Senin, September 01, 2008

Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Banjar (Bag. 2)


3. Terbentuknya Kerajaan Banjar dan Lahirnya Kota Banjarmasin

a. Lahirnya Kerajaan Banjar dan Bandar Patih Masih 2840

Maka tersebut Patih Masih orang besarnya di Banjar itu. Maka bernama Banjarmasin karena nama orang besarnya di Banjar itu nama patih masih itu. 2910 Maka ditarik sekalian kaluwarganya sakalian sahabat yang berhimpun sama minum itu oleh Patih Masih itu, kira-kira orang limaratus itu, sama mufakat handak menjadikan raja itu : “Dari pada kita masih menjadi desa, senantiasa kena sarah dengan pupuan maantarkan kahulu, hangir kita berbuat raja, kalau ia ini yang saparti kabar orang itu cucu Maharaja Sukarama yang diwasiatkannya Menjadi raja”. 2915 Maka Patih Masih berkata, serta Patih ampat orang itu sama berkata : “andika Kaula jadikan raja”. 2930 Kata Patih lainnya itu : “Sukarela kaula mati mangarjakan kerajaan andika itu”. 2935 Segala orang itu sama menyambah mewastukan Raden Samudera itu Menjadi raja. Maka disebut orang Pangeran Samudera. 2940 Kata Patih Masih : “Ini bicara kaula kita kajut mudik ka Marah Bahan, kita rabut bandar itu, maka segala orang dagang itu bawa hilir dan orang yang diam di Muara Bahan itu bawa hilir. sudah itu kita berbuat Bandar pula disini.33 Raden Samudera adalah cikal bakal raja-raja Banjarmasin. Dia adalah cucu Maharaja Sukarama dari Negara Daha. Raden Samudera terpaksa melarikan diri demi keselamatan dirinya dari ancaman pembunuhan pamannya Pangeran Tumenggung raja terakhir dari Negara Daha. Awal dari kebencian Pangeran Tumenggung pada kemenakannya sendiri itu ialah ketika Maharaja Sukarama masih hidup mewasiatkan bahwa yang kelak akan Menjadi raja kalau dia mangkat adalah cucunya Raden Samudera. Umurnya waktu itu baru tujuh tahun, pada saat Maharaja Sukarama mangkat. Oleh Mangkubumi Aria Taranggana dinasihatkan agar Raden Samudera melarikan diri ke daerah menghilir sungai melalui Muara Bahan ke Serapat, Balandian, Banjarmasin atau Kuwin.

32 J.J. Ras, op.cit., hal. 426-440.

Aria Tranggana membekali Raden Samudera dengan sebuah perahu, sebuah jala bekal makanan dan pakaian. “... Aria Taranggana itu maka dicarinya Raden Samudera itu dapatnya maka dilumpanya arah perahu tangkasyu maka diberi jala kecil sebuah, parang sabuting, pisau sabuting, pengayuh sabuting, bakul sabuah, sanduk sabuting, pinggan sabuting, mangkuk sabuah, baju salambar, salawar salambar, kalambu sabuting, tapih salambar, tikar salambar, kata Aria Taranggana Raden Samudera tuan hamba larikan dari sini karena tuan hendak dibunuh oleh Pangeran Tumenggung, tahu-tahu menyamar diri, lamun tuan pigi beroleh menjala ...34 Ketika Raden Samudera menyembunyikan diri ke daerah sunyi di daerah Muara Barito, dari Muara Bahan sebagai bandar utama Negara Daha, telah terdapat sejumlah kampung di daerah-daerah muara seperti Balandean, Sarapat, Muhur, Tamban, Kuwin, Balitung dan Banjar. Kampung Banjarmasin atau kampung Melayu merupakan kampung yang khusus karena dibentuk oleh lima buah sungai yakni sungai Pandai, sungai Sigaling, sungai Karamat, Jagabaya dan sungai Pangeran (Pageran) yang kesemuanya anak sungai Kuwin. Kekhususan kedua dari Banjarmasin ini merupakan kampung dari orang Melayu yang pertama dari kampung atau di tengah-tengah kampung Oloh Ngaju di daerah Barito Hilir. Marabahan atau Muara Bahan yang merupakan kampung pemukiman Oloh Ngaju, didirikan oleh Datuk Bahendang Balau, ketua suku Oloh Ngaju yang turun dari Barito. Seperti yang disebut oleh J.J. Ras yang telah mentranskrip Hikayat Banjar, mengapa kampung orang Melayu disebut Banjarmasin. “Maka bernama Banjarmasin karena nama orang basarnya itu nama Patih Masih itu”. Patih Masih adalah Kepala dari orang-orang Melayu atau Oloh Masih dalam Bahasa Ngaju. Sebagai seorang Patih atau kepala suku, tidaklah berlebihan kalau dia sangat memahami situasi politik Negara Daha, apalagi juga dia mengetahui tentang kewajiban sebagai daerah takluk dari Negara Daha, dengan berbagai upeti dan pajak yang harus diserahkan ke Negara Daha. Patih Masih mengadakan pertemuan dengan Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, Patih Kuwin untuk mencari jalan agar jangan terus-menerus desa mereka menjadi desa. Mereka sepakat mencari Raden Samudera cucu Maharaja Sukarama yang menurut sumber berita sedang bersembunyi di daerah Balandean, Sarapat, karena Pangeran Tumenggung yang sekarang Menjadi raja di Negara Daha pamannya sendiri ingin membunuh Raden Samudera.

33 J.J. Ras, op.cit., hal. 398-404. 34 Depdikbud, “Hikayat Banjar”, Seri Penerbitan Museum Negeri Lambung Mangkurat, Banjarbaru, 1981, hal. 70.

Tindakan yang dilakukan ialah memindahkan bandar atau pelabuhan perdagangan, karena ini sangat penting dari segi ekonomis negara. Patih Masih berkata : “Kita kajut ke Muara Bahan, kita rabut bandar itu. Sudah itu kita berbuat bandar pula disini”. Pangeran Samudera dirajakan di kerajaan baru Banjar setelah berhasil merebut bandar Muara Bahan, bandar dari Negara Daha dan memindahkan bandar tersebut ke Banjar dengan para pedagang dan penduduknya. Bagi Pangeran Tumenggung sebagai raja Negara Daha, hal ini berarti suatu pemberontakan yang tidak dapat dimaafkan dan harus dihancurkan, perang tidak dapat dihindarkan lagi. Tentara dan armada sungai dari Pangeran Tumenggung bergerak ke hilir ke sungai Barito dan di hujung Pulau Alalak terjadilah pertempuran sungai besar-besaran yang pertama antara kedua belah pihak dengan kekalahan pihak Pangeran Tumenggung. Sejak itu terjadilah penarikan garis demarkasi dan blokade ekonomis oleh pantai terhadap pedalaman, mulai dari Muara Bahan. Pengalaman dalam pertempuran pertama ini masing-masing pihak mengatur siasat untuk dapat mengalahkan lawannya. Pangeran Tumenggung mempersiapkan pasukan lebih besar lagi, begitu pula Raden Samudera atau Pangeran Samudera berusaha mencari bantuan dari pelosok wilayah Sambas, Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pambuangan, Sampit, Mendawai Sanggauh, Karasikan, Berau, Kutai, Asam-asam, Kintap, Sawarangan, Takisung dan Tabaniau dan berhasil terkumpul pasukan sebesar 40.000 orang. Bantuan terbesar dan mengandung arti yang lebih penting adalah bantuan dari kerajaan Demak, kerajaan Islam terbesar di pantai utara Jawa. Bantuan kerajaan Islam Demak mempunyai pengaruh besar bagi Kalimantan Selatan, sebab bantuan Demak hanya diberikan kalau raja dan seluruh penduduk memeluk agama Islam. Sultan Demak mengirim bantuan seribu orang pasukan dan diiringi oleh seorang Penghulu Islam yang akan meng-Islamkan raja dan penduduk. Dengan kekuatan yang besar tentara berangkat menyongsong air mengalir, sedang gamelan dipalu dengan gembira. Pangeran Samudera turut pula berangkat dengan berkedudukan di dalam sebuah gurap yang diperhiasi dengan tanda-tanda kebesaran diiringi oleh Patih Masih, Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung dan Patih Kuwin masing-masing dengan lencana kebesaran. Pertempuran terjadi di dekat Rantau Sangyang Gantung. Pasukan Pangeran Samudera dapat menembus pertahanan musuh dan menimbulkan korban yang sangat besar. Pangeran Tumenggung kalah, mundur dan bertahan di muara sungai Amandit dan Alai. Kemenangan demi kemenangan berada di pihak Pangeran Samudera dan bendera Tatunggul Wulung Wanara Patih, bendera Pangeran Samudera selalu berkibar. Akhirnya Mangkubumi Negara Daha Aria Taranggana menyarankan kepada rajanya daripada rakyat kedua belah pihak banyak yang mati, lebih baik kemenangan dipercepat dengan mengadakan perang tanding antara kedua raja yang bermusuhan, hal mana kemudian disetujui oleh kedua belah pihak. “... Lamun masih baadu rakyat satu tahun tiada bartantu yang manjadi raja itu. rakyat juga yang binasa karana orang Negeri Daha ini bassuluk barkaluarga itu sampian jua manjadi raja lamun tiada barbanyak tiada barguna sakalian kula, siapa hidup manjadi raja, sudah itu kula lawan Patih Masih”.35 Dengan berperahu ketangkasan, masing-masing dikemudikan Mangkubumi kedua belah pihak, masing-masing berpakaian perang, berpedang, memakai perisai, sumpit tambilahan, keris dan talabang, dengan disaksikan rakyat kedua belah pihak, raja-raja berjumpa di atas sungai Parit Basar. Pangeran Samudera tidak mau melawan, karena melawan Pangeran Tumenggung berarti melawan ayah bundanya sendiri dan mempersilahkan Pangeran Tumenggung membunuhnya tetapi ternyata Pangeran Tumenggung lemah hatinya timbul kasih sayangnya pada kemenakannya sendiri, dan keduanya berpelukan. Pangeran Tumenggung rela menyerahkan kekuasaan dan segala tanda kebesaran kepada kemanakannya sendiri, dan keduanya berpelukan. Terjadilah penyerahan regalita kerajaan terhadap Pangeran Samudera. Pangeran Tumenggung diperintahkan berkuasa di Batang Alai dengan 1.000 orang penduduk. Negara Daha ditinggalkan, menjadi kosong karena semua penduduknya diangkut ke Banjarmasin. Negara Daha lenyap dari sejarah dan tinggal bekas-bekasnya di daerah Pematang Patung di Parit Basar Garis, km 21 sekarang.36 “... Kata Pangeran Samudera merakak andika Tumenggung tombak kula atau pedang kula, karana dahulu sampiyan kasini, sampian masih handak membunuh kula, sakian ulun tuluskan karsa andika, tapi kula tiada handak durhaka pada andika, karna kula tiada lupa akan andika itu akan ganti ibu bapa kula, sekarang mau andika bunuh kalaf, maka Pangeran Tumenggung mendengar demikian itu maras hatinya serta ia menangis pedang dan perisai dilepaskannya, maka ia lumpat pada perahu Pangeran Samudera itu serta mamaluk mencium Pangeran Samudera.37 Dengan kemenangan Pangeran Samudera atas Pangeran Tumenggung dan diangkutnya rakyat Daha ke Banjarmasin, maka muncullah kota baru di Banjar. Pangeran Samudera yang sebelumnya telah memeluk agama Islam sebagai suatu persyaratan atas bantuan kerajaan Islam Demak, telah mengganti namanya menjadi Sultan Suriansyah, yang makamnya terletak di Kuwin Banjarmasin. Setelah meninggal terkenal namanya sebagai Penambahan Batu Habang.

35 J.J. Ras, op.cit., hal. 430. 36 M. Idwar Saleh, Banjarmasih, Museum Negeri Lambung Mangkurat, Banjarbaru, 1981/1982, hal. 24. 37 Depdikbud, op.cit., hal. 96.

Timbul pertanyaan kapan Banjarmasin didirikan ? Beberapa sarjana mencoba menjawab pertanyaan ini. Dr. Eisenberger menyebutkan tahun berdirinya Banjarmasin tahun 1595. Encyclopaedie van Nederlands-Indie menyebutnya tahun 1520. Colenbrander dalam bukunya “Koloniale Geschiedenis” juga menyebutkan tahun 1520. Sedangkan J.J. Ras menegaskan bahwa Banjarmasin sebagai keraton ke-3 yang didirikan dengan bantuan Demak, terjadi sebelum abad ke- 16.38 Pendapat Dr. Eisenberger bahwa Banjarmasin didirikan dalam tahun 1959, tidak dapat diterima, karena historis tidak mendukung, dengan alasan sebagai berikut :

a. Apabila kerajaan Islam Demak dianggap sebagai kerajaan yang membantu berdirinya kerajaan Banjarmasin, maka tak mungkin tahun berdirinya Banjarmasin tahun 1588, tauhn itu kerajaan Demak sudah tak ada lagi.

b. Menurut sumber Belanda, bahwa Belanda menyerang Banjarmasin dalam tahun 1612 dan membakar Banjarmasin, mengakibatkan pusat kerajaan dipindah ke Kuliling Benteng, kemudian ke Batang Mangapan dan ke Batang Banyu hulu sungai Martapura. Peristiwa penyerangan ini menurut Hikayat Banjar terjadi pada saat pemerintahan Sultan Musta’in Billah, sultan ke-4 dari kerajaan Banjarmasin.

c. Kalau pendapat Dr. Eisenberger itu benar maka antara tahun 1588 sampai tahun 1612, yaitu selama 24 tahun ada empat orang raja yang memerintah Banjarmasin, yaitu : Sultan Suriansyah, Sultan Rahmatullah, Sultan Hidayatullah dan Sultan Musta’in Billah.

Jangka hanya 24 tahun tidak mungkin hidup antara datu dengan buyut, dimana buyut sudah dewasa dan sudah menjadi Sultan.39 Ketika tahun 1511 Malaka jatuh ke tangan Portugis, maka muncullah kerajaan Islam Aceh, Demak dan Ternate sebagai lawan baru Portugis. Kerajaan Islam Demak memahami bahaya datangnya Portugis ini, karena itu pada tahun 1524 dikirim pasukan ke Jawa Barat dibawah pimpinan Falatehan dan berhasil menaklukkan Banten Girang dan selat Sunda dikuasai. Pada tahun 1527 Falatehan merebut Sunda Kelapa serta memukul mundur Portugis, dan timbullah kenyataan bahwa Portugis tidak berani berlayar melalui jalur Laut Jawa. Tahun 1527 didirikan kota Jakarta oleh Falatehan. Baru ketika Sultan Trenggana tewas pada tahun 1546 ketika mengepung Pasuruan, Portugis kembali menggunakan jalan lama ke Maluku dan berkedudukan di Gresik.

40 38 M. Idwar Saleh, loc.cit. 39 M. Idwar Saleh, ibid., hal. 80-81. 40 BHM. Vlekke, Nusantara, A History of Indonesia, Les Editins A Manteau SA. Bruxelles, 1961, hal. 88.

Apabila tahun 1521 Demak menyerang Majapahit, 1524 menyerang dan menaklukkan Banten Girang, 1527 menyerang dan menaklukkan Sunda Kelapa, maka pengiriman armada bantuan pasukan ke Banjarmasin, harus terjadi pada tahun 1526.41Berdirinya Banjarmasin pada tahun 1526 hal itu berarti pula :

a. Hari kemenangan Sultan Suriansyah, cakal bakal raja-raja kerajaan Banjar.

b. Hari diserahkannya regalita kerajaan Daha, dan dirajakannya Pangeran Samudera atau Sultan Suriansyah oleh Pangeran Tumenggung.

c. Hari ketentuan Banjarmasin menjadi ibu kota seluruh kerajaan Banjar, sebagai pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat penyiaran agama Islam dan mata rantai baru dalam menghadapi penetrasi Portugis di Laut Jawa.

Seluruh penduduk Negara Daha diangkut ke Banjarmasin, kecuali 1.000 orang yang tinggal menjadi rakyat Pangeran Tumenggung dan berdiam di daerah Alai. Negara Daha kosong dan hilang ditelan masa, dilupakan orang tempat pusatnya yang sebenarnya dan sungaipun mati tertutup lumpur. Perubahan kebudayaan yang hebat lebih terasa dengan masuknya agama Islam. Kerajaan Banjar sebagai kerajaan yang rakyatnya beragama Islam, berhasil menghancurkan kerajaan Hindu dari Negara Daha. Agama Hindu runtuh dan agama Islam menggantikannya. Candi Agung dan Candi Laras dihancurkan, kebudayaan Hindu lenyap sebagai tak pernah ada kebudayaan itu di Kalimantan Selatan sebelumnya. Banjarmasin didirikan di daerah suku Ngaju, sebagian pegawai kerajaan adalah orang Ngaju. Amalgamasi kebudayaan Banjar sesudah itu menjadi lebih luas dengan perpaduan inti kebudayaan Ngaju, Melayu, Jawa, Maanyan, Bukit Akulturasi ini berjalan dengan damai dan melahirkan kelompok Banjar yang bercirikan agama Islam, bahasa Banjar sebagai pengganti bahasa ibu dengan adat istiadat walaupun masih bersifat tradisional, menganggap diri superior dari kebudayaan Kaharingan yang ada. Banjarmasih atau kampung suku Melayu (banjar = kampung; masih = orang Melayu) sebenarnya terletak diantara sungai-sungai : - Sungai Barito dengan anak sungai Sigaling, sungai Pandai dan sungai Kuyin, dengan, - Sungai Kuyin dengan anak-anak sungai Karamat, Jagabaya dan sungai Pangeran (Pageran). Sungai-sungai Sigaling, Karamat, Pangeran (Pageran), Jagabaya dan sungai Pandai ini pada hulunya di darat pada bertemu, membuat danau kecil bersimpang lima, daerah inilah yang nanti menjadi ibu kota kerajaan Banjar.

41 M. Idwar Saleh, op.cit., hal. 25-26.

42 Sebagai tempat pemerintahan yang pertama ialah rumah Patih Masih di daerah perkampungan suku Melayu yang terletak di antara Sungai Keramat dan Jagabaya dengan Sungai Kuyin sebagai induk Daerah ini yang pada mulanya berupa sebuah banjar atau kampung, berubah setelah dijadikan sebuah bandar perdagangan dengan cara mengangkut penduduk Daha dan seluruh rakyat Daha pada tahun 1526. Menurut Hikayat Banjar, rumah Patih Masih kemudian dijadikan keraton. Rumah tersebut diperluas dengan dibuat Pagungan, Sitiluhur dan Paseban. J.J. Ras berpendapat bahwa Banjarmasin itu berarti “Banjar on the coast”,43 tetapi M. Idwar Saleh berbeda pendapat, bahwa Banjarmasin itu jelas berarti “Kampung Oloh Masih” atau kampung Orang Melayu.44Gambaran tentang kota Banjarmasin sebagai ibu kota Kerajaan Banjar menurut hasil penelitian M. Idwar Saleh adalah sebagai berikut : Kompleks keraton terletak antara sungai Keramat dengan sungai Jagabaya, daerah itu sampai sekarang masih bernama kampung Keraton. Istana Sultan Suriansyah berupa rumah bubungan tinggi, tetapi kemungkinan besar masih berbentuk betang dengan bahan utama dari pohon ilayung. Antara istana dengan sungai terletak jalan, dan dipinggir sungai terdapat tumpukan bangunan di atas air yang dijadikan sebagai kamar mandi dan jamban. Di sebelah sungai Keramat dibuat Paseban, Pagungan dan Situluhur. Mendekati sungai Barito dengan Muara Cerucuk terdapat rumah Syahbandar Goja Babouw seorang Gujarat yang bergelar Ratna Diraja. Di seberang sungai Jagabaya dibuat masjid yang pertama, yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Sultan Suriansyah. Pada tempat dekat pertemuan sungai Karamat dengan Sungai Sigaling, terdapat pasar di atas air tebing, di samping pasar yang umum saat itu di atas air. Pasar di atas air merupakan ciri-khas dari perdagangan Orang Banjar saat itu, sebagaimana juga rumah di atas air. Menyeberang sungai Singgaling, searah dengan keraton, terdapat lapangan luas yang berpagar ilayung, merupakan alun-alun besar tempat mengadakan latihan berkuda dan perang-perangan tiap tahun Senin atau Senenan. Di Sungai Pandai dekat muara terdapat benteng kayu dengan lubang-lubang perangkap. Di seluruh Sungai Kuyin, sungai Pangeran, rakyat sebagian besar tinggal di lanting-lanting, dan sebagian lagi tinggal di betang didarat. Daerah sekitar lima sungai ini digarap menjadi kebun dan sawah. Jumlah penduduk mencapai 15.000 orang setelah orang-orang Daha diangkut ke ibu kota kerajaan.45

42 M. Idwar Saleh, ibid., hal. 40. 43 J.J. Ras, op.cit., hal. 533. 44 M. Idwar Saleh, op.cit., hal. 2. 45 J.J. Ras, op.cit., hal. 438.

Menurut berita dinasti Ming tahun 1618 menyebutkan bahwa terdapat rumah-rumah di atas air yang dikenal sebagai rumah lanting atau rumah rakit hampir sama dengan apa yang dikatakan Valentijn. Di Banjarmasin banyak sekali rumah dan sebagian besar mempunyai dinding terbuat dari bambu atau pelupuh dan sebagian dari kayu. Rumah-rumah itu besar sekali, dapat memuat 100 orang, yang terbagi atas kamar-kamar Rumah besar ini dihuni oleh satu keluarga dan berdiri di atas tiang yang tinggi.46 Kedua macam berita ini menjelaskan kepada kita bahwa, apa yang diberitakan masa dinasti Ming adalah rumah-rumah penduduk di atas rakit yang banyak terdapat di sepanjang sungai. Sedangkan apa yang diberikan oleh Valentijn adalah rumah-rumah betang dari suku Dayak Ngaju. Menurut Willy kota Tatas terdiri dari 300 buah rumah. Bentuk rumah hampir bersamaan dan antara rumah satu dengan lainnya dihubungkan dengan titian. Alat angkutan utama adalah jukung atau perahu. Selain rumah-rumah panjang di pinggir sungai terdapat lagi rumah-rumah lanting sepanjang sungai. Rumah lanting itu diikat dengan tali rotan pada sebuah pohon besar di tepi sungai.47 Hal-hal ini semua menggambarkan tentang kebudayaan sungai dan rawa di sekitar kota Banjarmasin. Gambaran kebudayaan sungai dan rawa ini dimulai sejak abad ke- 16 dan masih terlihat sampai abad ke- 20.

b. Raja-Raja Kerajaan Banjar

Sejak berdirinya kerajaan Banjar pada 24 September 1526 sampai berakhirnya perang Banjar yang merupakan saat lenyap kerajaan Banjar tahun 1905, terdapat 19 orang raja yang pernah berkuasa. Sultan pertama adalah Sultan Suriansyah (1526-1545), raja pertama yang memeluk agama Islam, dan raja terakhir adalah Sultan Mohammad Seman yang meninggal dalam pertempuran melawan Belanda di Menawing – Puruk Cahu dalam tahun 1905. Kerajaan Banjar runtuh sebagai akibat kalah perang dalam Perang Banjar (1859-1905), yang merupakan perang menghadapi kolonialisme Belanda. Sultan Suriansyah sebagai sebagai raja pertama berkeraton di Kuwin Utara sekarang yang dijadikannya sebagai pusat pemerintahan dan pusat perdagangan, sedangkan raja terakhir Sultan Mohammad Seman berkeraton di Menawing-Puruk Cahu sebagai pusat pemerintahan pelarian dalam rangka menyusun kekuatan untuk melawan kolonialisme Belanda.

46 M. Idwar Saleh, op.cit., hal. 42. 47 M. Idwar Saleh, loc.cit.

Raja-raja Banjar sejak berdirinya kerajaan Banjar sampai lenyapnya secara terperinci adalah sebagai berikut :

1. 1526 – 1545 Pangeran Samudera yang kemudian bergelar Sultan Suriansyah, raja pertama yang memeluk agama Islam.

2. 1545 – 1570 Sultan Rahmatullah.

3. 1570 – 1595 Sultan Hidayatullah.

4. 1595 – 1620 Sultan Mustain Billah, Marhum Penambahan, yang dikenal sebagai Pangeran Kacil. Sultan inilah yang memindahkan keraton ke Kayutangi Martapura, karena keraton di Kuwin hancur di serang Belanda pada tahun 1612.

5. 1620 – 1637 Ratu Agung bin Marhum Penembahan yang bergelar Sultan Inayatullah.

6. 1637 – 1642 Ratu Anum bergelar Sultan Saidullah.

7. 1642 – 1660 Adipati Halid (Pangeran Tapesana) memegang jabatan sebagai Wali Sultan, karena anak Sultan Saidullah, Amirullah Bagus Kesuma belum dewasa.

8. 1660 – 1663 Amirullah Bagus Kesuma memegang kekuasaan, 1663. Pangeran Adipati Anum (Pangeran Suriansyah) merebut kekuasaan dan memindahkan pusat pemerintahan ke Banjarmasin, sekitar Sungai Pangeran sekarang, Pemerintahan Martapura dipegang kembali oleh Adipati Tuha samapi 1666.

9. 1663 – 1679 Pangeran Adipati Anum setelah merebut kekuasaan dari Amirullah Bagus Kesuma dan memindahkan keraton ke Banjarmasin bergelar Sultan Agung.

10. 1680 – 1700 Amirullah Bagus Kesuma merebut kekuasaan dari Amirullah Bagus Kesuma dan memindahkan keraton ke Banjarmasin bergelar Sultan Agung.

11. 1700 – 1734 Sultan Hamidullah gelar Sultan Kuning.

12. 1734 – 1759 Pangeran Tamjid bin Sultan Amirullah Bagus Kesuma bergelar Sultan Tamjidillah menggantikan Pangeran Muhammad Aminullah anak Sultan Kuning yang belum dewasa.

13. 1759 – 1761 Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah bin Sultan Kuning.

14. 1761 – 1801 Pangeran Nata Dilaga sebagai wali putera Sultan Muhammad Aliuddin yang belum dewasa tetapi memegang pemerintahan dan bergelar Sultan Tahmidullah.

15. 1801 – 1925 Sultan Suleman Almutamidullah bin Sultan Tahmidullah.

16. 1825 – 1857 Sultan Adam Al Wasik Billah bin Sultan Suleman.

17. 1857 – 1859 Pangeran Tamjidillah.

18. 14-03- 1862 Pangeran Antasari yang bergelar Panembahan Amir Oeddin Khalifatul Mu’mina.

19. 1862 – 1905 Sultan Muhammad Seman.

c. Kerajaan Banjar, Urang dan Bahasa Banjar

Sultan Suriansyah adalah raja pertama dari Kerajaan Banjar dan raja pertama yang memeluk agama Islam. Agama Islam merupakan agama negara dan menempatkan kedudukan para ulama pada tempat yang terhormat dalam negara. Kedudukan agama Islam sebagai agama negara terlihat dengan jelas pada masa pemerintahan Sultan Adam Al Wasik Billah yang mengeluarkan Undang-Undang negara pada tahun 1835 yang kemudian dikenal sebagai Undang-undang Sultan Adam. Dalam Undang-undang itu jelas terlihat hampir pada setiap pasal-pasalnya bahwa sumber hukum yang dipergunakan adalah hukum Islam. Karena itulah kerajaan Banjar disebut sebagai kerajaan Islam, karena itu pulalah urang Banjar dikenal sebagai orang yang beragama Islam. Kerajaan Banjar adalah kerajaan terakhir yang pernah ada di daerah Kalimantan Selatan. Kerajaan tertua yang pernah ada adalah kerajaan Tangjungpura atau Tanjungpuri, sebuah kerajaan migrasi orang-orang Melayu dengan membawa unsur kebudayaan Melayu dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi. Banyak pendapat yang berbeda tentang dimana lokalisasi kerajaan Tanjung Pura ini. Salah satu diantara pendapat itu adalah bahwa pusat kerajaan Tanjungpura itu adalah kota Tanjung ibu kota Kabupaten Tabalong sekarang.48 J.J. Ras menyebutkan bahwa Tanjung merupakan sebuah daerah tempat migrasi melayu yang pertama ke Kalimantan. Mpu Prapanca menyebutkan dalam Negarakartagama (1365) dengan nama Nusa Tanjung Negara dan ini identik dengan Pulau Hujung Tanah, dengan kota terpenting adalah Tanjungpuri. Pada bagian lain Mpu Prapanca menyebutkan pula nama Bakulapura adalah nama lain dalam bahasa Sanskerta untuk menyebutkan nama Tanjungpura. Kalau kerajaan Tanjungpura merupakan migrasi Orang Melayu Sriwijaya, hal ini berarti pula bahwa ke daerah ini telah masuk unsur kebudayaan agama Budha sebagai agama dari kerajaan Sriwijaya. Migrasi Melayu ke Kalimantan diperkirakan antara abad ke- 12 – 13 Masehi. Pada abad ke- 13 muncul pula kerajaan Negara Dipa yang kemudian diganti oleh Negara Daha. Negara Dipa berlokasi di sekitar Amuntai sedangkan Negara Daha berlokasi sekitar Negara sekarang. Kedua kerajaan ini bercorak Hindu dengan peninggalan Candi Agung dan Candi Laras. Negara Dipa merupakan kerajaan migrasi dari Jawa Timur sebagai akibat dari peperangan antara Ken Arok dengan raja Kertajaya yang dikenal dengan Perang Ganter.49Dalam abad ke- 16 muncul perkembangan baru dengan lahirnya kerajaan Banjar yang bercorak Islam di Kalimantan Selatan. Kerajaan Banjar berkembang pesat sampai abad ke- 19 merupakan kerajaan Islam merdeka dengan nation baru bangsa Banjar sebagai sebagai warganegara dari sebuah kerajaan (1859 – 1915) maka bangsa Banjar sebagai warganegara dari sebuah kerajaan merdeka juga ikut lenyap, dan turun derajatnya menjadi bangsa jajahan dan kemudian dikenal sebagai Urang Banjar atau Orang Banjar.

48 J.J. Ras, op.cit., hal. 191.

50 Urang Banjar atau Orang Banjar atau etnik Banjar adalah nama untuk penduduk yang mendiami daerah sepanjang pesisir Kalimantan Selatan, Tengah, Timur dan Barat.51 Memang masih menjadi permasalahan apakah Urang Banjar itu merupakan etnik atau hanya group saja. Urang Banjar itu setidak-tidaknya terdiri dari etnik Melayu sebagai etnik yang dominan, kemudian ditambah dengan unsur Bukit, Ngaju dan Maanyan. Perpaduan etnik lama kelamaan menimbulkan perpaduan kultural. Unsur Melayu tampak sangat dominan dalam bahasa Banjar, bahasa yang dipakai oleh Urang Banjar. Kata “Banjarmasin” sendiri berasal dari unsur bahasa Melayu yaitu banjar berarti kampung dalam bahasa Melayu, dan kata masih, adalah sebutan terhadap Orang Melayu dalam bahasa Ngaju. Jadi “Banjarmasihadalah sebutan perkampungan Orang Melayu dalam ucapan bahasa Ngaju. Kata Banjarmasih inilah yang kemudian menjadi Banjarmasin. Sekurang-kurangnya ada dua hal yang perlu disimak dari kesejarahan kerajaan Banjar:

(1) Bahwa jauh sebelum abad ke- 16 sebelum kerajaan Banjar berdiri, masyarakat Banjar telah terbentuk bersamaan dengan terbentuknya kerajaan Tanjungpura. Masyarakat Banjar telah melembaga sebagai sebuah kelompok sosial budaya.

(2)Kedua, bahwa dalam tata kehidupan masyarakat Banjar telah dikenal sistem kehidupan politik.

Urang Banjar sebagai sebuah kelompok sosial budaya menggunakan bahasa Banjar sebagai bahasa kelompok. Bahasa Banjar mengambil sebagian besar kosa katanya dari kosa kata bahasa Melayu. Disamping itu dijumpai pula sejumlah kata yang sama atau mirip dengan bahasa Jawa dan bahasa-bahasa Dayak seperti bahasa Ngaju, Maanyan dan Deyah dan hanya sedikit kosa kata yang tidak dapat dikembalikan ke bahasa lain dianggap unsur asli. Oleh karena secara kwantitatif kosa kata Melayu lebih menonjol pada bahasa Banjar maka ia digolongkan dialek Melayu.52 Para peneliti Belanda dan Jerman, istilah Melayu untuk penduduk Kalimantan dioposisikan dengan istilah Dayak, dengan dasar pengelompokan “Islam” dan “Non Islam”. Kelompok Islam diidentifikasikan sebagai Melayu. Dengan dasar ini bahwa Urang Banjar dengan bahasa Banjarnya adalah kelompok campuran unsur Melayu, dan suku-suku Dayak yang ada di daerah ini. Peranan dan fungsi bahasa Banjar sebagian lingua franca bagi para penutur puluhan bahasa daerah di wilayah Kalimantan bagian selatan, tengah, timur dan barat sudah lama dikenal. (Dr. Durdje Durasid, paper). Secara diagronis bahasa Banjar dan bahasa Dayak Ngaju sudah lama diketahui para linguis sebagai anggota kerabat rumpun Astronesia, sub-sub kelompok Austronesia Barat yang dihipotesikan berbeda.

49 A. Gazali Usman, Urang Banjar Dalam Sejarah, Lambung Mangkurat University Press, Banjarmasin, 1989, hal. 35. 50 A. Gazali Usman, ibid., hal. 3. 51 J. Mallinckrodt, Het Adatrecht van Borneo, 2 vols, Dubbeldeman, Leiden, 1928, hal. 48. 52 Djantera Kawi, “Kata Kognat Banjar- Jawa Kuno”, Makalah pada Diskusi Panel Bahasa Banjar, FKIP Unlam, Banjarmasin, 24 Oktober 1992.

Sub-sub kelompok yang menurunkan bahwa Banjar dihipotesikan sebagai proto Bahasa Barito.53 Proto bahasa Melayu menurunkan Bahasa Seloka, Minangkabau, Jakarta dan Serawak. Proto bahasa Barito selain menurunkan bahasa Dayak Ngaju, juga menurunkan bahasa Maanyan, Pasir dan Tunjung. Penduduk Propinsi Kalimantan Selatan 90% penutur bahasa Banjar. Kebanyakan penutur bahasa Banjar merupakan ekabahasawan. Penutur bahasa Dayak Ngaju merupakan penutur bahasa tersebar dari beberapa bahasa yang ada di Propinsi Kalimantan Tengah diperkirakan 50% dari jumlah penduduk. Bahasa Dayak Ngaju tersebar luas di propinsi itu terjadi karena bahasa Dayak Ngaju merupakan lingua franca bagi beragam bahasa Dayak yang ada di Kalimantan Tengah. Bahasa Banjar tersebar luas di Kalimantan Tengah sebagai bahasa ketiga yang sangat dikenal mengikuti penyebaran Orang Banjar yang hampir dapat dijumpai di semua pelosok Kalimantan Tengah sebagai pedagang ulet dan perantau yang tangguh (budaya madam). Bahasa Banjar menjadi bahasa kedua hampir pada semua ibukota kabupaten termasuk ibukota propinsi Palangkaraya. Bahasa Banjar dipakai sebagai bahasa berkomunikasi di pasar-pasar dan juga dalam pertemuan resmi. Situasi ini menimbulkan kedwibahasaan bagi penutur bahasa Dayak. Sikap penutur bahasa Dayak berbeda dengan sikap penutur bahasa Banjar yang kebanyakan ekabahasawan (hanya menguasai bahasa Banjar saja). Dalam penutur bahasa Bakumpai dan penutur bahasa Baamang (Sampit) terdapat penggunaan bahasa yang bersifat diglosia, yaitu masyarakat penutur bahasa itu menggunakan bahasa Banjar dan bahasa daerahnya dalam pilihan situasi tertentu. Bahasa Banjar digunakan dalam hubungan dagang di pasar dan bersifat resmi dan antar suku, sedangkan bahasa daerah, Bakumpai dan Baamang digunakan pada situasi yang bersifat kekeluargaan dan tradisional. Situasi diglosia itu dalam masyarakat penutur bahasa Bakumpai dan Baamang seimbang bahkan menurut pengamatan Dr. Durdje Durasit penutur bahasa Bakumpai lebih lancar berbahasa Banjar dari pada berbahasa Bakumpai. Kedudukan bahasa Banjar cukup istimewa dalam masyarakat penutur bahasa Dayak di Kalimantan Tengah dan Selatan menjadi sangat penting.

53 Alfred B. Hudson, Padju Epat, The Ethnography and Social Structrure of a Maanyan Dayak Group in South Eastern Borneo, 1967 ; Durdje Durasit, “Bahasa Banjar dan Bahasa Dayak Ngaju”, Makalah pada Diskusi Panel Bahasa Banjar, FKIP Unlam, Banjarmasin, 24 Oktober 1992.

Begitu pula pemakaian bahasa Banjar di Propinsi Kalimantan Timur karena bahasa Banjar dikenal luas di Samarinda, Balikpapan, Tenggarong dan sebagian penduduk Kabupaten Kutai.54 Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Banjar seperti bahasa daerah lainnya di Indonesia, berfungsi sebagai :

a. lambang kebangsaan daerah,

b. lambang identitas daerah,

c. alat perhubungan di dalam keluarga, dan

d. alat berkomunikasi dengan pelbagai masyarakat yang ada di Kalimantan Selatan, Tengah dan Timur.

Penutur bahasa Banjar pada umumnya juga penutur bahasa Indonesia yang kebetulan struktur dan kosa katanya memiliki banyak persamaan.55

4. Sistem Pemerintahan Kerajaan Banjar

a. Sistem politik dan pemerintahan pada masa pertumbuhan kerajaan Banjar.

Masyarakat Banjar sebagaimana masyarakat tradisional lainnya memiliki/ mengenal dua tingkatan kelas dalam masyarakat. Kelas atau golongan mayoritas dalam masyarakat merupakan kelas yang terbawah terdiri dari : petani, nelayan, pedagang dan sebagainya yang disebut : orang jaba. Golongan terkecil adalah merupakan kelas penguasa yang memiliki semua hak, yaitu hak dalam politik, mereka terdiri dari famili kerajaan, keluarga dari raja yang dikenal sebagai golongan bangsawan. Golongan ini menempati posisi teratas dalam struktur sosial. Termasuk dalam golongan ini adalah para bangsawan rendahan. Pemimpin-pemimpin agama Islam, juga merupakan kelompok penguasa tingkat atas yang mengatur semua kegiatan para pedagang, rakyat umum dan para petani di dalam negeri. Penempatan golongan pemimpin agama pada tempat teratas ini didasarkan pada ketetapan bahwa agama Islam merupakan agama resmi dari negara yang memimpin manusia ke jalan yang benar. Ketika Pangeran Samudera pertama kali mengatur organisasi kerajaan/negara, kegiatan pertama yang dilakukannya ialah tidak memilih jabatan mangkubumi dari golongan bangsawan 54 Durdje Durasit, loc.cit. famili kerajaan, tapi dipilih orang biasa yang cakap dan mempunyai kemampuan dan dedikasi yang tinggi terhadap negara.

55 Darmansyah, “Bahasa Banjar dan Bahasa Maanyan”, Makalah pada Diskusi Panel Bahasa Banjar, FKIP Unlam, Banjarmasin, 24 Oktober 1992.

Orang pertama yang dipilih ialah dari dari rakyat umum ialah Patih Masih. Patih Masih menjabat jabatan yang tertinggi dalam negara sebagai mangkubumi. Dalam perjalanan sejarah raja-raja di Kalimantan Selatan, bila diteliti dengan seksama nampak bahwa pergantian raja-raja dari negara Daha sampai Banjarmasin dari :

1. Sekar Sungsang

2. Sukarama, mertua Ratu Lemak.

3. Pangeran Mangkubumi/Raden Manteri

4. Pangeran Tumenggung

5. Raden Samudera

Bukan pergantian yang lumrah dari ayah kepada anak tapi dari tangan musuh yang satu ketangan musuh yang lain, melalui revolusi istana. Raden Sekar Sungsang usurpator pertama adalah pembangunan dinasti Negara Daha, dan Raden Samudera usurpator kedua adalah pembangun dinasti Banjarmasin. Dalam hal ini jabatan Mangkubumi yang biasanya dijabat oleh seorang keluarga paling dekat dari raja yang biasanya mendatangkan malapetaka bagi kerajaan. Mangkubumi biasanya adalah saudara raja, mertua, paman dan mertua raja sekaligus juga adalah paman dari raja. karena jabatan mangkubumi merupakan jabatan tertinggi dalam negara dan mempunyai kedudukan dalam struktur keluarga tertinggi, sehingga mangkubumi mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam segala tindak tanduk raja. Dalam hal ini kalau raja lemah, adalah mudah sekali terjadi kup. Inilah suatu pengalaman yang dialami oleh Raden Samudera oleh pamannya sendiri Pangeran Tumenggung, yaitu mulanya menjabat mangkubumi.

Patih sebagai mangkubumi dibantu oleh 4 orang deputi, yaitu :

a) Pangiwa,

b) Panganan,

c) Gampiran atau Gumpiran, dan

d) Panumping Dibawah Gampiran,

Panumping terdapat 30 wilayah Mantri (captain). Keempat deputi ini juga berwenang sebagai hakim. Dalam usaha untuk mengembangkan pelabuhan dan berusaha menjadikan Banjarmasin menjadi sebuah bandar, raja mengangkat seorang penguasa pelabuhan, sebagai kepala bea cukai dengan jabatan yang disebut Kiai Palabuhan. Jabatan ini kemudian berbeda dengan jabatan syahbandar yang mempunyai fungsi yang sangat besar yang dapat bertindak sebagai wakil raja dalam kegiatan perdagangan dengan pedagang-pedagang luar negeri.

Masa-masa Sultan Suriansyah, Kiai Palabuhan yang disebut sebagai Mantri Bandar mempunyai anak buah 100 (seratus) orang untuk menjalankan kegiatan pemungutan bea cukai pelabuhan. Mantri Tuhabun dengan gelar pangkatnya : andakawan (The Captain of The Tuhabun corps) mempunyai anggota 40 orang. Tugasnya untuk melayani raja, para famili raja seperti antara lain sebagai regu pengayuh perahu ketangkasan raja. Untuk menjaga keamanan terdapat dua orang kepala Singabana yang terdiri dari :

a) Singantaka, dan

b) Singapati.

Pada masa Sultan Suriansyah, jabatan tertinggi adalah Mangkubumi yang dijabat oleh Patih Masih. Panganan dijabat oleh Patih Balitung, Pangiwa dijabat oleh Patih Balit, Gumpiran atau Gampiran oleh Patih Kuin, dan Panumping dijabat oleh Patih Muhur. Sesudah lenyapnya Negara Daha raja Banjar mengangkat patih tertua Aria Taranggana dari Negera Daha sebagai Mangkubumi. Mangkubumi mempunyai wewenang dalam masalah administrasi negara untuk mengurusi seluruh wilayah negara, dan mempunyai wewenang untuk menentukan keputusan terakhir terhadap seseorang yang dijatuhi hukuman mati. Disamping itu, Mangkubumi juga mempunyai wewenang dari segala hak penyitaan segala harta benda yang dijatuhi hukuman. Wewenang seperti ini berlaku sampai permulaan abad ke-17. Keempat deputi yang terdiri dari Panggiwa, Panganan, Gampiran dan Panumping, yang masing-masing dijabat oleh : Patih Balit, Patih Balitung, Patih Kuin dan Patih Muhur berwenang juga sebagai jaksa dan hakim, tetapi segala keputusan mereka benar atau salah selalu berdasarkan pada peraturan hukum yang berlaku saat itu yang terhimpun dalam sebuah kodifikasi hukum yang disebut Kutara, yang disusun oleh Aria Taranggana ketika dia menjabat Mangkubumi kerajaan. Disamping jabatan-jabatan di atas terdapat lagi jabatan : Mantri Besar yang mempunyai tugas khusus yaitu bertugas sebagai duta kerajaan di daerah ataupun ke luar daerah kerajaan. Dari periode raja pertama Sultan Suriansyah sampai dengan Sultan Inayatullah atau Ratu Agung (1620-1637), orang-orang yang pernah menjabat sebagai mangkubumi adalah :

1. Patih Aria Taranggana.

2. Kiai Anggadipa

3. Kiai Jayanegara, dan

4. Kiai Tumeggung Raksanegara

Suatu tradisi sejak raja pertama kerajaan Banjar, raja diganti oleh puteranya, sedangkan jabatan mangkubumi, sebagai jabatan tertinggi setelah raja, tidak dari darah bangsawan, tapi dari rakyat umum, yang bertindak sebagai “King viceregent”. Mangkubumi juga sebagai hakim tertinggi yang keputusan tertinggi dalam seluruh wilayah kerajaan dalam segala hal masalah. Saudara raja dapat menjadi : adipati dan menyertai raja atau membantu raja, tapi mereka adalah orang kedua setelah Mangkubumi. Pada masa pemerintahan Marhum Panambahan Kacil (1595-1620) kaum bangsawan mempunyai gelar Raden dan Pangeran dan selalu ikut serta dalam segala sidang negara membicarakan masalah negara. Pada masa itu jabatan-jabatan dalam negara terdapat jabatan : Mangkubumi, Mantri Pangiwa-Panganan, Mantri Jaksa, Tuan Panghulu, Tuan Khalifah, Khatib, Para Dipati, Para Pryai. Masalah-masalah yang menyangkut bidang agama Islam dibicarakan dalam suatu rapat/musyawarah yang terdiri dari : Mangkubumi, Dipati, Jaksa, Khalifah dan Penghulu yang memimpin pembicaraan adalah Penghulu. Masalah-masalah yang menyangkut hukum sekuler yang disebut hukum dirgama, dibicarakan oleh rapat yang terdiri dari Raja, Mangkubumi, Dipati dan Jaksa. Yang memimpin adalah Jaksa. Masalah yang menyangkut tata urusan kerajaan merupakan pembicaraan raja, Mangkubumi dan Dipati. Jabatan Panghulu mempunyai status yang tinggi dalam negara. Dalam hierarki struktur negara, kedudukan Panghulu adalah dibawah Mangkubumi, dan jabatan Jaksa adalah di bawah Panghulu. Hal ini berlaku pula dalam tata aturan negara dalam suatu sidang negara. Urutannya adalah Raja, Mangkubumi, kemudian Panghulu dan setelah Panghulu adalah Jaksa. Hal ini berlaku pula kalau Raja berjalan. Dalam suatu urutan kalau Raja berjalan, setelah raja adalah Mangkubumi, dibelakang Mangkubumi adalah Panghulu dan kemudian Jaksa. Kewenangan Panghulu adalah lebih tinggi dari Jaksa, karena Panghulu mengurusi masalah yang menyangkut agama, sedangkan Jaksa mengurusi masalah yang menyangkut dunia. Para Dipati, yang biasanya terdiri dari para saudara raja, menemani dan membantu raja, tetapi mereka adalah kedua setelah Mangkubumi.

Sistem politik dan pemerintahan seperti ini berlangsung sejak pemerintahan pertama dari kerajaan Banjar sampai masa Sultan Musta’in Billah pada permulaan abad ke- 17. Secara lengkap Sistem Politik dan Pemerintahan kerajaan Banjar itu adalah sebagai berikut :

1. Raja, bergelar Sultan atau Panambahan.

2. Mangkubumi. Anggota dibawah Mangkubumi : Panganan, Pangiwa, Mantri Bumi dan 40 orang Mantri Sikap, Seorang Mantri Sikap memiliki 40 orang pengawal.

3. Lalawangan, kepala distrik, kedudukannya sama dengan kepala distrik pada masa penjajahan Belanda.

4. a. Sarawasa, b. Sarabumi (Kepala Urusan keratin) c. Sarabraja

5. a. Mandung, b. Raksayuda (Kepala Balai Longsari, Bangsal dan Banteng)

6. Mamagarsari , Pengapit raja duduk di Situluhur

7. a. Parimala , Kepala urusan dagang dan pakan (pasar). b. Singataka , Pembantu c. Singapati , Pembantu

8. a. Sarageni , Kuasa dalam urusan senjata (tombak, ganjur) b. Saradipa duhung, tameng, badik, parang, badil, meriam dll.

9. Puspawana , Kuasa dalam urusan tanaman, hutan, perikanan, ternak, berburu

10. a. Pamarakan ) Pengurus umum tentang keperluan pedalaman b. Rasajiwa ) dan pedusunan

11. a. Kadang Aji ) Ketua Balai petani dan Perumahan b. Nanang , Pembantu

12. Wargasari , Pengurus besar tentang persediaan bahan makanan dan lumbung padi, kesejahteraan

13. Anggarmarta , Juru Bandar, Kepala urusan pelabuhan

14. Astaprana , Juru tabuh-tabuhan, kesenian dan kesusasteraan.

15. Kaum Mangkumbara , Kepala urusan upacara

16. Wiramartas , Mantri Dagang, berkuasa mengadakan hubungan dagang dengan luar negeri, dengan persetujuan Sultan.

17. Bujangga , Kepala urusan bangunan rumah, agama dan rumah ibadah

18. Singabana , Kepala ketenteraman umum.

Sistem pemerintahan ini mengalami perubahan khususnya pada masa pemerintahan Sultan Adam Al Wasik Billah pada permulaan abad ke-19. Perubahan itu meliputi jabatan :

1. Mufti , Hakim tertinggi, pengawas Pengadilan umum

2. Qadi , Kepala urusan hukum agama Islam

3. Penghulu , Hakim rendah

4. Lurah , Langsung sebagai pembantu Lalawangan dan mengamati pekerajaan beberapa orang Pambakal (Kepala Kampung) dibantu oleh Khalifah, bilal dan Kaum.

5. Pambakal , Kapala Kampung yang menguasai beberapa anak kampung.

6. Mantri , Pangkat kehormatan untuk orang-orang terkemuka dan berjasa, diantaranya ada yang menjadi kepala desa dalam wilayah yang sama dengan Lalawangan.

7. Tatuha Kampung , orang yang terkemuka di kampung.

8. Panakawan , orang yang menjadi suruhan raja, dibebas dari segala macam pajak dan kewajiban.

56Jabatan Mangkubumi adalah jabatan urutan kedua setelah Sultan. Pada abad ke- 18 jabatan Mangkubumi disebut pula dengan sebutan Perdana Mantri yaitu pada masa pemerintahan Sunan Nata-Alam (Sultan Tahmidullah), tetapi disebut pula dengan sebutan Wazir. Jadi Mangkubumi, Perdana Mantri dan Wazir adalah jabatan eselon yang sama. Putera Mahkota yang merupakan calon resmi pengganti Sultan kalau sultan meninggal atau mengundurkan diri, pada masa pemerintahan Sultan Tahmidullah disebut Ratu Anum, dan pada masa pemerintahan Sultan Adam Al Wasik Billah disebut Sultan Muda. Sebutan Ratu Anum kadang-kadang juga dikacaukan dengan sebutan untuk Mangkubumi, seperti Pangeran Dipati Ratu Anum Ismail, adalah seorang Perdana Mantri pada masa pemerintahan Sultan Tahmidullah. Sebutan kehormatan untuk Sultan, disebut : Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan, sedang untuk sebutan Gubernur Jenderal VOC hanya disebut dengan : Tuan Yang Maha Bangsawan Gubernur Jenderal. Sebutan untuk permaisuri hanya disebut Ratu. Sebutan Sunan sebagai pengganti sebutan sultan hanya pernah dipakai oleh Sultan Tahmidullah dengan sebutan Sunan Nata Alam. Sebutan Ratu tidak selamanya harus permaisuri tetapi juga sebutan untuk sultan, seperti

56 Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan, Fadjar, Banjarmasin, 1953, hal. 149-150.

Sultan Inayatullah yang bergelar Ratu Agung (1620-1637). Sebutan Panembahan pernah diberikan kepada :

a. Sultan Suriansyah dengan gelar Panembahan Batu Habang

b. Sultan Rahmatullah dengan gelar Panembahan Batu Putih

c. Sultan Hidayatullah dengan gelar Panembahan Batu Irang

d. Sultan Musta’in Billah dengan gelar Panembahan Marhum

e. Sultan Tahlilullah dengan gelar Panembahan Tingi

f. Sultan Tahmidullah yang bergelar Susuhunan Nata Alam, juga bergelar: Panembahan Batu, Panembahan Ratu, dan Panembahan Anum.

b. Pergeseran Sistem Politik dan Pemerintahan Dalam Abad ke-17

Selama kekuasaan Sultan Musta’in Billah sistem politik dan pemerintahan negara menjadi lebih kompleks. Seperti telah dijelaskan di muka, Mangkubumi bertindak sebagai “King Viceregent” mempunyai 4 deputi dan 4 hakim untuk memecahkan masalah hukum. Dalam kasus masalah sekuler yang mempunyai wewenang pertama adalah : para hakim, raja, para deputi dan terakhir Mangkubumi yang memberikan pendapat. Dalam kasus masalah negara, termasuk hubungan luar negeri, monopoli perdagangan, serta mengadakan kontrak perdagangan dengan luar negeri, diselesaikan oleh Mangkubumi dan para Dipati, dalam hal ini raja mempunyai kata terakhir. Tradisi untuk menyelesaikan masalah negara berkembang menjadi suatu sistem yang kemudian menjadi suatu institusi yang paling berwewenang yang disebut Dewan Mahkota (The Royal Council). Sesudah kematian Ratu Agung bin Sultan Musta’in Billah (1637), penggantinya adalah Ratu Anum yang bergelar Sultan Saidullah. Selama masa pemerintahannya dia sebetulnya Menjadi raja boneka belaka, sebab wewenang kekuasaan politik negara dan pemerintahan dipegang oleh pamannya Pangeran Di Darat, sebagai orang yang paling berkuasa yang menguasai seluruh pemerintahan, Ketika Pangeran Di Darat meninggal, jabatan itu digantikan oleh Dipati Tapesana yang mengambil gelar : Dipati Mangkubumi yang bertindak sebagai raja (temporary-King). Sejak Pangeran Di Darat menjabat Mangkubumi, sejak itu pula jabatan Mangkubumi, jabatan yang tertinggi dalam negara tidak pernah lagi dijabat oleh rakyat umum, tetapi merupakan jabatan monopoli oleh keluarga kerajaan, yaitu paman, saudara tertua, mertua atau paman yang juga menjadi mertua dari raja. Sejak pertengahan abad ke- 17, kita melihat pertumbuhan dari kekuatan baru dalam konflik dengan elemen-elemen golongan kerajaan yang mendominasi, yang mempunyai monopoli kekuasaan dalam bidang politik dan perdagangan, yang mempengaruhi pada masa selanjutnya. Hal ini pertama kali dimulai pada suatu gerakan yang tidak pernah berakhir pada golongan tingkat atas dari masyarakat Banjar, yaitu perebutan perampasan kekuasaan (usurpation), persaingan kekuasaan, tipu daya (intrik) dan faham mengutamakan golongan sendiri (factinalism) menjadi sangat lemah dan terjadinya kekacauan sebagai suatu akibat selanjutnya. Abad ke- 17 adalah masa memuncaknya perdagangan lada. Pada masa abad tersebut, perdagangan lada merupakan satu-satunya komoditi ekspor kerajaan Banjar. Perkembangan perdagangan ini meyebabkan terjadinya perubahan-perubahan politik dan pemerintahan. Para penguasa (the ruling class) berusaha dengan cepat untuk memperoleh tanah yang lebih luas dalam bentuk tanah apanase yang dijadikan wilayah penguasaan penanaman lada. Penanaman lada ini dapat berkembang dengan didorong oleh kedatangan para pedagang dari Jawa yang membawa kapal-kapal mereka dengan modal besar. Kedatangan para pedagang ini menjadikan ramainya dunia perdagangan kerajaan Banjar. Besarnya volume perdagangan lada menyebabkan kekayaan yang melimpah bagi golongan penguasa politik dan perdagangan. Kekuasaan politik dan perdagangan merupakan haknya golongan bangsawan dan bukan hak milik rakyat. Kekayaan mendominasi karakteristik tingkah laku bagi golongan penguasa, yang merupakan penguasa politik dan perdagangan dan penguasa perkapalan. Kekayaan menyebabkan seseorang memperoleh kekuasaan politik atau mempunyai pengaruh dalam bidang politik yang mempunyai golongan penguasa, dan justru sebagai golongan penguasa akan menghasilkan kekayaan, karena penguasalah yang mempunyai monopoli dalam bidang perdagangan lada dan perkapalan. Perubahan ini menyebabkan pengaruh yang besar bagi sistem politik dan pemerintahan, karena sejak itu golongan bangsawan yang sangat kaya-kaya lebih berkuasa daripada raja. Para bangsawan atau para Pangeran bertingkah laku terhadap rakyatnya dengan menganggap dirinya sebagai penguasa raja, yang mempunyai kekuasaan absolut dalam wilayahnya. Para pangeran juga mempunyai pengaruh besar dalam perundingan-perundingan perdagangan dan kadang-kadang kepentingan para pangeran ini lebih menonjol daripada kepentingan politik negara. Bagi pedagang luar negeri terutama bangsa Belanda, kekuasaan absolut dari golongan aristokrat ini sangat merugikan mereka. Dan itu pula sebabnya Belanda tidak dapat memperoleh hak monopoli lada dalam kontrak yang di buat saat itu. Dewan Mahkota (The Royal Council) yang terdiri dari keluarga raja, golongan aristokrat, para pejabat tinggi, pegawai rendahan seperti Kiai mempunyai kekuasaan besar untuk menentukan situasi politik, ekonomi dan perdagangan negara. Raja tidak dapat melakukan suatu tindakan atau langkah tanpa izin atau persetujuan Dewan Mahkota terutama yang menyangkut pembicaraan dengan pedagang-pedagang asing. Dalam abad ke-17 pedagang asing yang datang dan meramaikan perdagangan kerajaan Banjar; orang Cina, Siam, Johor, Jawa, Palembang, Portugis, Inggeris dan Belanda. Komoditi perdagangan terdiri dari emas, permata, lada, cengkeh, pala camphor, kulit buaya, mutiara, rotan, besi dan lain-lain. Kerajaan Banjar mengimpor; batu akik merah, rantai akik merah, gelang, benda-benda porselen, beras, morphin, garam, gula, tawas, pakaian dan sebagainya. Aktivitas pelayaran dan perdagangan Banjar dalam abad ke- 17 melintasi sampai Cochin Cina dan Aceh. Aktivitas pelayaran dan perdsagangan ini dibiayai dengan modal para golongan penguasa (the ruling class). Dengan pertumbuhan perdagangan dan adanya kontrak-kontrak dengan perdagangan luar negeri, memerlukan orang asing untuk menduduki jabatan syahbandar. Syahbandar adalah orang asing yang mengerti tata cara perdagangan dan memahami bahasa asing. Syahbandar pertama dari kerajaan Banjar adalah seorang Gujarat; Goja Babouw dengan gelar Ratna Diraja. Sebuah kontrak perdagangan yang diadakan antara kerajaan Banjar dengan Belanda diselesaikan melalui pengaruh tokoh Syahbandar Ratna Diraja Goja Babouw dan ditanda-tangani oleh Sultan (1635).

c. Sistem politik dan Pemerintahan pada masa Sultan Adam Al Wasik Billah (1826-1857) 1) Pembagian Teritorial Kerajaan Banjar

Dalam hal ini terlihat adanya tiga jenis pembagian dalam wilayah kerajaan Banjar, meskipun terminologi ini tidak dipergunakan dalam sistem politik dan pemerintahan dalam kerajaan. Tiga jenis teritorial itu adalah :

- Negara Agung

- Mancanegara dan

- Pasisir

Istilah tanah seberang tidak dipergunakan dalam terminologi kerajaan Banjar, tapi bagaimanapun juga pembagian dengan cara ini juga diterapkan. Wilayah kerajaan Banjar, meliputi titik pusat, yaitu istana raja di Martapura dan berakhir pada titik luar dari daerah Landak ke Berau. Daerah Martapura sebagai sebuah wilayah pertama dan pusat pemerinahan di mana Sultan berada. Dalam perjalanan sejarah dapat dipelajari bahwa ketetapan wilayah tidak dapat dilihat dengan jelas dengan batas yang tetap. Ketetapan ini sangat dipengaruhi oleh keadaan yang tidak stabil dan ketetapan batas yang fleksibel disebabkan oleh berkembangnya kekuasaan atau menurunnya kekuasaan Sultan dan juga pengaruh dari golongan penguasa (the ruling class) saat itu. Ketika daerah kerajaan Banjar menjadi lebih kecil dalam tahun 1787, yang hilang direbut Belanda, dan daerah ini makin berkurang pada tahun 1826 dibandingkan dengan wilayah kerajaan abad ke-17, hanya tinggal wilayah yang dihuni oleh kelompok etnik suku Banjar di bawah pemerintahan Sultan Adam Al Wasik Billah. Sejak setelah penyerangan Belanda dalam tahun 1612 yang menyebabkan penghancuran Banjarmasin dan istana Sultan, ibu kota pindah ke Martapura. Daerah pusat kerajaan adalah Karang Intan dan Martapura, sebagai pusat Pemerintahan dan keraton Sultan.

Wilayah teritorial yang kedua terdiri dari :

1) Tanah Laut atau tanah rendah, sebelah Barat Meratus, sebelah Selatan Banjarmasin.

2) Daerah Banjar Lama dengan Pelabuhan Banjarmasin.

3) Banua Ampat, yaitu daerah Banua Padang, Banua Halat, Parigi dan Gadung di daerah Rantau.

4) Margasari

5) Alai

6) Daerah Amandit

7) Banua Lima yang terdiri dari daerah Negara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua

8) Muarabahan dan

9) Dusun, nama umum untuk daerah atas Barito.

Teritorial ketiga terdiri dari :

1) Tanah Bumbu

2) Pulau Laut

3) Karasikan

4) Pasir,

5) Berau dan Kutai dan pantai Timur

6) Kotawaringin

7) Landak

8) Sukadana dan Sambas dan pantai sebelah Barat.

Ketiga teritorial ini dikenal sebagai wilayah kekuasaan Kerajaan Banjar. Semua wilayah tersebut membayar persembahan dan upeti. Semua daerah tersebut tidak pernah tunduk karena ditaklukkan, tetapi daerah-daerah itu mengakui di bawah kerajaan Banjar, kecuali Pasir yang ditaklukkan tahun 1636 dengan bantuan armada kapal Belanda. Penanaman pengaruh Banjar terhadap daerah-daerah sebagian dilakukan melalui perkawinan politik atau dengan kolonialisasi. Politik terakhir ini dilakukan terhadap daerah Tanah Bumbu dan Kotawaringin. Dalam wilayah kerajaan Banjar seperti daerah sungai, sungai dengan cabang-cabangnya, danau, sungai di pedalaman, gunung-gunung, pegunungan. pulau di danau, sering di pergunakan sebagai indikator untuk penentuan batas wilayah. Batas alam seperti ini tetap dipergunakan dalam kontrak dengan Belanda dalam tahun 1826 (juga Contract 18 Maret 1845).

2) Struktur Politik dan Sistem Sosial

Sebagai sebuah masyarakat tradisional masyarakat Banjar, mengenal dua golongan besar. orang Jaba, yang merupakan golongan terbesar dalam masyarakat, terdiri dari petani, tukang, pedagang, nelayan sungai; golongan teratas adalah para bangsawan dan golongan pejabat birokrasi. Sultan Adam yang berkuasa antara tahun 1826-1857 mempunyai hak prerogatif dalam masalah-masalah politik dan agama. Hal ini tertulis dalam hukum yang ditulis tahun 1835 yang dikenal sebagai Undang-undang Sultan Adam. Dibawah Sultan Adam dan Sultan Muda atau Pangeran Ratu dari anggota kelompok keturunan Sultan, hanya dua orang yang termasuk dalam organisasi administratif, namanya Sultan Muda dan Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi adalah kepala dari pusat birokrasi. Fungsi pengadilan agama dijalankan oleh : Hakim Besar, yang terdiri dari : Kepala Qadi Kepala Mufti, dan Kepala Chalifah. Dibawah Mangkubumi adalah kelompok kepala yang dikenal sebagai Mantri yang memperoleh titel dalam tingkatan hierarkis seperti : Adipati Tumenggung Kiai Demang Aria Ngabehi Pembakal dan Neyarsa.

Menurut komisaris Belanda Van der Ven dalam tahun 1857, masyarakat Banjar terdiri dari 6 kelas :

1) Raja dan kaum bangsawan

2) Golongan ulama

3) Pemimpin rakyat

4) Rakyat umum

5) Orang berhutang

6) Budak

Raja merupakan hierarkis sosial yang teratas, dan disamping sebagai kepala negara dan golongan bangsawan, juga sebagai kepala golongan famili kerajaan yang disebut : Tutuha Bubuhan Raja-Raja. Dia menghadiahkan pada keturunannya gelar-gelar seperti : Pangeran, Gusti dan Ratu. Dia juga memberi hak kepada mereka ini hadiah tanah dan sebagian besar dari penghasilan yang diperoleh dari tanah apanase, disamping penghasilan dari hak-hak istimewa lainnya dan hak dalam perdagangan. Bangsawan yang lebih rendah menggunakan gelar seperti : Raden, Anden dan Nanang. Keturunan Nanang dari Kiai Adipati Danurejo di Banua Lima mempunyai kekuasaan besar selama pemerintahan dua sultan terakhir kerajaan Banjar dan terakhir sebagai Regent Belanda selama permulaan abad ke-20. Orang-orang pimpinan terkemuka dalam birokrasi yang terendah adalah pimpinan dari rakyat, merupakan hierarkis politik yang terbawah adalah Pambakal atau kepala kampung. Dia dibantu oleh Pangerak dan Panakawan. Beberapa kampung dapat membentuk sebuah sub-distrik, yang dipimpin oleh Lurah dan beberapa sub-distrik membentuk distrik yang dipimpin oleh Lelawangan. Tiap-tiap penduduk kampung terdiri dari satu atau beberapa kesatuan famili, yang disebut bubuhan. Ikatan adat adalah sangat kuat dan fungsi bubuhan adalah berfungsi sosial ekonomi dan faktor pertahanan. Dalam sistem bubuhan, tetuha-tetuha bubuhan adalah orang-orang pemimpin yang sangat penting dan dia sebagai tetuha memikul tanggung jawab untuk kepentingan dan kelakuan tidak senonoh dari anggota bubuhannya. Wibawa kerajaan Banjar didasari pada sistem bubuhannya, disamping legitimasi, penguasa warisan kekayaan, kehormatan dan kharisma.

3) Sistem Apanase dalam Kerajaan Banjar

Sultan mempunyai hak umum terhadap tanah, dimana dia menentukan dengan ketatapan hukumnya atas penguasaan pemilikan dan penggunaan atas tanah. Sultan juga mempunyai hak untuk mengatur produksi yang dihasilkan dari penggarapan tanah sesuai dengan adat kerajaan turun temurun. Hak untuk menetapkan produksi tanah oleh raja tersebut, sesuai dengan hukum yang tidak tertulis. Dalam hal tanah apanase yang diberikan raja, kepada anak-anaknya, atau familinya, bahwa hak atas tanah yang diberikan raja, harus dilihat sebagai pemberian-penggantian gaji dan tidak seperti pengertian pembayaran keuangan atau gaji terhadap tugas mereka.

Raja sebagai Tutuha Bubuhan mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk kepentingan keluarga besarnya. Tanah sebagai pembayaran gaji orang Jawa yang diberlakukan di Mataram yang kemudian disebut tanah bengkok, tidak dikenal dalam terminologi ini. Sejak tahun 1826 kerajaan Banjar hanya wilayah tanah tempat tinggal kelompok etnis suku Banjar, yang terdiri dari daerah inti dan bagian dari daerah luar Hulu Sungai dan dusun dengan pengunungan Meratus pada batas sebelah barat dan utara sejauh sumber mata air sungai-sungai Paku, Sihong dan Nappo dan Gunung Luang. Semua daerah ini yaitu daerah inti dan daerah luar dibagi dalam 2 (dua) daerah teritorial. Sebagian adalah daerah pajak milik Sultan, dan bagian lain dibagi atas daerah apanase kerajaan, diberikan kepada keluarga dekat Sultan. Daerah Sultan tersebut adalah sebagian dari Banjar, Martapura, Alai, Amandit, Benua Empat dan Banua Lima. Pajak merupakan penghasilan negara (penghasilan raja pribadi) berupa : pajak pemberian, bea, retribusi padi, pajak tanah, zakat, fitrah, retribusi emas dan tambang intan, pembuatan perahu dan buruh kerja untuk keraton. Pajak ini semua dapat dibayar dengan uang atau dalam bentuk natura. Pajak pemberian (poll-tax) ada dua jenis : a) Baktin, yaitu pajak berupa buruh-kerja b) Nadar, yaitu pajak tanpa buruh-kerja Jumlah uang nadar adalah f 5,60 untuk pembayaran pajak yang sudah kawin, dan f 2,90 untuk yang tidak kawin perorangan. Jumlah uang baktin f 2,60 untuk yang kawin. Di luar Banua Lima pajak tersebut berjumlah f 2,-, kecuali orang-orang Martapura adalah bebas dari jenis pajak (poll-tax) ini. Kampung-kampung Dayak yang dihuni kelompok etnis suku Dayak berkewajiban membayar tiap tahun berupa pembayaran upeti. Buruh-kerja tidak sama untuk kategori tiap daerah, sebagai contoh : buruh-kerja untuk orang-orang Martapura terdiri hanya tenaga kerja pengayuh “Perahu ketangkasan” raja atau famili kerajaan. Banua Lima diperintahkan untuk menyampaikan tiap tahun 200 orang laki-laki untuk kegiatan keraton dan tiap 40 orang laki-laki dari jumlah tersebut akan melakukan kewajiban dua bulan sebagai pengawal kehormatan keraton. Penduduk daerah Kandangan bertanggung jawab untuk memelihara kuda-kuda Sultan, yang dipergunakan pada musim perburuan tiap tahun dari perburuan kerajaan. Cukai retribusi untuk barang-barang adalah sepersepuluh dari harga barang-barang komoditi, kecuali garam. Retribusi padi tidak pernah dipungut tapi dalam bentuk zakat. Seluruh daerah membayar zakat, kecuali kampung-kampung suku Dayak. (Bersambung)


Sumber : Sejarah

Tidak ada komentar: