagai penghasil lada terbesar merupakan daerah yang dapat melayani perdagangan lada dunia secara besar. Karena pesatnya dan meningkatnya permintaan lada dunia, maka tanah-tanah apanase umumnya ditanami lada, dan perhatian pemilik apanase memusatkan pada perkebunan lada, dan hal ini mengakibatkan produksi pertanian (padi) menjadi menurun, sehingga tentu saja terjadi ketidakseimbangan antara produksi lada dengan produksi beras. Konsekuensinya, maka kesultanan Banjarmasin kekurangan beras, sehingga rakyat tergantung pada pemasukan beras dari luar, terutama dari Kotawaringin, Jawa dan Makassar. Tahun 1665 beras masuk ke kesultanan Banjarmasin dengan berbagai kualitas. Harga beras yang paling putih dengan kualitas yang tinggi, seharga 9 sampai 10 ringgit sepikul. Transaksi jual beli menggunakan mata uang. Untuk pembelian lada, emas dan hasil lainnya dipergunakan mata uang real Mexico, tetapi orang Banjar juga menggunakan mata uang real Maluku yang dianggap baik mutunya. Mata uang Cina Picins, dari bahan timah sangat umum dipakai di dalam wilayah kesultanan Banjarmasin. Harga valuta asing pada tahun 1663 di Banjarmasin untuk 1 ringgit, dengan kadar perak lebih banyak dari real berharga 12.500 picins, sedangkan sebelumnya 30.000 picins. Pemakaian mata uang ringgit dipopulerkan oleh Opperkoopman Soop, ketika berada di kesultanan Banjarmasin - Kayu Tangi, Martapura tahun 1636.71 Pada tahun 1663 harga emas se-tail sama dengan 16 ringgit. Lada berharga 16 ringgit untuk 180 gantang. Selain itu pula, kain-kain dari India dan batik Coromandel, sangat terkenal dan paling laku di Banjarmasin. Perdagangan kain, mula-mula dipegang oleh Portugis, tetapi setelah Malaka jatuh kepada VOC tahun 1641, maka perdagangan kain dipegang VOC dan saat itu dapat dijadikan sebagai alat penukar. Dengan demikian perdagangan lada pada abad ke-17, sangat mewarnai corak tumbuh dan berkembangnya kesultanan Banjarmasin. Orang Banjar yang sebagian besar pada mulanya bertani dan bercocok tanam padi, mengubah usahanya dengan berkebun lada, terutama yang tinggal di daerah-daerah yang dalamnya potensial untuk tanaman lada, seperti Tabanio, Pleihari, Pengaron, Alai, Buntok dan sebagainya. Petani perkebunan ini menjualnya kepada pedagang-pedagang Banjar lainnya, yang bertugas sebagai “pambalantikan” atau makelar (agen pembelian). Agen-agen ini, menjualnya ke pelbagai pedagang asing lainnya. Walau demikian, memang ada saja para pedagang asing yang langsung membeli kepada petani perkebunan. Karena itu pula, perdagangan barter, masih berlaku, sesuai dengan kesepakatan antara penjual dengan pembeli. Nilai intrinsik mata uang, lebih dihargai dan diterima, daripada nilai nominalnya. Atau setidak-tidaknya, nilai nilai nominal suatu mata uang harus sama dengan nilai intrinsiknya. Yang harus digarisbawahi adalah pengertian petani perkebunan. Petani perkebunan di kesultanan Banjar, sebagian besar adalah para bangsawan yang memiliki tanah apanase yang cukup luas.

71 B.O. Schrieke, op.cit., hal. 68..

Karena itu, profil kefeodalan Banjarmasin diwarnai oleh kepemilikan terhadap tanah apanase, yang menghasilkan kebun-kebun lada, dan pada gilirannya mereka ini juga pedagang-pedagan yang menjual ladanya kepada pedagang asing. Kenyataan ini, merupakan khas feodalisme Melayu, yang sering memiliki darah bangsawan, punya tanah apanase yang luas, dan sebagian pedagang. Justru ini hal yang menyebabkan terjadinya persaingan dan pertikaian antar bangsawan, yang “seketurunan” itu. Persaingan tidak hanya masalah tahta tetapi juga harta kekayaan, utamanya masalah-masalah perdagangan lada.

1. Politik Perdagangan Menghadapi Orang Asing

Pada akhir abad ke-17 daerah Banjar mulai dikenal secara umum sebagai pusat perdagangan. Baik pada masa kerajaan maupun setelah diperintah secara langsung oleh pemerintah Hindia Belanda. Bertahannya perdagangan selama berabad-abad itu direncanakan potensi wilayah itu yang sifatnya simbiotis, daerah pedalaman sebagai penghasil yang terus menerus memasok daerah pesisir yang berfungsi sebagai pusat perdagangan. Mula-mula merupakan perdagangan lokal, kemudian menyebar ke bagian pulau-pulau yang lain di wilayah Nusantara, produksi daerah pedalaman dan perdagangan di pesisir menjadi kian besar ketika orang-orang barat yang merupakan konsumen besar mulai mengarahkan pandangannya ke arah Banjar. Pola organisasi, penentuan jenis tanaman senantiasa berubah selama kurun waktu 1700-1900-an. Tetapi semua jenis komoditi perdagangan itu sebagai keseluruhan tetap merupakan dasar utama perekonomian daerah Banjar. Tulisan tentang daerah Banjar yang mengambil pokok pembicaraan tentang kegiatan ekonominya bukanlah hal yang baru. J.T. Lindblad misalnya secara panjang lebar memaparkannya beserta daerah yang sekarang termasuk Kalimantan Timur. Uraiannya terutama membicarakan kondisi perekonomian di daerah Banjar setelah berakhirnya kekuasaan raja-raja Banjar. Sedang mengenai keadaan ekonomi sebelum masa itu dengan panjang lebar pula telah dituliskan oleh Noorlander dan Goh Yoon Pong. Penulis pertama banyak bercerita tentang segala aktivitas orang-orang Belanda selama masa pasang surut antara orang-orang VOC dengan para penguasa di kerajaan Banjar digambarkan dengan cukup jelas. Sedangkan penulis kedua memusatkan perhatiannya pada perdagangan lada di daerah kerajaan Banjar. Diuraikan tentang hubungan perdagangan antar bangsa yang terjadi di pelabuhan-pelabuhan Banjar. Dengan dasar pada karya-karya yang terdahulu, mengenai aktivitas perdagangan di daerah Banjar, selama kurun waktu dua abad lebih sedikit. Bagaimana bentuk maupun masa sesudahnya. Siapa pelaku-pelaku perdagangan selama kurun waktu itu. Tentu saja dalam hal ini juga menyangkut mengenai jenis komoditi perdagangan apa saja yang mengisi kegiatan perdagangan selama waktu yang cukup lama itu. Persoalan-persoalan itu secara berturut-turut akan disajikan dalam tulisan berikut. Majunya perdagangan Banjar pada abad ke-17 tentunya membawa perubahan bagi kesultanan Banjarmasin. Perubahan dalam bidang ekonomi, digambarkan dengan kemakmuran kesultanan Banjarmasin dengan kemegahan istana serta perangkat-perangkatnya, dan dikenalnya mata uang kian meluas telah mendorong iklim usaha dan produksi yang beraneka ragam. Produksi lada, rotan dan damar semakin pesat guna memenuhi permintaan pasar. Akibatnya menggiurkan para pedagang asing, karena itu perlu pula ditelusuri, bagaimana politik perdagangan kesultanan Banjarmasin dalam menghadapi bangsa asing. Mataram yang meluaskan wilayah kekuasaannya dan menaklukkan pantai utara Jawa, tahun 1625 menaklukkan Surabaya. Selain itu juga, menaklukkan Sukadana 1625, sehingga kesultanan Banjarmasin menaruh “prasangka” akan diserang oleh Mataram. Untuk itu kesultanan Banjarmasin mengirim utusan ke Batavia, untuk merundingkan bantuan VOC, dalam rangka siap siaga menghadapi serbuan Mataram. Situasi seperti ini yang selalu diinginkan VOC, agar memperoleh kesempatan monopoli lada. Bulan Juli 1633 G. Corszoon utusan VOC tiba di Banjarmasin, dan berupaya membujuk Sultan agar memberikan hak monopoli kepada VOC, namun Sultan menolak, karena hak monopoli telah diberikan kepada Makassar. Sultan sebetulnya hanya menjalankan taktik, agar kapal VOC menjadi perisai bagi kesultanan Banjarmasin, dengan tujuan Mataram akan gentar dan berfikir dua kali untuk menyerang Banjarmasin. VOC yang berminat terhadap monopoli lada, terus berupaya mencari jalan, agar monopoli lada di Banjarmasin dapat dikuasainya. Dalam usaha memperoleh lada itu, VOC menjalankan taktik demonstrasi kekuatan dengan mengirimkan 6 buah kapalnya, pada bulan Januari 1634 kapal-kapal itu tiba di pelabuhan Banjarmasin. Usaha VOC untuk memasuki sungai kembali menemui kegagalan, karena muara sungai Kuyin penuh dengan cerucuk (penghalan), sehingga kapal-kapal VOC tidak bisa merapat ke pelabuhan. Dan karena itu kampung Muara Kuyin itu disebut Kuyin Cerucuk. Kata Kuyin diambil dari bahasa Oloh Ngaju. Kontrak dagang pertama baru berhasil dilakukan VOC setelah mendapatkan tuan syahbandar Ratna Diraja Goja Babouw tanggal 4 September 1635. Isi kontrak itu, antara lain, bahwa selain mengenai pembelian lada dan tentang bea cukai, VOC juga akan membantu kesultanan Banjarmasin untuk menaklukkan Pasir, dan melindunginya terhadap serangan Mataram. Namun kedatangan kapal Pearl Inggris di Banjarmasin, Tewseling dan Gregory tanggal 17 Juni 1635 menambah masalah baru, sebab Inggris juga meminta diperbolehkan secara resmi, untuk ikut berdagang dan mendirikan loji, yang bagi VOC tentunya membahayakan eksistensinya di Banjarmasin. Sultan memberi izin pada VOC membangun loji, sedangkan terhadap Inggris Sultan sangat marah. Hal ini disebabkan Inggris telah menghasut orang Makassar, agar menyerang Banjarmasin. Penolakan Sultan atas Inggris tidak seluruhnya disetujui kerabat istana Banjarmasin, sehingga menimbulkan klik-klik istana. Sebagian anggota Dewan Mahkota memihak Inggris seperti Pangeran Marta Saharyu, Raja Kotawaringin dan Raja Sukadana. Klik pro Inggris ini bertambah besar, hasrat perdagangan bebas, yang menyebabkan munculnya Contract Craemer Opperkoopman VOC memaksakan agar kontrak tahun 1635 diberlakukan. Pelayaran perdagangan Banjar ke Batavia diberi VOC surat pas, sedangkan ke Cochin Cina tidak diberikan meskipun Sultan memintanya. Keadaan ini menunjukkan sikap VOC telah memaksakan monopoli perdagangannnya, hingga tidak mengizinkan bagi pedagang Jawa, Cina, Melayu, Makassar untuk menjalankan perdagangannya dengan kesultanan Banjarmasin. Ketika Contract Craemer menolak permintaan Sultan untuk mengirimkan lada ke Makassar, pecahlah perang anti VOC, pada tahun 1683. Sebanyak 108 orang Belanda, 21 orang Jepang dibunuh, dan loji VOC dibakar serta penghancuran terhadap kapal-kapal VOC. Peristiwa ini sangat merugikan VOC. Kerugian VOC ditaksir sebesar 160.000,41 real. Dalam hal ini hanya 6 orang Belanda di Martapura yang selamat, karena mau di-Islamkan secara paksa.72 Besar kemungkinan, pembantaian terhadap orang-orang VOC dan Jepang tersebut, selain dilatarbelakangi faktor ekonomi (perdagangan) juga faktor perbedaan agama dan adat-istiadat orang-orang Belanda yang tidak beradaptasi dengan adat-istiadat di Banjarmasin. Apalagi, ditambah dengan perilaku VOC yang selalu ingin monopoli atau “kuluh” dalam perdagangan lada. Taktik yang dilakukan kesultanan Banjarmasin untuk melepaskan diri dari politik VOC, dan menghindar dari pedagang-pedagang Inggris serta Portugis, menyebabkan hubungan Banjarmasin dengan Mataram menjadi normal kembali. Karena taktik tersebut, sehaluan dengan sikap Mataram yang anti terhadap para pedagang asing, khususnya VOC. Kejadian tahun 1638 sangat merendahkan martabat bangsa Belanda dan Belanda berusaha menghancurkan Kerajaan Banjar sebagai balas dendam terhadap pembantaian orang-orang Belanda tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan Belanda adalah menyebarkan surat kepada Raja-raja Nusantara yang selama ini bersahabat baik dengan Belanda. Surat yang ditujukan kepada Raja-raja Nusantara itu berbunyi, antara lain isinya : Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia (Raad van Indie) dengan ini memberitahukan kepada Raja-Raja Nusantara, terutama di daerah-daerah VOC menjalankan perdagangan, bahwa :

a. Antara VOC dan Kerajaan Banjar pada tahun 1653 telah diadakan suatu kontrak dagang.

72 M. Idwar Saleh, op.cit., hal. 70.

b. Kontrak itu menyatakan diberikannya monopoli lada kepada VOC dengan penetapan harga 5 real sepikul dan bea cukai 7% untuk Sultan. Di Martapura dibuat sebuah loji yang dengan orang-orang VOC beserta barang dagangannya dibawah perlindungan Sultan. VOC mengerahkan sebuah kapal perang untuk menjaga muara sungai Banjar terhadap serangan Mataram.

c. Bahwa Sultan telah melakukan tindakan mengingkari kontrak 1635 itu dengan tindakan kekerasan pada tahun 1635 menghancurkan loji di Martapura serta membunuh orang-orang Belanda serta merampas milik VOC 100.000 real.

d. Karena itu VOC akan membalas dengan segala kekuatannya dan minta bantuan kepada raja-raja Nusantara yang bersahabat dengan dia, bukan menghentikan bantuan senjata saja, melainkan diminta pula agar raja-raja Nusantara ini melarang rakyatnya berdagang ke Martapura, sebelum kota itu menjadi puing-puing dan hancur berantakan dan dinasti raja-raja musnah. Barulah sesudah itu VOC akan berdamai dengan rakyat Kerajaan Banjar.

73Tindakan Kerajaan Banjar dengan cara yang spesifik ini untuk melepaskan diri dari segala ikatan monopoli, dilanjutkan dengan usaha mengajak Sultan Makassar bekerjasama menghancurkan perdagangan Belanda. Sultan mengirim utusan ke Sultan Makassar dipimpin oleh nakhoda Bahong. Belanda sangat marah atas tindakan Kerajaan Banjar ini, dan membuat maklumat yang ditujukan kepada Raja-Raja Nusantara yang disebut insinuasi mengenai pembunuhan orang-orang Belanda oleh Raja Martapura. Kata-kata yang kasar dan kemarahan mendalam disebutkan dalam surat itu : “...seperti pembunuh dan manusia binatang tetapi juga sebagai si kikir yang tak berperikemanusiaan dan perampok barang-barang milik orang asing. Darah mereka terbunuh menangis di muka Tuhan....sehingga mereka tidak mungkin berdamai, kecuali Martapura hanya tinggal tumpukan-tumpukan puing dan Sultan yang terkutuk itu dan turunannya diusir atau dibunuh oleh rakyatnya sendiri. Kepada pemimpin ekspedisi penghukum Banjarmasin diberikan instruksi cara menyiksa yang seteliti-telitinya dan perintah itu ditutup dengan kalimat : “Tuhan melindungi perjalanan tuan dan memberikan kemenangan atas penghianat-penghianat jahat itu Amin” Ekspedisi penghukuman atas Banjarmasin itu berupa blokade yang tak berarti dalam melakukan tugasnya. Mereka hanya menemukan dan menangkap 77 orang Banjar laki-laki dan perempuan yang tak mengerti persoalan politik dari perahu nelayan yang sedang berlayar. Orang-orang yang ditangkap inilah yang menerima instruksi penyiksaan itu dengan siksaan yang paling keji tak berperikemanusiaan.

73 M. Idwar Saleh. ibid., hal. 134.

Mereka disiksa dengan cara memotong kuping, tangan, mengerat-kerat hidung, mencungkil mata, seperti yang diinstuksikan Batavia. Setelah disiksa orang-orang ini dikirim ke darat, sehingga menimbulkan panik penduduk setempat. Pada tahun 1683 itu pula Belanda mengirim ekspedisi yang kedua dengan tugas yang sama, tetapi juga gagal karena perlawanan Kerajaan Banjarmasin cukup kuat. Tragedi pembantaian terhadap orang-orang Belanda ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Saidullah atau Ratu Anom (1673-1642). Ancaman Belanda terhadap Banjarmasin, Kotawaringin dan Sukadana, hanya tinggal ancaman belaka, Belanda tidak mampu berbuat lebih banyak. Kemudian Belanda mengubah taktik untuk menutupi kekalahannya dengan mengajukan tuntutan kepada Sultan sebesar 50.000 real sebagai ganti rugi atas tragedi tahun 1683 itu, namun ditolak Sultan. Karena beberapa cara yang dilakukan tidak berhasil, maka pada tahun 1640 Gubernur Jenderal van Diemen memerintahkan agar permusuhan dengan Kerajaan Banjar dihentikan. Usaha Belanda mendekati Kerajaan Banjar dengan hanya menuntut 50.000 rela sebagai ganti rugi kejadian tahun 1683 serta akan melupakan apa yang terjadi, sama sekali tidak mendapat layanan dari Kerajaan Banjar, sehingga akhirnya Belanda mengalah agar kontrak dagang yang lebih menitik-beratkan pada keuntungan dagang dari pada lainnya, yang penting bagi Belanda hubungan dengan Kerajaan perlu dipulihkan agar lada kembali diperoleh. Lebih-lebih Belanda merasa khawatir dengan kehadiran Inggris di Banjarmasin, kalau Belanda tetap berpegang pada prinsip semula untuk menghukum Banjarmasin. Sikap lunak Belanda inilah yang menyebabkan Belanda berhasil membuat kontrak dagang dengan Kerajaan Banjar, pada 18 Desember 1660. Kontrak dibuat dan ditandatangani oleh sultan sendiri yang saat itu dijabat oleh Pangeran Ratu (Penembahan Tapesana) dengan Dirk van Leur yang mewakili VOC Belanda. Dan mengadakan perundingan sehingga menghasilkan persetujuan itu masing-masing dilakukan oleh wakil-wakil dari kedua belah pihak. Kerajaan Banjar diwakili oleh duta Kerajaan Sara Duta Ponbanall Lasmita dan Trasaell, sedangkan pihak VOC diwakili oleh Joan Maetsuycker, Carell Martsinck, A.van Outschoors, Ns. Verburgh, Dirck Jansz, Steur, Pr. Marville dan kontrak ini dibuat di Batavia. Kontrak ini menghapuskan permusuhan antara kedua negara tahun 1638. Demikian pula tuntutan ganti rugi sebanyak 50.000 real terhadap Kerajaan Banjar dihapus. Sejak perjanjian itu VOC diperbolehkan kembali berdagang di Banjarmasin, tetapi bea cukai yang dulunya 7% diturunkan menjadi 5%. Perjanjian ini kemudian diperbaharui lagi di ibu kota Kerajaan Banjar Martapura dan perundingan untuk mencapai persetujuan tersebut dilakukan pada tanggal 16 mei 1661. Sebagai wakil dari pihak Kerajaan Bnajar adalah Caertasaeta mewakili Pangeran Ratu dengan Koopman Evert Michielszoon sebagai wakil VOC.

Isi perjanjian adalah berikut :

a. Semua lada Banjar harus dijual kepada VOC, boleh diangkut sendiri ke Batavia atau ke Malaka.

b. Harga lada ditetapkan yaitu 180 gantang setail emas atau 16 real atau barang lain yang seharga dengan itu.

c. VOC boleh memperdagangkan barang-barangnya, sehingga Martapura, baik dengan kapal maupun dengan mendirikan loji tak boleh ditempat lain.

d. Untuk impor dan ekspor VOC harus membayar bea-cukai sebesar 5%.

e. Bila orang-orang Belanda kedapatan melanggar hukum, raja Banjar tidak menghukumnya, tetapi harus menyerahkan si terdakwa kepada pemimpin loji VOC di Martapura.

f. Bila pegawai atau budak-budak VOC melarikan diri, harus dipulangkan kembali kepada pemimpin VOC di Martapura.

g. Seluruh loji di Martapura dibawah perlindungan Sultan.

74 Dengan adanya perjanjian ini VOC kembali memainkan perannya dalam perdagangan lada dan menguasai perdagangan itu. Bahkan untuk penjualan kain bahan pakaian VOC juga telah menetapkan harga. Meskipun secara umum Sultan tidak menyetujui isi perjanjian ini tetapi karena pengaruh Pangeran Mangkubumi atau Pangeran Maes de Patty, Kontrak ini ditandatangani oleh Sultan. Pangeran Mangkubumi sangat besar pengaruhnya dalam Dewan Mahkota masa itu. Meskipun tahun 1660-an merupakan tahun penuh pertentangan dalam kalangan keluarga istana, namun perdagangan tetap berperan dengan baik. Pada tahun 1661 datang utusan Johor dan Sukadana di Kerajaan Banjar. Utusan Johor menuntut pengembalian harta milik nakhoda Malaka Johor yang mati beberapa tahun sebelumnya, sedangkan utusan Sukadana melaporkan bahwa Sukadana kemudian menjadi daerah pegaruh dari Kerajaan Banjar (1638), begitupula raja-raja Mempawah Kotawaringin. Perebutan kekuasaan abad ke- 17 menghasilkan kompromi, Pangeran Ratu tetap berkuasa di Martapura, sedangkan Pangeran Suryanata (Sultan Agung) berkuasa di Banjarmasin, tambang emas, hasil kebun lada dari daerah pedalaman dan cara ini mematikan perdagangan Pangeran Ratu saingannya. Sehubungan dengan ini Pangeran Suryanata mengirim dutanya ke Batavia Souta Nella dan Nala.

74 M. Idwar Saleh, loc.cit.

Kepada VOC disampaikan surat Pangeran Suryanata yang isinya :

a. Supaya VOC memanggil kembali orang orangnya yang berada di Martapura dan menutup lojinya.

b. Mengenai lada VOC tidak perlu khawatir, karena akan dikirim Sultan sendiri dengan kapal kapal ke Batavia.

a). Meminta agar isi kapal Sultan yang dirampas VOC sekembalinya dari Aceh diberikan kembali dengan perantaraan dutanya.

b). Surat ini menyebutkan pula pemberian Sultan Agung (Pangeran Suryanata) kepada VOC sebanyak 2.000 gantang lada dan dua lembar tikar rotan.

Utusan yang membawa surat Pangeran Suryanata ini terjadi pada tahun 1665, dan hal ini berarti perjanjian yang dibuat tahun 1664 hanya merupakan kertas kosong belaka. Sikap Sultan Agung ini (Pangeran Suryanata) yang meminta VOC keluar dari Banjarmasin, diduga atas motivasi dari Mataram, agar Banjarmasin membuka front terbuka sikap anti VOC. Sikap ini diperlukan sebab kesultanan lainnya terutama Mataram mengalami kemunduran dalam bidang perdagangan akibat sepak terjang Belanda yang selalu memegang monopoli perdagangan. Pada bulan Juli 1665 menurut laporan Residen Gerret Lemmes, tiba tiba Pangeran Suryanata pergi ke daerah Negara untuk membeli lada secara monopoli dari rakyat penghasil lada dan menjualnya kepada pedagang pedagang Makassar, Inggeris, Portugis dan Cina. sedangkan utusan VOC sama sekali tidak diberinya kesempatan memperoleh lada. Bahkan pelabuhan Banjarmasin dipenuhi dengan pedagang pedagang dari segala bangsa dan perdagangan dilakukan secara bebas. Untuk mempertahankan perdagangan bebas ini dan menghapus keinginan VOC untuk memperoleh monopoli, Pangeran Suryanata mengirim utusan ke Banten, meminta bantuan dan mengakui kekuasan Banten atas Banjarmasin. Sekitar tahun 1670-an terjadi perubahan besar di Indonesia Timur yang membahayakan bagi perdagangan bebas Banjarmasin, yaitu jatuhnya bandar internasional Makassar dibawah kontrol sesuai Perjanjian Bongaya, ancaman inilah yang menyebabkan Sultan Suryanata mengirimkan utusan utusannya ke Batavia untuk memperoleh monopoli senjata dan mesiu. Kemunduran Perdagangan di Indonesia Timur ini sebagai akibat dari taktik dan strategi Belanda yang selalu berusaha memperoleh monopoli perdagangan dengan menerapkan politik Divide et impera-nya.

Diduga pula bahwa Sultan Banjarmasin memiliki pandangan, sebagai berikut :

1. Hubungan dagang dengan Belanda, selalu diakhiri dengan peristiwa pembantaian dan permusuhan di kedua belah pihak.

2. Dalam setiap perjanjian kontrak dagang, VOC selalu ingin monopoli, dan tidak memberi peluang terciptanya perdagangan bebas.

3. Adat Istiadat orang orang Belanda, bertentangan dengan adat istiadat orang Banjar, sehingga lambat laun akan timbul konflik budaya.

Pertimbangan pertimbangan tersebut, didasarkan atas kemungkinan dukungan dan kemufakatan Dewan Mahkota, khususnya yang anti VOC. Karena VOC tentu saja tidak berpangku tangan, dan terus menerus mencari peluangan dan dukungan untuk bercokol di Banjarmasin. Meskipun dalam hubungan dengan pedagang pedagang asing terdapat berbagai konflik, namun perdagangan kesultanan Banjarmasin tidak macet. Pertengahan abad ke- 17 Banjarmasin mengalami kemajuan dan kemakmuran yang pesat. Menurut Barra pada tahun 1662 ada 12 jung orang Melayu, Inggeris, Portugis mengangkut lada dan emas ke Makassar. Pelabuhaan Banjarmasin dipenuhi lebih dari 1000 perahu layar, baik perdagangan interinsuler maupun perdagangan inter-kontinental, karena kontrak perdagangan dengan VOC hanya merupakan kontrak kosong. Hal ini terjadi karena kesultanan Banjarmasin tidak terikat terhadap bangsa manapun juga. ia mengacu kepada Perdagangan bebas. semua bangsa boleh berdagang di Banjarmasin dan orang orang Banjar akan bebas pula melakukan hubungan dagang dengan bangsa bangsa lain. Tidak terikat kepada VOC-Belanda, EIC-Inggeris atau portugis. Kesultanan memberikan keleluasaan kepada pedagang (pengusaha) untuk berniaga, dan dengan sendirinya pertumbuhan ekonomi kesultanan akan meningkat, asalkan sistem sistem yang berlaku saat itu berfungsi. Karena itu dari hasil perdagangan inilah kesultanan Banjarmasin mengalami kemakmuran yang pesat, dan akibatnya muncul kemelut politik istana pergeseran dan perebutan kekuasaan, namun walau begitu, dilihat dari luar, Kesultanan Banjarmasin tetap utuh. (Bersambung)



Sumber : Sejarah

Tidak ada komentar: